Reposisi Umat Islam di Era Globalisasi Jadi Bahasan Diskusi Bulanan FISIP UIN Bandung

UINSGD.AC.ID (Humas) — Centre for Asian Social Science Research (CASSR) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Sunan Gunung Djati Bandung menggelar Forum Diskusi Dosen FISIP ke-24 di Ruang Dosen, Rabu (25/9/2024).

Prof. M. Taufiq Rahman, MA, tampil sebagai narasumber yang membahas tentang “Reposisi Umat Islam dalam Struktur Baru Sosiologi Global”. Diskusi bulanan dibuka oleh Wakil Dekan II FISIP, Dr. H. Faizal Pikri, M.Ag, “Saya atas nama pimpinan menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada CASSR, para peserta dan narasumber atas terselenggaranya agenda diskusi bulanan ini sebagai upaya menciptakan atmosfir akademik,” jelasnya.

Direktur CASSR, Asep Muhammad Iqbal, Ph.D, menegaskan komitmen CASSR dalam mengadakan forum diskusi dosen sebagai agenda bulanan yang kini memasuki edisi ke-24. “CASSR juga rutin menyelenggarakan berbagai kegiatan akademik lainnya, seperti kuliah umum, seminar nasional, dan konferensi internasional,” ujarnya.

Dalam pemaparannya, Prof Opik sapaan akrabnya mengulas berbagai dinamika sosial dan geopolitik yang memengaruhi posisi umat Islam di era globalisasi.

“Sejak runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani, dunia Muslim mengalami fragmentasi yang berujung pada migrasi besar-besaran ke negara-negara Barat. Umat Islam harus mampu memposisikan diri secara strategis di tengah arus globalisasi yang kian pesat,” tandasnya.

Sambil mengutip Yanis Varoufakis, mantan Menteri Keuangan Yunani, yang mengkritik kapitalisme modern dan menyebutnya sebagai bentuk feodalisme baru di era internet.

Dalam pandangan Noam Chomsky yang menyoroti bagaimana Amerika Serikat membentuk selera global melalui ideologi Hak Asasi Manusia, institusi internasional, serta sistem keuangan global.

Salah satu peserta diskusi, Dede Syarif, menanggapi dengan menyebutkan “bahwa migrasi umat Islam ke Eropa lebih disebabkan oleh konflik nasional daripada agama,” paparnya.

Pendapatnya diperkuat dengan mengulas pemikiran Anthony Giddens, yang menjelaskan bahwa globalisasi terbentuk melalui kapitalisme, nation-state, militerisme, dan tenaga kerja internasional. “Dari perspektif Professor Kay Milton, aspek budaya dalam globalisasi, tidak hanya fenomena ekonomi atau politik, tetapi juga budaya,” bebernya.

Diskusi semakin menarik saat Prof. Opik merespons pertanyaan mengenai apakah identitas Islam bisa bertahan dalam struktur global yang dipengaruhi Barat. “Ya identitas Islam masih bisa dipertahankan dalam globalisasi, meskipun hal tersebut masih bersifat imajiner tanpa kepemimpinan yang kuat,” tuturnya.

Penanggap lainnya, Asep Muhammad Iqbal, Ph.D, menyoroti pentingnya mengkaji sosiologi global dengan pendekatan non-Eurosentris. Bagi Iqbal dominasi metodologi Barat dalam kajian internasional masih sangat kuat, sehingga diperlukan perubahan epistemologis untuk memberikan tempat yang lebih adil bagi perspektif non-Barat, termasuk umat Islam.

Diskusi ini ditutup dengan refleksi Prof. Opik yang menegaskan bahwa reposisi umat Islam di era globalisasi tidak berarti perubahan radikal, melainkan rekonstruksi yang lebih moderat. “Namun, tantangan utamanya terletak pada dominasi Barat yang masih kuat dalam berbagai aspek, termasuk epistemologi dan metodologi penelitian sosial,” tandasnya.

Acara bulanan ini kembali menyoroti tentang pentingnya peran diskusi ilmiah dalam merespons dinamika global, khususnya bagi dunia Islam, di tengah-tengah perubahan sosial dan geopolitik yang terus terjadi.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *