Rimbun Semedi Cinta

Udara Bandung berhembus cukup dingin. Dalam seminggu terakhir, hujan turun di kota kembang ini dengan intensitas cukup tinggi. Panitia nyatanya cukup berani mengadakan Sinau Bareng semalam dengan konsep outdoor. Padahal, dalam 3 edisi sebelumnya, Sinau Bareng di Kampus ini selalu dilaksanakan indoor.

Cak Nun bersama Syeikh Nursamad Kamba memang dalam 4 tahun terakhir memiliki jadwal rutin di setiap bulan November untuk mengisi Sinau Bareng di UIN Sunan Gunung Djati. Panitia penyelenggara acara ini adalah sekelompok mahasiswa dan mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati yang tergabung dalam CSSMORA (Community of Santri Scholars of Ministry of Religious Affairs), yaitu para santri pondok pesantren yang menerima beasiswa dari Kementrian Agama Republik Indonesia untuk melanjutkan jenjang studi Strata 1 di beberapa Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia. Terdapat 19 Perguruan Tinggi Negeri yang menampung para mahasiswa penerima beasiswa dari Kementrian Agama ini, dan salah satunya adalah UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Keberadaan Syeikh Nursamad Kamba di UIN Sunan Gunung Djati ini cukup penting. Syeikh Kamba adalah sosok yang merintis Jurusan Tasawuf Psikoterapi di Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung ini. Persambungan Syeikh Kamba dengan Cak Nun di Maiyah inilah yang melatarbelakangi mahasiswa CSSMORA UIN Sunan Gunung Djati Bandung menyelenggarakan Sinau Bareng pada setiap bulan November dalam 4 tahun terakhir.

Pada edisi kali ini, panitia mengangkat tema “Rimbun Semedi Cinta”. Judul yang sangat feminin. Apalagi Sinau Bareng ini dilaksanakan pada Sabtu malam hari alias malam Minggu. Malam di mana banyak anak-anak muda menghabiskan waktu untuk bersama pacar, apalagi ada unsur kata cinta dalam tema Sinau Bareng kali ini.

Lantas apakah Sinau Bareng tadi malam membahas percintaan antara laki-laki dan perempuan? Tentu saja tidak. Mahasiswa dan mahasiswi yang hadir di Kampus II UIN Sunan Gunung Djati Bandung semalam diajak oleh Cak Nun dan Syeikh Nursamad Kamba untuk menyelami makna cinta yang lebih mendalam, utamanya adalah memaknai cinta dalam beragama.

Ditekankan oleh Syeikh Kamba, fungsi cinta dalam kehidupan beragama adalah sebuah pondasi yang melandasi perilaku beragama seseorang. Ketika seseorang beribadah kepada Allah dengan landasan cinta, maka tidak akan ada perilaku transaksi dalam beragama. Semua yang dilakukan adalah dalam rangka mengungkapkan cinta yang mendalam dari seorang hamba kepada Sang Pencipta.

Syeikh Kamba menyampaikan salah satu alasan bahwa kenapa tadi malam jamaah yang hadir perlu belajar tentang cinta dari Cak Nun adalah karena bagi Syeikh Kamba sendiri, Cak Nun adalah sosok yang telah mampu mengejawantahkan cinta dalam perilaku beragama. Ditekanan oleh Syeikh Kamba, konsep segitiga cinta Maiyah adalah sebuah pencapaian ungkapan cinta yang hanya bisa disusun oleh orang yang benar-benar telah selesai dengan dirinya. Dan bagi Syeikh Kamba, Cak Nun adalah sosok yang demikian itu, sehingga mampu menjadikan cinta sebagai pondasi utama dalam beragama. Seperti yang termaktub dalam surat Ali Imron ayat 31, qul in kuntum tuhibbunallaha fattabi’uunii yuhbibkumullah wa yaghfirlakum dzunuubakum wallahu ghofuruun rahiim. 

Cak Nun tadi malam menyampaikan bahwa pada setiap langkah manusia, pelaku utama yang melakukan perubahan itu adalah Allah. Dalam ayat innallaha laa yughoyyiru maa biqoumin hatta yughoyyiru maa bianfusihimadalah sebuah penegasan yang menurut Cak Nun adalah Allah merupakan pihak utama dalam melakukan perubahan. Dicontohkan, ketika sepasang suami istri berhubungan badan, kepastian si istri hamil atau tidak hanya bisa diputuskan oleh Allah. Sementara peristiwa hubungan badan suami dan istri sama sekali tidak menjadi penentu bahwa apakah rahim sang istri bisa dibuahi dan kemudian hamil atau tidak.

Seperti seorang petani yang tugasnya adalah menanam benih. Yang kemudian harus ia lakukan adalah merawat tanaman yang ia tanam. Bahwa kemudian tanaman itu akan berbuah dan akan ia panen, kepastiannya hanya Allah yang memiliki keputusan mutlaknya. Karenanya, Cak Nun menyampaikan bahwa landasan utama hubungan antara hamba dengan Allah adalah cinta.

Mempertegas apa yang disampaikan Syeikh Kamba sebelumnya, bahwa beragama dengan cinta akan melahirkan perilaku beragama yang jauh dari sikap transaksional, Cak Nun menyampaikan bahwa yang harus kita perjuangkan dalam hidup ini seharusnya adalah bagaimana kita mampu meridhoi segala ketetapan yang sudah ditentukan oleh Allah. Doktrin selama ini yang mengajarkan kita untuk mencari ridho Allah itu akan secara otomatis kita dapatkan ketika kita mampu ridho atas ketetapan Allah pada diri kita.

Kembali ke tema utama dari Sinau Bareng kali ini, cinta menjadi kata kuncinya. Jika kita beragama dengan berlandaskan cinta, maka tidak mungkin kita akan bersikap transaksional kepada Allah. Apapun yang kita lakukan dalam kaitannya dengan hubungan antara hamba dengan Sang Pencipta adalah sebuah hubungan percintaan yang sama sekali jauh dari konsep transaksional. Jika kita sudah benar-benar memiliki landasan cinta yang kuat, maka setiap laku ibadah kita kepada Allah pun secara sadar kita melakukannya bukan atas dasar pengharapan pahala dari Allah, bukan atas dasar transaksi mengharap agar ditempatkan di surga, melainkan atas kesadaran ungkapan rasa cinta yang mendalam dari seorang hamba kepada Allah yang telah menciptakannya. (Fahmi Agustian)

Sumber, Cak Nun 3 November 2019

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *