Ramadhan, Puasa, dan Kesalehan Sosial

(UINSGD.AC.ID)-Dalam perspektif Islam, bulan Ramadhan merupakan bulan yang istimewa. Bukan hanya karena di dalamnya terdapat limpahan rahmat yang tiada tara, dan ampunan (magfirah) Allah SWT yang tiada batas, tetapi juga terdapat beragam kemuliaan dan keutamaan lainnya.

BULAN Ramadhan juga dikenal dengan sebutan syahrun mubarak, bulan penuh keberkahan. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Rasulullah SAW, yang artinya, ”Sungguh telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah. Pada bulan ini diwajibkan puasa kepada kalian.” (HR. Ahmad, An-Nasa’i, dan Al-Baihaqi).

Luar biasanya lagi, bahwa setiap ibadah yang dilakukan di bulan Ramadhan, maka Allah akan melipat gandakan pahalanya. Karena itu, tidaklah mengherankan bila kemudian umat Islam di mana pun senantiasa merindukan bulan suci satu ini.
Ramadhan itu kini sudah datang, dan tengah menghampiri kita. Syukur alhamdulillah, keimanan dan keislaman kita juga makin menguat guna mengisi hari-hari indah bulan berkah yang selama ini dinanti.

Substansi dan esensi terpenting ibadah puasa ini termaktub di dalam Alqur’an, surat Al-Baqarah ayat 183. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.”
Karena itu, mengingat ibadah puasa yang kita laksanakan memiliki tujuan yang luar biasa, maka ikhtiar dan upaya mencapainya pun harus dilakukan dengan segenap langkah yang optimal dan keikhlasan yang sepenuh hati.

Bila kesadaran itu telah tertanam dalam diri kita, maka ibadah puasa yang kita laksanakan, insya Allah, tidak hanya sekadar menahan perut keroncongan, dan hausnya dahaga semata. Tapi jauh lebih dari itu. Kita akan mampu mempuasakan panca indera, pikiran, dan hati kita dari hal-hal yang berbau maksiat dan hal-hal yang dilarang syariat.

Tapi sayangnya tidak sedikit di antara kita yang masih belum menyadari hal itu. Pemahaman ibadah puasa sebagian saudara kita masih sebatas menahan lapar dan dahaga semata, belum beranjak naik ke posisi yang substantif. Ini tentunya menjadi tugas kita bersama untuk memberikan pemahaman yang lebih mendasar dan komprehensif tentang ibadah puasa.

Rasulullah SAW pernah bersabda, ”Betapa banyak orang yang berpuasa, mereka tidak memperoleh apa-apa dari puasanya, kecuali lapar dan dahaga semata.”

Kualifikasi Tingkatan Puasa
Memproses diri menjadi manusia yang bertakwa kepada Allah, memang bukan hal yang mudah. Bahkan tak jarang, kita kerap fasih mengucapkannya dengan lidah, namun sulit mengamalkannya dalam hidup keseharian. Tapi, dengan melatih diri dan berikhtiar optimal, insya Allah tujuan mulia menjadi orang yang bertakwa bisa tercapai.

Berbahagialah bila saja kita mampu mencapai tingkatan itu. Di dalam Alqur’an, Allah SWT menegaskan, ”Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa diantara kamu…” (QS. Al-Hujurat : 13).
Seorang sufi besar, Imam Al-Ghazali membagi kualitas puasa ke dalam tiga kualifikasi: puasa am, puasa khash, dan puasa khawasul khawas.
Puasa am, adalah puasa yang dilakukan sebatas menahan diri dari makan, minum, dan seks.

Puasa khash, adalah puasa yang dilakukan selain dengan menahan diri dari ketiga hal pertama tadi, juga dengan menjaga penglihatan, pendengaran, dan ucapan dari hal-hal berbau maksiat.

Puasa khawasul khawas, yakni puasa yang dilakukan bukan saja menahan diri dari ketiga hal pertama dan kedua, tetapi juga diikuti dengan menjaga suasana hati dari hal-hal yang rendah, berbau maksiat, dan berbagai kecenderungan yang tidak baik.

Menaiknya Kesalehan

Secara kasat mata, harus diakui bersama bahwa tingkat kesalehan umat Islam pada bulan Ramadan meningkat tajam. Bukan hanya kesalehan ritual, tapi juga kesalehan sosial. Ini sebuah kenyataan yang tentu saja membanggakan sekaligus menggembirakan.

Pertanda bahwa Ramadan memang telah terbukti mampu meningkatkan kesadaran dan perilaku keberagamaan umat Islam ke arah yang lebih baik. Kita tahu, mereka yang sebelumnya tak sering shalat berjamaah di masjid pun, menjadi rajin dan tekun. Mereka yang sebelumnya enggan berinfak, juga menjadi tergerak mengeluarkan hartanya baik berbagi untuk saudaranya, tetangganya, maupun sesamanya.

Dapat dikatakan bahwa Ramadan tergolong sukses atau berhasil melahirkan sikap keberagamaan umat Islam yang lebih komprehensif. Bukan hanya shaleh ritual, tetapi shaleh sosial. Hanya saja, di balik ketakjuban kita atas keberagamaan umat Islam di bulan Ramadhan itu, tersimpan keprihatinan mendalam terkait fase pada bulan-bulan
lain pasca Ramadhan. Ramadan tuntas, kesalehan pun terhenti. Haruskah ini terjadi?



Prof. Dr. H. Ahmad Sarbini, M.Ag, Guru Besar Sosiologi Dakwah, dan Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Sumber, Galamedia 6 April 2022

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *