Republik Portal

Perjalanan kehidupan bangsa ini terasa masih bergerak lambat. Salah satu sebabnya karena banyak ruas yang terhalang “portal”. Pintu penghalang yang menggambarkan keangkuhan lembaga negara dan pemerintahan, “kepentingan” partai politik atau oknum pejabat yang kerjanya menghisap duit rakyat.

Seperti halnya portal, ada penjaga dan penarik retribusi resmi dan tak resmi. Hampir setiap instansi merasa memiliki kewenangan, kurang mengindahkan etika dan minim berkoordinasi. Bahkan lebih parah lagi, kadang saling sandera satu sama lain. Kasus penetapan tersangka BG oleh KPK dan tak lama kemudian BW oleh Bareskrim Polri, terlepas dari persoalan hukum yang membelit, di sisi lain, diakui atau tidak, menunjukkan ada ego individu yang ditarik ke institusi. 

Ironisnya lagi, egoisme itu tak hanya dipertontonkan dengan vulgar di level elit. Di kalangan akar rumput, sekat antar kelompok dan komunitas dipertebal, dengan mudah disulut, dibakar menjadi kerusuhan hebat. Rasa saling percaya (mutual trust) menjadi barang langka di ruang publik. Media massa dan media sosial menjadi wahana berekspresi tanpa batas, kadang menjadi alat propaganda kebencian satu sama lain. Curiga dan kebencian mudah ditebar dan pada satu ketika menjadi luapan kemarahan yang brutal tanpa belas kasihan. Bangsa yang tenggangrasa, menghormati, saling tolong menolong, mengedepankan etos gotong royong, kini tengah mengalami erosi, karena sekat portal yang menjauhkan satu sama lainnya.  

Fungsi Koordinasi
Pada situasi seperti ini, koordinasi menjadi kata kunci di level negara dan birokrasi. Fungsi koordinasi tertinggi ada pada Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan. Presiden harus menjadi sosok terdepan untuk merekatkan ikatan kebangsaan, menumbuhsuburkan nasionalisme di seluruh anak bangsa dan memperkuat rasa keadilan bersama tanpa kecuali. Presiden harus mengelola dengan baik seluruh kelompok kepentingan, demi persatuan dan kesejahteraan bangsa. Dia harus berdiri di atas semua golongan dan mengedepankan kepentingan rakyat. Presiden harus bertindak cepat, sebagaimana dia blusukan ke berbagai tempat.

Fungsi koordinasi lanjutannya ada pada unsur legislatif, yudikatif, para menteri, pejabat negara lainnya, hingga aparatur di daerah. Birokrasi adalah mesin penggerak pelayanan publik dan pembangunan. Minimnya koordinasi antar instansi menjadikan kepincangan layanan di ruang publik sangat terasa.

Faktanya belum banyak lembaga layanan publik yang benar-benar bebas pungli. Ibarat portal di jalanan, pelayanan birokrasi dan hukum di negeri ini selalu ada tarifnya. Tentu saja bukan biaya resmi dan menjadi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), namun masuk kantong sendiri oknum birokrasi, menentukan mulus atau tidaknya sebuah urusan.

“Bantu Kami Untuk Tidak Menerima Suap” atau “Jangan Membayar Lebih, Bayarlah Sesuai Tarif” dan slogan lain hanya omongkosong tanpa bukti. Segala urusan selalu bertarif khusus dan jadilah rente pungli mengakar, ibarat lingkaran setan tak berujung. “Diurus orang dalam” akan lebih memudahkan, namun tentu dengan biaya yang tak murah.

Untuk ketertiban dan melaksanakan tugas pokok dan fungsi layanan, aturan itu diperlukan, namun bukan  menyulitkan. Karena itu perlu koordinasi, peran itu ada di level pimpinan tertinggi. Apabila kementerian dan lembaga tinggi negara, Presiden lah yang harus memimpin dan menyinergikan, mengingat Presiden selain sebagai kepala pemerintahan juga kepala negara. Sementara  untuk birokrasi, setiap unit di atasnya memiliki fungsi koordinasi.

Memang alur birokrasinya lumayan panjang dan memerlukan waktu lama, namun perlu keseriusan untuk menatanya. Sekedar usul sederhana, jangan sekedar memerintahkan PNS berhemat, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi lebih baik fokus melakukan singkronisasi dari sisi aparaturnya untuk memberikan pelayanan publik dari pusat ke daerah. Penyemaian visi misi revolusi mental pemerintahan Jokowi-JK harus ditanamkan ke seluruh aparat birokrasi.

Tentu memerlukan waktu lama untuk mengubahnya. Namun remunerasi yang mulai merata ke seluruh kementerian dan lembaga negara akan sangat membantu proses persemaian ide pelayanan prima kepada seluruh rakyat Indonesia.

Revolusi Layanan
Hasil survei Doing Business Bank Dunia tahun 2015 menempatkan Indonesia ada di peringkat 114, kalah dengan Filipina di peringkat 95, Vietnam 78, apalagi dengan Thailand di urutan ke 26, Malaysia ke 18, apalagi dengan Singapura di peringkat 1. Wajar saja, sebagai contoh, perlu waktu tahunan untuk mengurus ijin pembangkit listrik di negeri ini.

Inilah PR besar pemerintahan Jokowi-JK. Sedikit usul bagi para menteri yang sepertinya bingung menentukan program utama, hanya bikin program asal beda dan mengejar popularitas, memberantas pungli harus menjadi prioritas. Penerapan kebijakan online janganlah setengah hati. Bagi petugasnya, lakukanlah edukasi dan rotasi serta penempatan staf yang masih muda, yang masih lincah dan tak terkontaminasi “virus layanan lelet” dan “doyan pelicin.”  Bagi masyarakat pengguna jasa layanan publik, lakukan sosialisasi, berikan panduan jelas dan rinci tentang tahapan dan prosedur yang harus ditempuh.

Di Kementerian Keuangan, revolusi layanan mulai terlihat hasilnya. Di beberapa pemerintah daerah, seperti di Surabaya, Bantaeng dan Banyuwangi sistem layanannya sudah semakin baik. Semua itu mungkin ketika pimpinannya kuat, sistemnya berjalan baik dan ada teladan dari pimpinan. Dalam ilmu manajemen perubahan, sistem dan kepemimpinan diyakini sebagai faktor penting dalam perubahan budaya organisasi.

Selain itu, terbukalah untuk semua kebijakan yang menyangkut kepentingan rakyat. Edukasi yang simultan kepada masyarakat menjadi penting agar ruang terjadinya suap semakin sempit. Berikan kejelasan semua prosedur yang harus dilalui dan pastikan pengawasan yang ketat sehingga tak ada ruang untuk korupsi di antara oknum birokrat.

Mesti diingat, blusukan yang dilakukan Presiden masih menghasilkan informasi umum, belum ke akar persoalan. Tentu saja, karena blusukan bersifat spontan, harus disertai dengan agenda menindaklanjuti, menggali informasi lebih dalam, membawanya ke meja rapat untuk dirumuskan kebijakan, selanjutnya diimplementasikan di seluruh lini birokrasi dari atas hingga satuan kerja terbawah. Kita tentu masih berharap pola seperti itu dilakukan, mengingat usia pemerintah baru seumur jagung.

Pada akhirnya, kita berharap agar pemerintahan Jokowi-JK secara efektif mampu menghilangkan berbagai portal penghalang laju pembangunan bangsa. Onlinesasi di seluruh lini layanan dari pusat hingga daerah, harmonisasi antar lembaga negara dan pemerintahan, mutual trust   di ruang publik harus segera terbangun. Apabila kondisi seperti saat ini dibiarkan berlarut, perlahan namun pasti, perahu republik Indonesia akan karam, tenggelam dalam kenistaan. Mereka yang berkuasa akan semakin kaya raya, rakyat jelata semakin menderita. []

Iu Rusliana, dosen Fakultas Ushuluddin UIN Bandung, aktif di Mien R Uno Foundation-Jakarta. 
   
   
   

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter