Rektor, Perlu Pemimpin yang Integral

[www.uinsgd.ac.id] Kita sekarang membutuhkan pemimpin yang bisa menyatukan, pemimpin yang integral. Persoalan-persoalan yang dihadapi sekarang karena kita tidak memiliki pemimpin yang integral.

Di UIN sangat beragam orang menjalankan fiqhnya, ada yang pake qunut, ada yang tidak, ada yang taraweh 23 ada yang sebelas dalam sholat shubuh. Bagaimana agar integral? Sekarang di UIN sudah mulai pake Qunut, karena dengan qunut, orang yang tidak qunut bisa melakukannya. Tapi jika tidak pake qunut, orang yang qunut tidak bisa qunut. Begitu juga, taraweh menjadi 23 rakaat agar yang 11 rakaat bisa ikut tarawah, tapi jika taraweh 11 rakaat maka yang 23 rakaat tidak bisa.

Hal tersebut disampaikan oleh Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Prof. Dr. H. Dedy Ismatullah, SH., M.Hum saat menyambut dua ratus pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam Wilayah Jawa Barat dan Banten, di Aula Al-Jamiah, Sabtu (07/09/2013)

“Persoalan UIN karena tidak punya pemimpin yang integral. Ingin umat Islam menyatu saya sudah mengajak NU kemarin pak Said Agil Siradj dan pimpunan Muhammadiyyah Din Samsudin untuk ikut serta mengembangkan UIN, mereka akan menjadi dosen di sini dan mereka sudah setuju,” ujar Rektor.

Pada kesempatan tersebut, Rektor mendorong agar PTAIS bisa diperjuangkan ditingkat Nasional.” Di tingkat nasional harus ada yang memperjuangkan PTAIS yaitu adanya birokrat nasional, ada orang yang memperjuangkan. Oleh karena itu saya kira pak Nu’man banyak pengalaman, ia akan menjadi  wakil kita nanti di DPD. Ini menjadi pola agar ada yang memperjuangkan PTAIS,” ucapnya.

Rektor mengajak semua hadirin agar pertemuan tersebut bisa melahirkan pemikiran bagaimana agar wakil-wakil dari Jawa Barat bisa mengisi tingkat nasional karena nota bene Jawa Barat yang paling dekat dengan pusat dan memiliki mayoritas penduduk.

Menyambut pernyataan Rektor, untuk melahirkan pemimpin yang integral pada masa yang akan datang, Nu’man berkali-kali bahwa mahasiswa UIN ke depan harus dibekali dengan emotional quotient  (EQ) atau dengan entrepreneurship yang menjadi implementasi dari EQ tersebut.

“Di era global, jika tidak berkualitas maka hancurlah kita makanya kita menjadi negara pengimpor terbesar. Klao kita ke depat tidak mampu bertahan hancurlah kita. Dulu  tahun 1970 tekstil kita terbesar  sekarang kalah oleh china,” ujarnya.

Ia mengatakan bahwa pemimpin besar seperti Soekarno karena ia tidak hanya cerdas secara intellektual tapi juga cerdas secara emosi melalui kampus keduanya. Ciri kunci agar bisa bersaing adalah memadukan intelektual, emosional, dan spiritual. UIN akan maju jika mampu melakukan itu dan mengubah tradisinya.

“Jika tradisi tidak berubah dan hanya mengutamakan otuput dalam bentuk ijazah saja tidak mengubah proses maka kampus ini akan melakukan kembali feodalisme baru. Menjadi employer, not leader. Hanya ijazah. Ijazah itu ketelanjangan,” tegasnya.

Menurutnya, yang harus dilakukan adalah harus mengubah sistem pendidikan dengan ESQ atau juga entrepreneurship atau mindset. Entrepreneurship itu bukan jualan, tapi mindset. Setiap orang bisa jadi apapun asal berangkat dari otaknya.***[Dudi]

 

 

 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *