(UINSGD.AC.ID)-Orang yang shaum pada bulan ramadan akan mendapatkan dua kemenangan: pertama, kemenangan saat berbuka/hari raya; dan kedua kemenangan saat bertemu dengan Rab-Nya (HR. Muslim). Bulan ramadan adalah bulan kemuliaan. Padanya terdapat berbagai keberkahan yang menyangkut kepentingan kehidupan manusia, terutama umat Islam.
Di dalamnya Allah Swt menjanjikan berlipat ganda balasan yang diperuntukkan bagi manusia beriman yang dengan ikhlas dan keimanan yang kuat melaksanakan berbagai amalan. Di dalamnya pula, Allah Swt menjadikan malam lailatul qadar yang kemuliaannya lebih mulia dibanding seribu bulan. Karenanya, bulan ramadan adalah momentum untuk menjadikan pribadi bertaqwa, mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kebahagiaan Ramadan
World Happiness Report pada tahun 2021 menempatkan masyarakat Indonesia pada urutan ke-82 dari 149 negara sebagai bangsa bahagia. Angka ini naik dua peringkat dari tahun sebelumnya yang berada pada ranking ke-84. Dalam rilis yang disampaikan, salah satu yang berdampak pada kebahagiaan masyarakat Indonesia selama pandemi covid-19 adalah rasa syukur dan kesenangannya dalam membangun hubungan positif dengan orang lain. Hal ini dapat dilihat dari berbagai bentuk kedermawanan sosial yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia di masa pandemi. Misalnya dukungan materil seperti berbagi sembako, makanan, membagikan masker, hand sanitizer dan/atau dalam bentuk dukungan moril seperti saling menguatkan, saling menjaga, saling mengingatkan, saling menghargai dan lain sebagainya.
Keterampilan sosial yang melekat dalam sebagian besar masyarakat Indonesia menjadi modal untuk membentuk keutuhan dan keharmonisan. Di bulan ramadan, kohesivitas sosial ini semakin menguat melalui kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada pengembangan empati dan keterhubungan satu sama lain. Peribahasa “berat sama dipikul ringan sama jingjing” tampak dalam keseharian aktivitas masyarakat Indonesia. Kebahagiaan ini dirasakan tidak hanya oleh umat Islam saja, tetapi juga oleh seluruh manusia. Misalnya, keberkahan berdagang, menimba pengetahuan, mencari nafkah, kesehatan diri dan lain sebagainya.
Pada saat ramadan tiba, kita bahagia menyambut kedatangannya. Bahkan tidak sedikit di antara kita menyambut ramadan dengan tradisi dan nilai-nilai budaya tertentu. Di seluruh penjuru dunia, manusia dengan kebudayaannya menyambut ramadan dengan penuh suka cita. Namun, apakah sambutan ini sebatas euforia atau ada harapan dan ikhtiar agar mencapai kemenangan nyata? Pada saat bulan ramadan juga, kita merasakan berbagai kebahagiaan dalam keseharian kita. Ajaran Islam memberikan penegasan betapa bulan ramadan mengandung kebaikan-kebaikan yang berlipat ganda. Ada pahala besar-besaran yang Allah Swt sediakan dengan cuma-cuma untuk manusia beriman yang konsisten mengamalkan kebaikan. Namun apa yang kita kejar dari ramadan, pahala berlipat ganda atau sekedar menunggu diskon belanja?
Saat berbuka shaum ramadan, kebahagiaan itu tampak dalam bentuk ketersediaan makanan. Kita menyiapkan menu berbuka dan sahur yang variatif, penuh kelezatan dan diharap memberikan kenikmatan. Namun, makanan yang kita sajikan apakah menampilkan kesederhanaan atau justru mengarah pada konsumerisme ramadan? Sepanjang ramadan, euforia hiburan menjejaki budaya layar kita. Berbagai stasiun televisi, radio dan bahkan kanal-kanal media sosial dipenuhi dengan konten-konten hiburan, edukasi dan program keagamaan. Namun, apakah hiburan ini sebatas kemasan yang berorientasi pada euforia atau ada esensi dari nilai-nilai religi? Di penghujung ramadan, kita bersedih ramadan berakhir. Sebagian di antara kita menyibukkan diri dengan beritikaf, mencari kemuliaan di sepuluh terakhir ramadan. Tapi sebagian di antara kita pula, tidak sedikit yang malah masih mengejar keuntungan-keuntungan duniawi. Dimana ramadan kita, apakah konsistensi amalan kebaikan atau kita lupa dengan kebahagiaan-kebahagiaan ramadan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah pertanyaan reflektif yang mesti direnungkan. Apakah sambutan kita kepada ramadan selama ini demi mengejar esensi dan substansi dalam mencapai profil manusia bertaqwa. Ataukah sambutan kita hanya sebatas euforia yang berorientasi seremonial dan tidak berdampak apa-apa pasca ramadan usai. Karenanya, kebahagiaan ramadan adalah kebahagiaan yang mesti berdampak dan berkelanjutan. Kebahagiaan yang tidak hanya didapat pada saat ramadan saja, tetapi juga berwujud konsisten dan komitmen membangun ekosistem kebaikan pada sebelas bulan selanjutnya. Karenanya, Allah Swt memberikan penegasan bahwasanya kebahagiaan ramadan adalah kemenangan nyata yang diberikan kepada umat-Nya dalam bentuk pemberian ampunan atas dosa lalu dan penyempurnaan nikmat. Sehingga manusia berada di jalan lurus dan Allah-lah menjadi penolong atas segala kebutuhan manusia (Qs. 48: 1-3).
Konektivitas Semesta Kebaikan
Rosulullah Saw bersabda “Tiga orang yang do’anya tidak tertolak: orang yang shaum sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan do’a orang yang dizholimi” (HR Tirmidzi). Ramadan mengajarkan kita untuk membangun koneksi kebaikan. Pada aspek ini, momentum ramadan adalah ruang menebar manfaat baik pada level personal, antar personal dan alam semesta. Pada level personal, kebaikan yang dilakukan akan kembali pada diri kita. Segala amalan kebaikan akan berdampak pada kebaikan diri kita sendiri. Karenanya, Allah Swt menegaskan bahwa jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri (Qs. 17: 7).
Pada level antar personal, interkoneksi kebaikan akan melahirkan nilai-nilai kebermanfaatan yang berdampak dan berkelanjutan. Kebaikan adalah investasi yang akan mengantarkan pada kebahagiaan hakiki. Rosulullah Saw memberikan himbauan kepada pengikutnya agar senantiasa menjadi pribadi-pribadi bermanfaat. Sebab “sebaik-baik manusia adalah mereka yang memberikan manfaat untuk lingkungannya” (HR. Ahmad). Sedangkan pada level semesta, kebaikan adalah nilai universal yang mengundang keberkahan dari langit. Konsep kebaikan berlaku secara universal, tidak hanya untuk sesama manusia, tetapi juga untuk seluruh kehidupan semesta yang meliputi segala makhluk di bumi dan di langit. Ungkapan Rosulullah Saw memberikan gambaran betapa kebaikan-kebaikan kita dalam bentuk kasih sayang selama di bumi akan menjadi pengantar untuk mendapatkan kasih sayang dari Allah Swt dan seluruh penduduk langit. “Sayangilah yang di bumi, niscaya yang di langit akan menyayanginmu” (HR. Abu Daud).
Inilah kerinduan yang harus kita jaga di bulan ramadan. Pembuktiannya manakala kita memiliki komitmen dan konsisten menjaga segala amalan baik pasca ramadan. Hakikat menjadi “pribadi bertaqwa” (Qs. 02: 183) terwujud dalam bentuk konsistensi kebaikan pada sebelas bulan selanjutnya, pengelolaan diri dan waktu agar semakin mempersempit kemaksiatan dan memperlebar kebermanfaatan dan pengendalian hawa nafsu dari beragam tingkah laku yang mengantarkan pada jurang kebinasaan. Semoga Allah Swt memberikan kebahagiaan pada kita untuk menjadi pribadi yang optimis dan konsisten dalam melaksanakan berbagai amalan kebaikan yang akan mengantarkan kita menjadi “Manusia Semesta”. Yakni manusia bertaqwa yang bermanfaat untuk diri, lingkungan dan seluruh jagat semesta. Wallahu A’lam
Ridwan Rustandi, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Bandung
Sumber, Galamedia 3 Mei 2021