Ramadhan dalam Pusaran “Mutiara” Waktu

lustrasi Berpuasa Ramadhan. Foto: Prayogi/Republika

UINSGD.AC.ID (Humas) — Tidak terasa Ramadhan hampir usai. Tinggal beberapa hari lagi Lebaran. Tiga puluh hari yang “indah” akan tinggal kenangan. Hari Raya Idul Fitri pasti akan melahirkan berjuta sukacita: Bahagia. Lebaran adalah iftor kedua setelah umat Islam yang berpuasa setiap tiba Adzan Magrib merasakan nikmat berbuka. Sampai jumpa Ramadhan 1447 Hijriah.

Pertemuan adalah soal waktu dari tahun ini ke tahun depan. Namun, dalam waktu yang bergulir setahun, banyak peristiwa yang akan terjadi yang kita tidak tahu; hanya Allahlah Yang Maha Tahu. Kita hanya punya rencana dan keinginan, tetapi yang mewujudkan hanya Kuasa-Nya. Kita tidak tahu tahun depan masih ada atau sudah tiada; masih punya kesempatan untuk berpuasa ataupun tidak. Wallahu’alam bissawab.

Oleh karena itu, Rasulullah SAW. mengajarkan, pada akhir Ramadhan kita harus rajin berdo’a agar dipertemukan Ramadhan tahun depan. “Allahumma laa taj’alhu aakhiral ‘ahdi min shiyaamina iyyaah, fa-in ja’altahu faj’alnii marhuuman wa laa taj’alnii mahruuma.” (Ya Allah, janganlah Engkau jadikan puasa ini sebagai yang terakhir dalam hidupku. Seandainya Engkau berketetapan sebaliknya, maka jadikanlah puasaku ini sebagai puasa yang dirahmati bukan yang hampa semata).

Hari esok memang misteri, sehingga Cak Nun (Emha Aijun Najib) menggambarkan manusia ibarat berjalan di alam gelap gulita; tidak tahu yang akan terjadi pada hari esok. Jangankan hari esok, manusia mana yang tahu yang akan terjadi sejam ke depan, semenit ke depan, bahkan sedetik berikutnya. Walaupun ada “orang pintar”, peranormal, atau peramal, mereka hanya menebak; memperkirakan, kadang benar, tetapi banyak salahnya.

Sebagaimana ditulis Filsuf Islami, Herman Suwardi (Alm), dalam kecerdasan otak dan ketajaman akal manusia, terdapat kecacatan karena tidak dapat meneropong masa depan. Manusia hanya tahu tentang “hari ini” dan gelap hari esok. Itulah kecatatan otak manusia yang juga merupakan kesempurnaan ciptaan-Nya sebagai ahsanut taqwiem (mahluk terbaik) yang difitrahkan untuk mencari kebenaran (Qs,30:30).

Kita semua berharap dapat bertemu kembali dengan Ramadhan 1447 Hijriah, tetapi tidak ada jaminan tahun depan kita masih ada. Ketiadaan adalah rahasia Allah; Takdir mutlak Allah Swt. yang tidak dapat ditolak oleh siapapun. Tidak karena sudah tua atau masih muda; tidak karena sakit atau yang sehat, semuanya hanya Allah Yang Maha Tahu. Yang sakit banyak yang meninggal yang sehat pun banyak. Yang miskin banyak yang meninggal yang kaya pun sama. Rakyat biasa banyak yang meninggal, pejabat pun sama juga.

Hanya Hari Ini
Oleh karena itu, hanya waktu “hari ini” yang kita miliki. Hanya Ramadhan 1446 Hijriah kesempatan kita untuk mengerahkan segala kemampuan beribadah kepada Allah Swt. “Waktu hari ini” mutiara bagi kita untuk dimanfaatkan sebisa dan sebaik mungkin agar kita meraih cita-cita bersama bergelar muttaqin sebagaimana perintah Allah untuk orang beriman berpuasa (QS.01:83).

“Waktu hari ini”-lah yang tepat untuk kita berkhusu berpuasa dan ibadah lainnya kepada Allah karena nafasnya, tidurnya, dzikirnya, semua amalan ibadah orang yang berpuasa akan mendapatkan pahala yang dilipatgandakan oleh Allah Swt. Terlebih jika amalan itu dilaksanakan pada malam lailaitul qadar, insya Allah nilainya akan dilipatkangandakan sama dengan seribu bulan. Ladang ibadah ditebar di bulan ini, mulai setelah sahur sampai sahur kembali. Selain berpuasa, kita memiliki tadarus, shalat dhuha, shalat tarawih, shalat witir, shalat tahajud dan shalat sunat lainnya plus ladang kebaikan lainnya yang apabila dilaksanakan dengan ikhlas dan khusu, insya Allah pahalanya berlipatganda. Sebagaimana Firman Allah Swt: “Dan apa-apa yang kamu upayakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya dari sisi Allah.” (QS. 2:110).

Dalam pendekatan komunikasi profetik, Allah Swt, baik langsung melalui firmannya (Al-Qur’an) maupun melalui pembelajaran yang disampaikan Rasululullah dalam Hadist memerintahkan mahluknya (manusia) agar memutiarakan waktu. Bahkan, dalam Al-Qu’an Allah bersumpah, wal-ashr: demi masa, wadh-dhuhaa: demi waktu duha, wal-laili: demi malam, wan-nahaari: demi siang, dan waktu lainnya. Hal itu mengisaratkan betapan pentingnya waktu dalam kehidupan ini. Waktu adalah anugerah Allah yang harus dihargai dan dimanfaatkan dengan baik.

Rasulullah Saw. pun sering mengingatkan umatnya untuk menghargai dan memanfaatkan waktu dengan baik, di antaranya sabda Rasulullah yang sangat sarat dengan makna penghargaan waktu: “Jagalah lima perkara sebelum (datang) lima perkara (lainnya). Mudamu sebelum masa tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, waktu luangmu sebelum sibukmu dan hidupmu sebelum matimu.” (HR Nasai dan Baihaqi).

Menjalankan Ibadah Puasa pun mengandung hikmah pesan mutiara waktu. Puasa pada Bulan Ramadhan merupakan ibadah berbatas waktu, hanya dapat dilaksanakan mulai 01 hingga 30 Ramadhan (sebulan Ramadhan), sehingga Kementerian Agama dan para cendekiawan muslim mengerahkan ilmunya untuk menetapkan 1 Ramadhan dan 1 Syawal, hingga berdebat dan bersidang isbat. Puasa Ramadhan pun dimulai sejak terbit (Imsak) hingga terbenam matahari (adzan magrib) (QS,01:87).

Puasa Mabrur
Oleh karena itu, ibadah puasa yang insya Allah diterima Allah Swt bukan hanya yang sesuai dengan syarat dan rukun puasa, tetapi juga yang taat akan ketentuan waktu yang digariskan perintah Allah Swt. dalam Al-Qur’an. Bahkan, jutsru orang-orang beriman yang dapat memanfaatkan waktu untuk beribadah kepada Allah dalam satu bulan itulah yang insya Allah akan menjadi orang bertakwa.

Ijazah ketakwaan inilah yang menjadi tolak ukur tingkat ke-mabrur-an Puasa seseorang. Mabrur tidaknya Puasa seseorang akan tergambar dari sikap, ucap, dan tingkah lakunya pada sebelas bulan kemudian, apakah bertakwa atau sebaliknya? Bertaqwa berarti menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Orang yang bertaqwa memiliki ahlak mulia. Ia tidak melakukan perbuatan-perbuatan tercela: memfitnah, mengguncing, berbohong, korupsi, sombong, takabur, serta ucap, sikap, dan perilaku tercela lainnya yang notabene saat ini tengah mewabah di negeri ini.

Manusia yang dapat mengendalikan dengan baik ketiga hal itu, menurut Imam Al-Ghazali, disebut sebagai orang berakhlak baik. Orang-orang berakhlak baik inilah yang akan membawa kebaikan, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga kebaikan untuk umat. Semoga hasil Puasa di bulan Ramadhan 1446 Hijriah ini melahirkan insan-insan Indonesia yang beraklak baik, sehingga akan membawa kebaikan bagi seluruh Bangsa Indonesia.

Tolak ukur ke-mabrur-an Puasa akan tergambar pada sebelas bulan ke depan. Jika ternyata kejujuran masih berupa slogan, ghibah masih menjadi barang dagangan, perzinahan masih dipemaklumkan, korupsi tetap merajalela, dan tindak maksiat lainnya juga dibiarkan, maka puasa sebulan menahan lapar, dahaga, dan syahwat hanya akan menjadi kenangan. Padahal, kita berharap Ramadhan dapat menjadi penolong bagi keterpurukan Republik ini.

Prof Mahi M. Hikmat, Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *