Revolusi Mental dan Budaya

Dalam teori sosiologi pembangunan untuk menganalisis maju mundurnya suatu bangsa, salah satunya dikenal dengan Teori Modernisasi. Teori ini berpendapat bahwa keterbelakangan suatu bangsa disebabkan oleh belum menularnya karakter bangsa maju atau negara modern kepada bangsa terbelakang. Misalnya, karakter memiliki etos kerja tinggi, rasional, disiplin, efisien, hemat, dan jujur, sebagaimana layaknya karakter bangsa maju.

Menurut teori ini, suatu bangsa hidup terbelakang, miskin, banyak pengangguran, kesehatan buruk, pendidikan rendah, disebabkan oleh mentalitas bangsa itu yang terkungkung budaya malas, etos kerja rendah, tidak disiplin, tidak jujur, tidak rasional, mental menerobos. Menurut sosiolog Herman Soewardi, disebut lemah karsa sehingga bangsa tersebut akan terus terbelakang walaupun dibantu dana dan fasilitas teknologi yang banyak karena mereka secara mental dan budaya belum siap melakukan pembangunan bangsanya sehingga kondisi bangsa meningkat menjadi bangsa maju. Menurut teori modernisasi ini, resep untuk mengubah bangsa agar maju dari lemah karsa menjadi kuat karsa, maka harus dilakukan perubahan mental dan budaya.

Dari orang perorang bangsa itu, maka pada posisi inilah tampaknya Jokowi-JK (Presiden dan Wakil Presiden) terpilih mengajukan konsep Revolusi Mental agar bisa mengubah mindset masyarakat sehingga bangsa bisa maju sesuai cita-cita Proklamator Bangsa. Menurut teori ini, kalau suatu bangsa ingin maju, maka karakter bangsa maju harus disosialisasikan secara intensif ke individu-individu melalui pendidikan di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Sungguh pun demikian, Dawam Raharjo tidak sependapat dengan teori modernisasi ini. Maju mundurnya suatu bangsa sangat bergantung pada sistem ekonomi dan politik yang memberi kesempatan dan peluang yang mudah dan adil sehingga semua orang memiliki kesempatan sama untuk menjemput peluang meraih kemajuan.

Kelemahan budaya
Tantangan berat yang kita hadapi ke depan dalam memajukan peradaban bangsa adalah lemahnya moral dan budaya bangsa yang mengakibatkan lemahnya karsa. Oleh Bung Karno dalam trisaktinya disebut lemahnya kepribadian budaya bangsa. Hal ini bersumber dari dampak negatif faktor budaya internal bangsa dan faktor eksternal yang disebabkan terjadinya serangan budaya globalisasi yang tidak bisa dihindari.

Dampak negatif faktor internal budaya bangsa bersumber dari sistem nilai yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya yang mungkin tali-temali dengan adat istiadat, lingkungan masyarakat, kesalahpahaman pemahaman agama dan budaya sehingga mengganggu kemajuan bangsa. Sosiolog Herman Soewardi mengemukakan ada lima ciri kelemahan budaya bangsa kita yang harus segera diubah kalau ingin maju.

Pertama, dalam bekerja kadang–kadang tidak berorientasi ke masa depan sehingga dalam masyarakat kita dikenal istilah bagaimana besok, bukan besok bagaimana. Akhirnya bekerja tanpa perencanaan yang matang, asal jadi, tidak bepikir kualitas dan cara untuk mencapainya. Oleh Muhtar Lubis disebut mental menerabas, ingin cepat sukses dengan menghalalkan segala cara yang ujung-ujungnya melahirkan budaya korupsi.

Kedua, growth philosophy. Maksudnya dalam bekerja tidak ada keharusan apa yang kita kerjakan itu harus menjadi besar, tetapi dilakukan secara rutinitas saja, kegiatan usaha dilakukan hanya sekadar memperpanjang hidup. Ketiga, kurang ulet atau cuek, dalam bekerja kadang-kadang cepat menyerah, kurang ulet, terkenallah dengan pribahasa “Jatuh diimpit tangga, keluar dari mulut harimau masuk mulut buaya.”

Keempat, retretism, berpikir berpaling ke akhirat semata-mata dan melupakan kehidupan dunia. Hal ini disebabkan kesalahpahaman terhadap pemahaman agama yang benar. Akhirnya sebagian dari umat beragama bangsa kita berpendapat, “Biar hidup miskin di dunia, sebab nanti di akhirat akan masuk surga”. Hal ini kata para ulama pemutarbalikan logika, tidak logis apabila ingin masuk surga tanpa usaha di dunia.

Kelima, inertia. Maksudnya, kelemahan budaya bangsa kadang-kadang lamban bekerja sehingga ketinggalan peluang untuk maju. Kelemahan budaya bangsa harus diubah, mengubah mindset bangsa kita ke arah budaya yang positif sehingga dapat memiliki kepribadian dan budaya bangsa yang kuat, ulet, mandiri beretos kerja tinggi. Pintu masuknya melalui pencerahan pendidikan di berbagai jenjang yang bersinergi dengan pendidikan keluarga dan masyarakat.

Pencerahan pendidikan
Upaya membangun peradaban bangsa Indonesia yang maju, sejahtera, mandiri, dan kuat diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, unggul, dan berdaya saing. Hal ini dapat dilakukan dengan membina SDM kita yang menurut Habibie memiliki jiwa entrepreneurship, menguasai, dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi, bermoral, dan beretika yang berbasis pada ajaran agama di negara yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.

Habibie mengajukan teori HO2, yakni Hati (iman dan takwa), Otak (ilmu pengetahuan), dan Otot (teknologi). Tentu kita belum puas dengan kondisi pendidikan kita saat ini. Hasil survei lembaga internasional menunjukkan kualitas pendidikan menduduki peringkat ke-64 dari 120 negara yang disurvei. Tingkat daya saing nomor 38, di bawah Malaysia, Brunei, dan Thailand. Sedangkan, tingkat korupsi masih tinggi pada peringkat 118.

Lembaga pendidikan kita cenderung melahirkan pengangguran intelektual, kurang mandiri, pencari pekerjaan, bukan pioner pembuka lapangan kerja. Pintu masuk melakukan revolusi mental yang paling strategis harus melalui pencerahan kualitas pendidikan. Finlandia, negara yang menjadi idola model pendidikan dewasa ini, meraih ranking indeks kebahagiaan tertinggi di dunia, daya saing SDM-nya pernah menduduki peringkat pertama dunia.

Dalam pembangunan bangsanya, selain meningkatkan pertumbuhan ekonomi, juga keseimbangan hidup dan kepuasan batin serta pemerataan pembangunan. Menurut pakar pendidikan Finlandia Pasi Sahlberg, ini dilakukan dengan mengembangkan model belajar-mengajar yang berorientasi siswa agar terbiasa ingin tahu atau belajar berpikir, kemandirian siswa yang menekankan kemampuan kreativitas dan inovasi, serta mengedepankan nilai-nilai dan etos yang menjunjung tinggi lingkungan hidup.

Karena itu, model proses belajar-mengajar yang dikembangkan di Finlandia lebih sedikit bagi guru dan belajar lebih banyak bagi guru dan siswa. Di Finlandia menjadi guru adalah profesi prestisius. Banyak orang muda yang terinspirasi ingin menjadi guru. Fakultas Keguruan telah menjadi pilihan nomor satu orang-orang muda Finlandia, di atas kedokteran dan hukum.

Ujian nasional diserahkan ke sekolah masing-masing, demikian pula dengan materi ujian nasional. Pemerintah pusat cukup menentukan standar kualitas pendidikan saja. Itulah sebabnya rencana kabinet Jokowi-Jk, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional diubah menjadi Kementerian Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi; Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mengelola pendidikan dasar, menengah, dan olahraga sangat strategis untuk terwujudnya revolusi mental guna memperkokoh kepribadian dan budaya bangsa.

Nanat Fatah Natsir, Guru Besar Sosiologi Agama, Mantan Rektor UIN Sunan Gunung Jati Bandung.

Sumber, Republika Jumat, 19 September 2014.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter