Dari Ibnu Umar RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW melewati seorang Anshor yang sedang memberi nasihat kepada saudaranya, lalu beliau SAW bersabda, “Biarkan ia pemalu. Sesungguhnya sikap malu merupakan bagian dari iman,” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis tersebut sungguh menarik untuk direnungkan. Betapa pentingnya menjaga rasa malu. Tidaklah sempurna iman seseorang jika tidak ada rasa malu dalam dirinya. Rasa malu merawat kita dari tindakan berdosa walaupun mungkin tidak ada manusia yang tahu apa yang sedang dilakukan. Rasa malu melindungi kita dari perbuatan tak pantas, karena hati nurani dapat menilai mana yang pantas dan kurang tepat.

Malu berkaitan erat dengan iman. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang, tak bisa dipisahkan. Rasulullah SAW bersabda, “Iman dan malu merupakan pasangan dalam segala situasi dan kondisi. Apabila rasa malu sudah tidak ada, maka iman pun sirna,” (HR. Al-Hakim).

Rasa malu memiliki keutamaan yang sangat agung dalam syariat Islam. Jika manusia tidak memiliki lagi rasa malu atau kurang rasa malunya, maka berbagai kerusakan akan terjadi di muka bumi ini. “Jika kamu tidak memiliki rasa malu, berbuatlah sesukamu,” (HR. Bukhari).

Apabila kita perhatikan, salah satu penyebab rusaknya tatanan sosial antara lain karena hilangnya rasa malu. Maraknya korupsi, praktik kebohongan yang diproduksi selama ini seperti mengaku jadi raja dan ratu, memberikan bukti bahwa rasa malu dan bersalah itu sudah menipis atau mungkin hilang. Orang tua menghamili anaknya, anak membunuh orang tuanya, prostitusi online, pencurian, perampokan, pemerkosaan dan kejahatan lainnya merupakan contoh dari hilangnya rasa malu.

Rasa malu adalah tameng, sekaligus benteng dari melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Seseorang yang senantiasa memelihara dan menjaga rasa malu akan berhati-hati, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Selalu mempertimbangkan baik buruknya sesuatu dan berpikir sebelum bertindak. Perasaan malu selalu mendatangkan kebaikan. Rasulullah SAW bersabda, “Sifat malu seluruhnya merupakan kebaikan.” (HR. Muslim)

Orang yang memiliki rasa malu berarti berusaha untuk menjaga kehormatan dan kesucian diri (iffah). Memelihara kehormatan diri dari segala hal yang akan merendahkan, merusak, dan menjatuhkannya. Bagi Mukmin sejati, ia akan merasa malu kalau ucapannya tidak sesuai dengan kenyataan, penuh dusta dan kebohongan. Malu melanggar aturan, malu jika perbuatannya merugikan orang lain, atau mendatangkan keburukan bagi dirinya.

Sangat penting bagi kita untuk memupuk dan menghiasi diri dengan rasa malu. Berusaha sekuat tenaga menghindari perbuatan tercela, dan berupaya menebar kebaikan. Kesadaran seorang Muslim yang didorong oleh iman, islam dan ihsannya menjadi kekuatan.

Ibnu Rajab membagi malu menjadi dua macam. Pertama, malu yang menjadi karakter dan tabiat bawaan, dia tidak diusahakan melainkan Allah anugerahkan kepada seorang hamba-Nya. Tentu saja hal tersebut ekslusif miliknya para nabi dan rasul serta wali Allah Swt.

Kedua, malu yang diperoleh dari mengenal Allah dan mengenal keagungan-Nya, serta keyakinannya tentang Maha Tahu-nya Allah Swt. Malu jenis ini merupakan bagian dari buahnya iman yang dimiliki oleh seorang hamba, bahkan termasuk derajat ihsan yang paling tinggi. Menyadari bahwa Allah Swt selalu melihat dan mengawasi apa yang dilakukan baik dalam gelap maupun terang, lapang ataupun sempit. Maka berbahagialah mereka yang rasa malunya terjaga, imannya mengendalikan seluruh nadi kehidupan, islam dan ihsannya menjadi perhiasan semua amal perbuatan. Wallaahu’alam.

Iu Rusliana, dosen Fakultas Ushuluddin (FU) UIN Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung.

Sumber, Hikmah Republika 18 Februari 2020

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *