RAMADHAN (4): LARILAH DARI PENYAKIT MENULAR

Salam. “Larilah dari penyakit menular, sebagaimana kamu lari dari singa”. Ini adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Sabda ini mengajarkan kita tentang ikhtiar, usaha. Menghindari COVID-19 dengan cara melakukan aktivitas di rumah pada dasarnya menjalankan pesan sabda Nabi di atas.

Islam memang mengajarkan pemeluknya untuk melakukan sebuah usaha, tidak hanya menunggu takdir atau nasib. Keyakinan bahwa Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang soleh tidak berarti diam saja—tanpa usaha—untuk menghindari bahaya. Pertolongan Allah itu turun—di antaranya—melalui ikhtiar/usaha hamba-Nya.

Nabi hijrah dari Mekah demi menghindar kekejaman kafir Quraisy, perginya Nabi Musa dari Mesir demi menghindar kekejaman Firaun, dan larinya Umar bin Khaththab dari wilayah yang sedang dilanda wabah, adalah salah satu bentuk usaha dari hamba-hamba Allah yang saleh dan pasti dicintai oleh-Nya.

Ayat yang paling populer terkait dengan ikhtiar ini adalah firman Allah SWT. berikut ini:

إِنَّ اللهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum kecuali mereka mengubahnya sendiri.” (Q.S. al-Ra`d/13:11).

Ayat ini diawali dengan huruf taukid “inna” (sesungguhnya). Ini dipakai sebagai penguat akan pesan yang disampaikan ayat, yang karenanya terjemahannya adalah “sesungguhnya”. Dalam Ilmu Balaghah, “sesungguhnya” –di antaranya—dipakai untuk meyakinkan sekelompok orang yang menolak pesan yang akan disampaikan.

Fi`il (kata kerja) mudhari “yughayyiru” (merubah) memberikan makna “sekarang” (hal), “akan datang” (istiqbal), dan kontinyu (istimrar). Artinya, bahwa “Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubahnya sendiri” adalah sunnatullah yang berlaku sepanjang masa. Tidak ada perubahan yang terjadi secara sekonyong-konyong tanpa usaha.

Preposisi “hatta” (terj.: sehingga) sebenarnya memiliki banyak makna, tapi saya memakai makna “kecuali”. Artinya, perubahan itu tidak akan terjadi hingga ada ikhtiar terhadap perubahan itu sendiri.

Dalam konteks pandemi COVID-19, Allah sudah memberikan nikmat kesehatan. Namun, nikmat ini bisa saja hilang jika kita ikhtiar untuk menjaganya. Di antara ikhtiar itu adalah membatasi kontak dengan kerumunan, karena hal itu akan menyebabkan hilangnya nikmat kesehatan, yakni dengan tertularnya virus.

Kata “ma” (sesuatu) biasanya menunjukkan sesuatu yang umum meski ada ulama tafsir yang menafsirkannya dengan “nikmat”. Sesuatu itu bisa keadaan baik atau keadaan buruk. Usaha/iktiar bisa merubah keadaan yang baik menjadi buruk atau sebaliknya.

Konteks jamak dalam ungkapan “yughayyiru” (mereka merubah) dapat dibaca perubahan itu terjadi karena ada kontak sosial. Relasi sosial bisa menyebabkan perubahan-perubahan keadaan. Itu sebabnya, silaturahim bisa menyebabkan adanya perubahan ini.

Marilah kita tetap di rumah untuk menghindari atau memutus rantai penyebaran COVID-19. Ini adalah suatu ikhtiar. Ikhtiar untuk tetap mempertahankan nikmat kesehatan yang Allah berikan kepada kita.

Subhanallah. Begitu dalam dan indah makna yang diperlihatkan ayat di atas. Wallahu a`lam bish-shawab.

Prof. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag, Wakil Rektor I UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Tulisan ini merupakan Kajian ke-48 dalam Gerakan Peduli Bahasa Al-Qur’an

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *