Ramadhan dan Kesalingan dalam Relasi Seksual Pernikahan Perspektif Al-Qur’an

UINSGD.AC.ID (Humas) — Tulisan ini saya awali dengan mengutip salah satu ayat di dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah (2) ayat 187 sebagai dasar bagi tulisan singkat ini dan relevan dengan bulan suci Ramadhan. Ayatnya berbunyi:

اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْۗ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْۚ فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْۗ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ ۝١٨٧

Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa (Al- Baqarah [2]: 187)

Hakikat Puasa

Ayat ini menjelaskan dengan cara yang indah terkait relasi seksual antara suami dan istri dalam pernikahan di saat bulan suci Ramadhan. Allah sangat memahami kebutuhan biologis manusia dan mengaturnya di bulan suci Ramadhan, di saat Muslim berpuasa. Ada waktu-waktu tertentu yang diperbolehkan dan waktu-waktu tertentu juga yang dilarang.

Inti puasa adalah menahan hawa nafsu, baik dari makan dan minum, amarah, berbuat keji dan yang tercela, termasuk di dalamnya menahan nafsu birahi dan atau seksual bahkan terhadap pasangannya. Selama bulan Ramadhan ada rambu-rambunya. Waktu-waktu yang diperbolehkan untuk berhubungan yang digambarkan oleh ayat ini adalah waktu malam di bulan Ramadhan di luar waktu I’tikaf. Sementara di siang hari, harus bisa menahan godaan tersebut.

Inti yang ingin saya garis bawahi dari ayat di atas adalah penggambaran metaforis yang disebutkan Al-Qur’an sungguh sangat indah. Penggambaran relasi seksual di dalam Al-Qur’an selalu disebutkan secara metaforis dan tidak vulgar. Dalam ayat di atas penggambaran relasi seksual suami dan istri itu diibaratkan sebagai baju yang saling menutupi satu sama lainnya. Al-Qur’an menggunakan kata ‘libas’ (pakaian).

Kita mengetahui bahwa fungsi baju adalah untuk menutupi diri dari aurat, dari panas dan dingin dan juga ada unsur estetika dan kenyamanan bagi pemakainya. Begitupun bila kita ingin menggambarkan relasi seksual suami/istri bagaikan baju yang berfungsi menutupi tubuh (menutupi segala kekurangan yang ada pada masing-masing pasangan) jangan sampai ada orang lain yang mengetahui aib (Zuhaily, 1998).

Pasangan harus saling melindungi satu dengan lainnya. Pasangan dalam pernikahan harus memiliki rasa nyaman dan tentram termasuk dalam relasi seksualnya sebagaimana disandarkan pada surat Ar-Ruum ayat 13: untuk menuju pernikahan yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Penuh cinta kasih dan sayang juga ketentraman. Makna dari tentram (sakinah) di sini adalah bebas dari rasa khawatir, cemas dan takut. Oleh sebab itu, dalam relasi seksual tidak boleh ada paksaan dan kekerasan sebagaimana amanat dari dua ayat tersebut di atas.

Hal yang lainnya dari ayat 187 surat Al-Baqarah ini juga mengindikasikan adanya Kesalingan (mubadalah, kalau dalam Bahasa Pa Faqihuddin) atau mutuality atau reciprocality dalam relasi seksual. Penyebutan frase هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّۗ disampaikan secara bergantian dan ini termasuk majaz isti’arah. Majaz isti’arah dipergunakan ketika ada hubungan keserupaan (musyabbahah) di dalam penggunaan lafadznya.

Saling Memberi dan Menerima

Tujuannya untuk memperindah ungkapan, memancing perhatian dan penekanan atas makna yang diinginkan dalam pembicaraan tersebut. Dalam hal ini menunjukkan bahwa ada kesalingan antara pasangan dalam relasi seksual: saling memberi dan menerima. Ayat ini mengindikasikan tidak boleh dalam relasi seksual mau menang sendiri, mau puas sendiri sementara pasangannya dibiarkan tidak mengalami kenikmatan seksual tersebut. Intinya tidak boleh mau menang sendiri atau hanya terfokus pada ego pribadi. Sebuah hadis Nabi menyatakan:

Dari Anas, Rasulullah bersabda, “Jika seseorang di antara kamu melakukan hubungan seksual dengan istrinya, maka, Jika ia telah menyelesaikan hajatnya (mencapai klimaks) sebelum istrinya maka janganlah melepasnya sebelum si istri menyelesaikan hajatnya dan mencapai klimaks.” (HR. Abdurrazzaq dan Abu Ya’la)

Annemarie Schimmel (1996, h. 18) dalam memberikan pengantar kepada bukunya Sachiko Murata The Tao of Islam menyatakan, dengan merujuk kepada pemikiran religious kuno untuk mengomentari ayat 187 dari surah Al-Baqarah di atas bahwa pakaian itu sebagai ‘alter ego’ (keakuan yang lain).

“Pakaian bisa menunjukkan kepribadian baru, dan pakaian juga berfungsi menyembunyikan tubuh, menutupi pandangan terhadap bagian-bagian yang bersifat pribadi, dan melindungi pemakainya. Menurut interpretasi ini, suami-istri berbicara satu sama lain kepada alter ego mereka, dan setiap diri melindungi kehormatan pasangannya. Hal ini memperhatikan betapa baiknya prinsip yin -yang berlaku dalam hubungan perkawinan: suami-istri adalah setara dalam kebersamaan mereka yang sempurna.”

Namun demikian, penggambaran ideal yang tercantum di dalam ayat Al-Qur’an tentang relasi seksual istri-suami, dalam prakteknya seringkali jauh dari penggambaran ideal tentang kesalingan dan kebersamaan. Berbagai mitos dan stereotype dikembangkan terkait seksualitas perempuan. Misalnya, anggapan yang dominan diyakini adalah bahwa seksualitas perempuan itu berbahaya, kadang tidak bisa dikontrol dan biasanya diasosiasikan dapat menyebabkan fitnah (social disorder/ kekacauan sosial).

Stereotype seperti inilah yang kemudian biasanya dijadikan justifikasi oleh berbagai kalangan: masyarakat, pemerintah, institusi sebagai ajang untuk mengontrol seksualitas perempuan. Bahkan pada tataran tertentu menghakimi dan mengkriminalisasi seksualitas perempuan.

Karena asumsi dan stereotype seperti di atas pula, maka perempuan kemudian digiring untuk lebih banyak tinggal di rumah, dibatasi ruang geraknya dan atau bila ia keluar pun ada aturan-aturan yang harus diikuti berkaitan dengan penampilan dan kesopanan. Dalam bahasa dan kritik Fatna A. Sabbah terkait hal ini (1984, h. 3) sebagai “the criteria of the beauty in Islam: silence, immobility, and obedience.”

Bernilai Ibadah

Islam dalam pernyataan di atas membuat definisi perempuan yang ideal adalah yang banyak ’diam menerima kondisi yang ada, tidak banyak bepergian dan taat. Karena citra idealnya didefinisikan seperti itu, maka perempuan-perempuan yang aktif biasanya dikategorikan sebagai melawan ‘kodrat’ diri, dipersalahkan dan distigmatisasi.

Dengan demikian, terdapat standar ganda dalam masyarakat Islam terkait seksualitas perempuan. Mengikuti pendapat yang disampaikan oleh Fatima Mernissi (1987), dalam masyarakat Islam terdapat dua teori yang dikembangkan berkaitan dengan seksualitas perempuan:

Pertama, pandangan bahwa seksualitas perempuan dalam Islam dikategorikan sebagai aktif. Bahwa perempuan memiliki hasrat seksual aktif (cenderung liar), oleh sebab itu harus diwaspadai karena akan menimbulkan ‘fitnah.’ Seksualitas perempuan yang aktif ini biasanya dilekatkan pada perempuan lajang (single). Karena asumsi ini maka muncullah pembatasan, pengaturan dan bahkan pengontrolan (untuk tidak mengatakan kriminalisasi) atas tubuh perempuan dan segala aspek yang berkaitan dengan seksualitas perempuan seperti terlihat pada perda-perda syariah (contoh pembatasan jam malam untuk perempuan).

Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa seksualitas perempuan sebagai pasif. Ini pengkategorian yang mensifati perempuan sebagai seseorang yang diharapkan selalu pasrah, nerima dan melayani dalam hal seksualitasnya. Pandangan seksualitas perempuan yang pasif ini dilekatkan pada perempuan menikah (married woman) dalam konsep istri yang taat pada suami yang tugasnya adalah memenuhi kebutuhan seksualitas suami kapanpun ia menginginkan. Dan pandangan-pandangan ini mendapatkan legitimasinya dari teks-teks agama (contoh hadis laknat perempuan).

Hadis ini menjadi perangkap atas agama dalam menggiring pemahaman masyarakat terkait peminggiran peran dan hak perempuan dalam seksualitasnya. Berdasarkan penelitian yang saya lakukan di kalangan perempuan Muslim (Riyani, 2021), Hadis tentang laknat perempuan yang bunyinya:

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ.

Ini merupakan hadis yang paling popular yang tersebar di kalangan masyarakat terkait relasi seksual suami – istri dan dalam hal ini istri tidak boleh menolak ajakan suaminya bila tidak mau maka akan mendapatkan laknat dari malaikat. Hadis ini lebih popular dibandingkan hadis lainnya yang memberikan hak seksual terhadap perempuan dan bahkan ayat Al-Qur’an terkait relasi kesalingan dalam surat Al-Baqarah 187 di atas, yang menekankan relasi seksual suami – istri didasarkan pada kebersamaan bukan mengistimewakan salah satu pihak saja.

Pemahaman tentang pandangan ganda terhadap seksualitas perempuan di atas dipengaruhi oleh interpretasi atas teks-teks agama yang juga dikuatkan oleh konstruksi sosial budaya yang masih memandang seksualitas perempuan sebagai inferior terhadap seksualitas laki-laki. Akan tetapi pada waktu yang bersamaan memandang seksualitas perempuan sebagai liar dan berbahaya. Pandangan Stereotype terhadap seksualitas perempuan ini sudah saatnya dihilangkan karena bertentangan dengan pandangan moral tentang kesetaraan sebagaimana yang disuarakan oleh Al-Qur’an.

Surat An-Nur ayat 30 dan 31 menjelaskan bahwa baik laki-laki dan perempuan diharapkan untuk menjaga seksualitasnya karena keduanya sama-sama memiliki hasrat dan keduanya diharapkan untuk mampu mengontrol hasrat tersebut.

Pandangan Islam tentang hubungan seks dalam pernikahan bukan saja dilihat sebagai kegiatan yang hanya berkaitan dengan hawa nafsu, tetapi juga kegiatan yang sakral. Di sebut sakral karena Islam menganggap hubungan seks dalam pernikahan memiliki nilai spiritual dan mendapatkan pahala (blessing) dari Allah karena bernilai ibadah.

Oleh sebab itu, karena ia adalah bernilai ibadah, seyogyanya hubungan seksual antara suami dan istri tidak dilakukan berdasarkan paksaan apalagi melibatkan kekerasan. Tetapi, hubungan yang bernilai ibadah adalah hubungan seks yang menyenangkan bagi kedua belah pihak dan saling menghargai pilihan dan kehendak masing-masing pasangan.

Perempuan juga sama-sama manusia yang berhak atas relasi seksual yang menyenangkan. Hak ini juga perlu diakomodir oleh laki-laki (suami) dan untuk dipenuhi secara bersama-sama: saling memberi dan menerima.

Dunia akan lebih indah bila dibangun secara bersama-sama dengan saling menghargai. #setarabersama

Irma Riyani, Kepala Pusat Studi Gender & Anak, UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *