Rezeki Yang Dijamin

Hampir setiap manusia menginginkan rezeki melimpahruah, kalau perlu dapat diwariskan untuk tujuh turunan. Sifat tamak, serakah, berpoya-poya dan kikir ikut menyertainya. Padahal, harta hanyalah titipan, alat untuk menjalankan tugas kekhalifahan, memakmurkan bumi dan beribadah kepada-Nya.

Janganlah mencari harta membuat kita lalai dari kewajiban beribadah. Karena Allah Yang Maha Rahman dan Rahim menciptakan makhluk disertai dengan rezekinya masing-masing. Dalam Alquran surat Hud ayat 6 disebutkan: “Dan tidak ada binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberikan rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Lauhil Mahfuzh.”  

Seperti kisah mashur seorang sufi bernama Abul Hasan al-Mishri yang menjalani hidup zuhud. Pada usia senjanya, meninggalkan jabatan di pemerintahan dengan gaji 50 dinar per bulan. Beliau ber-uzlah di menara masjid Jami’ Amr bin al-Ash sampai akhir hayatnya.

Konon, Al-Mishri memilih hidup zuhud karena seekor kucing yang selalu datang ke rumahnya setiap pagi, menunggu untuk diberikan makanan. Ketika diberi, kucing itu tidak langsung memakannya melainkan membawanya pergi. Karena penasaran, Al-Mishri membuntuti kucing itu. Ternyata makanan itu dibawanya ke suatu gubuk. Di sana terdapat kucing lain yang buta. Makanan itu ia letakkan dihadapan kucing yang buta tersebut. Rupanya, dari situlah kucing buta tersebut mendapatkan makanannya sehari-hari.

Al-Mishri terkesima melihat pemandangan yang tak biasa tersebut, dan ia bergumam, “Dzat yang telah menjadikan  kucing ini sebagai pelayan bagi kucing buta yang melarat itu, sangat bisa membuatku tidak butuh kepada dunia ini.”

Dari kisah di atas, dapat diambil pelajaran bahwa, dari kehidupan binatang pun manusia dapat belajar, tersadar dari kelalaiannya kepada Allah Swt. Kita seringkali sombong terhadap apa yang telah dimiliki, lupa bahwa apa yang diperoleh, selain merupakan usaha, namun juga ada campur tangan Allah sang pemberi rezeki.

Rasulullah Saw menegaskan, “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sesungguhnya, niscaya Allah memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung. Burung berangkat di pagi hari dengan perut kosong dan pulang dengan perut yang penuh.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Hakim dari Umar bin al-Khatthab). 

Hanya saja mesti disadari, sudah menjadi sunnatullah, ada yang mendapat kelebihan rezeki, namun ada pula yang hanya dipenuhi kebutuhan primernya, atau disempitkan. Hal ini ditegaskan Allah dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 212: “…Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendakinya tanpa batas.”

Dalam makna yang sama, Allah menyampaikan bahwa akan ada orang-orang yang diberikan rezeki melimpah, sebagaimana tertera dalam surat Ali Imran ayat 27 dan 37. Bahkan ditegaskan pula, bila Allah Swt menghendaki, mungkin saja ada yang diluaskan rezekinya atau disempitkan. Seperti yang disampaikannya dalam surat Ar-Ra’d ayat 26: “Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki.”

Kepada mereka yang berlebih, hendaknya selalu bersyukur dan membantu yang kekurangan. Sementara bagi mereka yang kekurangan, hendaknya bersabar, terus berusaha, tetap bersyukur atas karunia yang diberikan oleh-Nya dan menjaga iman. Karena kefakiran cenderung mendorong manusia kepada kekafiran.

Keyakinan bahwa rezeki dijamin oleh Allah Swt, tidak berarti hidup yang dijalani tidak produktif. Bekerja keraslah sekuat tenaga, agar kita tidak meninggalkan keluarga dan keturunan dalam kefakiran. 

Menjadi kewajiban kita untuk berusaha sekuat tenaga agar selain mampu memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga, namun juga membantu orang lain. Ingatlah, sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Wallâhu’alam

IU RUSLIANA, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Bandung, aktif di Mien R Uno Foundation (MRUF) Jakarta.

Sumber, Republika 17 Desember 2014.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter