Rektor “Gugat” UU Perbankan Syari’ah

[www.uinsgd.ac.id] Rektor, Prof. Dr. H. Dedy Ismatullah, SH., M.Hum bersama Dr. Ija Suntana, M. Ag “menggungat” Undang-undang Perbankan Syari’ah. Sebagaimana diberitakan oleh situs mahkamah konstitusi pada Kamis (20/12/ 2012). Rektor hadir sebagai saksi ahli dan Ija menjadi ahli pemohon.

Menurut situs mahkamah konsitusi, Pengujian UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah – Perkara No.93/PUU-X/2012 –  memasuki agenda mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon, pada Kamis (20/12) siang di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Hadir selaku Ahli Pemohon bernama Ija Suntana, menjelaskan beberapa pokok pemikiran terkait uji materi Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU Perbankan Syariah.

Ija mengatakan, secara filosofis substansi hukum perbankan syariah didominasi oleh istilah-istilah bisnis Islam. Oleh sebab itu, kata Ija, merupakan hal yang tepat apabila penyelesaian perkara perbankan syariah dilakukan dalam lingkungan peradilan yang secara substantif membidangi hal-hal terkait nilai-nilai syariat Islam.

 “Apabila diserahkan pada sistem peradilan yang tidak menerapkan aturan-aturan syariah, yang akan muncul adalah ketidaksinkronan antara praktik akad dengan penyelesaian sengketanya,” jelas Ija.

Hal lainnya, lanjut Ija, salah satu kompetensi absolut peradilan agama adalah menyelesaikan perkara-perkara sengketa ekonomi syariah. Perbankan syariah termasuk dalam bagian dari ekonomi syariah.

“Oleh sebab itu, pelemparan kompetensi absolut kepada selain lembaga yang tertulis secara langsung, menurut penilaian saya merupakan penyimpangan dari asas kepastian hukum. Hal itu diatur dalam Pasal 28D UUD 1945 tentang hak asasi manusia yang menjamin kepastian hukum bagi warganya,” ujar Ija.

Dikatakan Ija, ketika ada dua peradilan diberi kesempatan untuk dipilih oleh para pihak yang bersengketa, hal itu akan menimbulkan choice of forum yang dalam perkara yang substansi sama.

“Kemudian karena diberi kebebasan memilih, hal itu akan menimbulkan legal disorder atau kekacauan hukum. Selain itu akan menimbulkan disparitas putusan, kemungkinan juga menimbulkan keanehan, ” tambah Ija.

Ija melanjutkan, ketika putusan A lahir dari pengadilan agama, sedangkan putusan B lahir dari pengadilan umum untuk kasus yang sama, maka akan terjadi keanehan bagi para pihak yang menerima putusan. “Putusan Pengadilan A kok berbeda dengan pengadilan B. Keadaan seperti itulah yang akan muncul akibat adanya choice of forum,” kata Ija.

Selanjutnya Ija menanggapi soal Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU Perbankan Syariah. Ia menjelaskan, dalam istilah hukum Islam akan menimbulkan ta’aradhul adillah atau pertentangan dua aturan ketika ayat (2) dan ayat (3) UU Perbankan Syariah masih tetap ada.

Berikutnya, Ija menegaskan bahwa Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU Perbankan Syariah bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Salah satu karakter negara hukum adalah adanya kepastian hukum.

“Di samping itu Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU Perbankan Syariah bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945 yang menyebutkan bahwa salah satu hak asasi manusia, termasuk di dalamnya nasabah perbankan syariah, dijamin dengan kepastian hukum,” dalih Ija kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Achmad Sodiki.

Sementara,  Rektor UIN Sunan Gunung Djati, Prof. Dr. Dedi Ismatullah, SH., M.Hum, ahli yang juga dihadirkan pemohon dalam keterangannya juga mengatakan Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU Perbankan Syariah bertentangan dengan UU No. 50/2009 terkait kompetensi Peradilan Agama. Kompetensi peradilan agama ini adalah merupakan kepastian hukum bagi orang yang ingin berperkara di dalam masalah bank ekonomi Islam.

Rektor juga mengaitkan materi uji materi dengan Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945, “Negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk pemeluk agamanya untuk melaksanakan syariatnya.” Menurutnya, melaksanakan ekonomi syariah di peradilan agama, itu adalah merupakan bentuk dari implementasi Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945.

“Maka negara mempunyai kewajiban melindungi hak-hak hukum bagi setiap warga negaranya. Kemudian yang ketiga, Pasal 28 Ayat (1) UUD 1945, saya kira sudah jelas di situ tentang kepastian hukum. Kemudian setiap orang berhak atas pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum,” urai Dedi.

Dalam situsnya, mahkamah konstitusi menyebutkan bahwa Selain ahli dari Pemohon, hadir pihak Pemerintah antara lain Agus Hariyadi dari Kementerian Hukum dan HAM.  Dalam kesempatan itu, pihak Pemerintah tidak memberikan keterangan kepada Majelis Hakim, namun hanya mendengarkan keterangan dari dua ahli Pemohon tersebut.***[dudi]

Sumber: mahkamahkonstitusi.com

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *