Hapuskan Dikotomi Nilai Religiusitas dan Nilai Nasionalisme
Selama 75 (Tujuh Puluh Lima) Tahun, Indonesia diikrarkan sebagai bangsa yang berdaulat, telah mengalami beberapa fase ujian dan cobaan, untuk tetap menjadi bangsa yang Bersatu dan Maju, Dalam catatan sejarah, berbagai percobaan melunturkan nilai Nasionalisme Masyarakat Indoenesia, timbul dari berbagai paham yang bertentangan dengan Nilai Pancasila. Termasuk diantaranya, banyak yang tanpa lelah menggesekkan paham keagamaan dengan nilai-nilai nasionalisme rakyat Indonesia yang termaktub dalam Pancasila, dengan seolah-olah mendefinisikan dan mengartikan Pancasila bukanlah kesepakatan bersama segenap masyarakat indoensia.
Perlu dipahami dan disepakati oleh kita bersama, bahwasanya lahirnya Pancasila merupakan bukti kongkrit para founding father kita dalam mengintegrasikan nilai-nilai religiusitas / agama, pada pondasi nilai nasionalisme di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain itu jika merujuk pada Tap.MPR No.II/MPR/1978 yang menuliskan 36 butir pengamalan Pancasila, dan disempurnakan melalui Tap. MPR no. I/MPR/2003 dengan 45 Butir pengamalan Pancasila, tidak ada satupun butir pengamalan yang bersebrangan dan atau bertentangan dengan nilai-nilai Religiusitas, karena Nilai Religiusitas telah dipadukan dengan nilai komunalitas yang mensejajarkan seluruh masyarakat pada garis lurus tanpa membadakan agama, suku, ras dan Bahasa.
Hal tersebutpun diungkapkan dalam tulisan Fokky Fuad (2016), yang mengungkapkan Falsafah hukum Pancasila tidak terlepas dari lima Sila yang terkandung dalam Pancasila. Nilai Ketuhanan, Nilai Kemanusiaan, Nilai Persatuan, Nilai Musyawarah, dan Nilai Keadilan Sosial. Dari lima nilai tersebut dapat dilihat terdapat dua inti nilai utama: Nilai Religiusitas dan Nilai Komunalitas. Nilai Religiusitas mengandung makna adanya sebuah konsep berfikir bahwa dalam ruang kosmik berfikir dan berhukum selalu mengkaitkan dengan nilai-nilai ketuhanan.
Meletakkan Tuhan sebagai pusat dari gerak alam sekaligus gerak dinamika berhukum masyarakat Indonesia.Nilai komunalitas adalah sebuah ruang kosmik bahwa manusia Indonesia menyadari tak dapat hidup sendiri. Dalam berkehidupan ia selalu bersama dengan orang lain. Ia menyadari bahwa eksistensi dirinya ada ketika ia hidup bersama dan mengakui, menghormati sesamanya. Ia menjadi manusia justru ketika ia hidup bersama dengan manusia lainnya. Bukankah hukum baru muncul ketika ada lebih dari satu manusia yang hidup bersama? Nilai komunalitas ini berpadu dengan nilai Religiusitas membentuk sebuah falsafah hukum hukumnya sendiri yaitu: Falsafah Hukum Pancasila.
Bahkan jika merujuk pada fungsi dari nilai religiusitas yang dijabarkan pafa 6 (enam) fungsi, yakni: 1) Fungsi Edukatif; 2) Fungsi Penyelamat. 3) Fungsi Perdamaian. 4) Fungsi Pengawasan Sosial. 5) Fungsi Pemupuk Rasa Solidaritas. 6) Fungsi Transformatif. Asyarie (1988). Maka alih-alih bertentangangan dengan nilai Pancasila, justru nilai religiutas selaras dengan fungsi dari 45 butir pengamalan Pancasila yang dijadikan dasar Nasionalisme masyarakat Indonesia.
Maka, setelah 75 tahun dengan berbagai perubahan sosio-politik di Indoensia, pantaslah penulis mengingatkan kembali bahwa: “Jika kita sebagai manusia Indonesia ber-agama, maka pantaslah kita tetap mengusung nilai Pancasila. Karena jika tidak, maka kita sama saja mengkebiri dan atau mengecilkan nilai keagamaan itu sendiri.”
Hal kongkrit sebagai refeleksi 75 tahun Indonesia merdeka yang penulis sarankan adalah: Agar seluruh elemen masyarakat, tidak lagi mendikotomi (memisahkan) antara nilai religiusitas dengan nilai nasionalisme. Contohnya saja, tidak lagi kita memaksakan kehendak organisasi, lembaga dan atau partai politik, untuk berlandaskan pada salah satu nilai agama tertentu. Atau seolah-oleh menjadi organisasi, lembaga dan partai politik yang merasa paling religius. Bahkan merasa bahwa organisasi, lembaga dan partai politik yang Nasionalis, dianggap tidak beragama dan atau tidak mengusung nilai religius.
Sebetulnya inilah yang akan menjadi batu sandungan bagi Indonesia untuk tetap Bersatu dan Maju. Karena kita terlalu terbiasa memelihara dan membesar-besarkan perbedaan untuk menjadi komoditas dalam politik dan atau ekonomi, tanpa memperhatikan kondisi bangsa yang membutuhkan persatuan, terutama dalam menyongsong Indonesia Maju pada tahun 2045 kedepan.
Selanjutnya kita sebagai masyarakat, sudah seharusnya tidak mudah terpengaruh pada sekelompok kecil orang yang merasa gusar jika Indonesia ini menjadi negara Bersatu dan Berdaulat, dengan membentur-benturkan nilai religius dengan nilai nasionalisme. Karena dengan membenturkan keduanya, masyarakat Indonesia akan terus terkotak-kotak dan selalu memelihara kebencian satu sama lain. Padahal dengan konfilk tersebut, bukan masyarakat kita yang menuai manfaatnya, namun hanya sekelompok kecil dan atau bangsa lain yang sedang berharap bangsa ini terbelah. Sehingga kita akan kembali pada masa sebelum 75 tahun silam, masa dimana kita tidak memiliki kedaulatan atas tanah dan bangsa kita sendiri. Lalu, apakah kita rela membiarkan hal itu terjadi?
Khaerul Umam, Ketua Jurusan Administrasi Publik FISIP UIN SGD Bandung