Rasanya Menjadi Santri

Saya ingat, bagaimana rasanya menjadi santri.

Kami harus bangun sebelum ayam berkokok. Kami harus berjejer rapi di masjid sebelum adzan subuh dikumandangkan. Tak jadi soal, apakah mata masih ngantuk atau tidak sempet mandi karena kehabisan air, duduk di masjid menunggu adzan dengan tadarusan adalah kemestian yang harus dilakukan.

Tapi menjadi santri adalah sebutan yang bisa tidak mengenakan. Dikatakan, jika mereka yang “dipesantrenkan” adalah anak bengal. Kurang berprestasi semasa SD. Atau, siasat jitu orang tua untuk melemparkan tanggungjawab dari keharusan mendidik anaknya secara langsung.

Perasaan serupa menghinggapi saya di awal-awal masuk pesantren. Saya merasa dibuang. Diasingkan dari kasih sayang orang tua. Dan dijauhkan dari kehangatan saudara. Ketatnya aturan dan keharusan untuk disiplin pada norma-norma kepesantrenan, menjadi santri bagi saya adalah seumpama menjadi tawanan yang dimasukan ke dalam penjara. Semuanya serba diawasi. Segala serba diatur. Tak bebas!

“Tidak kuat” dengan disiplin, tidak adanya kebebasan juga jam sekolah yang panjang dari pagi sampai malam, membuat saya menyerah dan nekat untuk kabur. Balik ke rumah. Saya protes sama bapak juga ibu, saya mau keluar! Saya marah, saya katakan bahwa saya anak yang dibuang. Anehnya, bapak juga ibu malah tersenyum.

Entah bagaimana ceritanya, apakah karena saya disogok dengan uang bulanan yang dilebihkan atau karena bujuk rayu bapak juga ibu, saya akhirnya kembali ke pesantren. Kembali menjadi “tawanan” yang dibatasi dan diawasi segala gerak-geriknya.

Saya ingat, bagaimana rasanya menjadi santri.

Salah satu pelajaran yang saya suka adalah ilmu shorof. Di kalangan santri ilmu ini sering disebut sebagai salah satu dari “ilmu alat”. Membaca kitab kuning (gundul) akan menjadi siksaan tersendiri jika tak dibantu oleh ilmu alat. Shoroflah ilmu alat itu. Dengan shorof, “kegundulan” bisa dimengerti dan dipahami maksudnya. Terlebih membaca al-Qur’an yang memiliki kompleksitas frasa, kehadiran ilmu ini menjadi niscaya.

Ilmu ini bukan ilmu sembarangan. Seorang santri akan diragukan kesantriannya jika tak menguasai ilmu ini. Akan dianggap gagal orang yang mondok bertahun-tahun di pesantren jika tak faham ilmu ini. Disamping “ilmu ngaliwet”, menguasai ilmu shorof seumpama “conditio sine qua none” status kesantrian seseorang. Ya, shorof adalah ilmu yang menahbis seseorang layak bergelar santri atau tidak.

Sesuai dengan pengertian dasarnya, shorof adalah ilmu yang memetakan “perubahan” bentuk dari sebuah kata dasar (mufrod) ke bentuk plural (jama’). Bentuk kata berubah, berubah pula maknanya. Perubahan bentuk kata berimplikasi besar pada perubahan makna sebuah kalimat. Perubahan yang dimaksud bukanlah perubahan yang sembarangan. Dilakukan tanpa aturan dan menyimpang dari standar yang berlaku.

Shorof itu ilmu baku juga rumit. Disebut begitu karena di dalamnya ada “wajan” (timbangan) yang menjadi formula dasar yang menentukan pergeseran/perubahan bentuk kata. Seumpama siasat logika dalam format “modus fonen” (Jika P maka Q. Maka mustahil jika P maka R, S atau Z). Sepintar-pintarnya seorang santri terlarang baginya untuk berimprovisasi membuat perubahan bentuk kata yang menyimpang dari “wajannya”. Sebadung-badungnya seorang santri, di hadapan ilmu shorof, ia akan berubah menjadi santri yang sholeh, santun dan taat aturan.

Bagi saya, ilmu shorof adalah ilmu yang memberikan pelajaran tentang keharusan taat pada aturan. Ada tuntunan yang kepadanya kita harus setia, tulus dan teguh melakukannya. Ilmu shorof bagi saya, menjadi perumpamaan tentang laku beragama. Bahwa beragama secara umum adalah implementasi terhadap aturan dan tuntunan yang sudah digariskan.

Namun dalam ilmu shorof juga saya menemukan dua kata mutiara berharga yang bisa memantik pelajaran buat kita, bahwa selain kata “dhoroba” (memukul) ada juga kata “nashoro” (menolong).

Saya ingat, bagaimana rasanya menjadi santri.

Allahu a’lam[]

Tabik.

Dr. Radea Juli A. Hambali, M.Hum, Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter