Ramadan Sepuh Lagi Kesempurnaan Manusia

Pernyataan bahwa manusia merupakan makhluk yang sempurna bukanlah tanpa dasar. Dalilnya (bisa dijadikan landasan hukum) karena yang mengeluarkan statemen pertama kalinya, yakni Allah Swt, Zat yang menciptakan, menghidupkan, dan mengurus manusia.

Statemen tersebut tercantum dalam Alquran Surat Attin, sebuah surat yang sangat populer dan termasuk yang difavoritkan oleh kaum muslim ketika mereka melaksanakan salat menggunakan “paket kilat”.
“Laqad khalaqnal insaana fii ahsaani taqwiin (Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dengan penciptaan yang sangat sempurna).” (QS. Attin/95:4)

Menurut para mufasir, ayat ini menunjukkan bahwa manusia diciptakan dalam dua kesempurnaan. Pertama, kesempurnaan fisik. Manusia memiliki pancaindera dengan fungsinya masing-masing untuk menopang hidupnya. Manusia berjalan dengan dua kaki dan memegang dengan dua tangan. Seluruh organ tubuhnya diciptakan dengan fungsi yang sangat sempurna, mulai dari organ luar sampai organ dalam dengan bentuk yang sangat kecil tetapi memiliki fungsi vital seperti pembuluh arteri dan sejumlah saraf.

Kedua, manusia memiliki kesempurnaan akal. Kesempurnaan ini tidak dimiliki oleh makhluk yang lain, termasuk malaikat, makhluk yang paling taat dan paling dekat dengan Allah. Kesempurnaan akal ini hanya milik manusia untuk bekal menjalankan tugasnya sebagai khalifatu fil ardh (khalifah alam semesta).

Dengan akalnya, manusia diberi otoritas untuk mengelola dan memanfaatkan potensi alam demi kepentingan hidupnya. Namun secara implisit, manusia juga diberi warning untuk menggunakan akalnya demi kepentingan pengabdian kepada Allah Swt. Di satu sisi, Allah beri kewenangan untuk mengoptimalkan potensi alam, akan tetapi di sisi lain ada rambu-rambu yang memagarinya agar tidak mengeksplotisainya secara membabi buta.

Berbekal dua kesempurnaan ini, manusia diharapkan akan menjadi khalifatullah fil ardhi yang memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual. Bukan hanya menjadi penguasa bumi, melainkan menjadi pengelola alam semesta yang tetap menjaga pola keseimbangan alam.

Sayangnya, sebagian manusia kemudian berubah sikap, bertindak arogan, sehingga melakukan sesuatu tanpa perhitungan. Mereka hanya menjadi penguasa yang memperturutkan syahwatnya (dorongan nafsu). Akibatnya, mereka berubah menjadi makhluk yang mengerikan dan tampak sangat hina, baik di hadapan sesama manusia maupun di hadapan Allah Swt. Pada akhirnya nanti, mereka akan terperosok dan jatuh terhujam ke dasar jurang kehinaan, sebagaimana firman Allah, “Tsumma radadnaahu asfala saafilin (Kemudian Kami lemparkan mereka ke dasar jurang yang paling dalam).” (QS. Attin/95:5)

Mereka yang terlempar pada kehinaan, yakni mereka yang memanfaatkan kesempurnaanya secara sewenang-wenang, membabi buta, tanpa perhitungan. Mereka hanya berpikir untuk kepentingan diri sendiri sehingga lupa daratan. Mereka tidak pedulikan hak-hak sesamanya, mereka abaikan keberadaan makhluk lainnya, mereka tidak acuh terhadap alam semesta. Mereka menjadi buta, tuli, dan gelap hati. Mereka menjadi penghuni neraka selama-lamanya.

“Laqad dara-naa lijahannama katsiran minal jinni wal insi, lahum quluubun laa yafqahuuna bihaa wa lahum a’yunun laa yubshiruuna bihaa wa lahum a’yunun laa yasma’uuna bihaa. Ulaa-ika kal an’am balhum adhal. (Sesungguhnya Kami jadikan isi neraka jahanam itu dari sebagian jin dan manusia, mereka punya hati tetapi tidak digunakan untuk berperasaan, punya mata tidak digunakan untuk melihat, dan punya telinga tetapi tidak digunakan untuk mendengar. Mereka itu hidup seperti binatang bahkan lebih hina dari itu). (QS. Ala’raf/7:179)

Dalam ayat lain Allah menggambarkan, “Tsumma qasat quluubukum min ba’di dzaalika fahiya kal hijaarati, wa innal minal hijaarati lamaa yatafajaru minhul anhaar, inna minhaa lama yasyaqaqu minhul maa-i, wa inna imnhaa lamaa yahbithu min khasyyatillah. (Kemudian hati kalian mengeras bagai batu. Padahal dari batu itu mengalir sungai-sungai, dan sesungguhnya ada batu yang terbelah dan mengeluarkan air, dan sesungguhnya batu itu pecah karena takut kepada Allah). (QS. Albaqarah 2:74)

Ayat ini menyindir manusia yang berhati batu. Sekeras-kerasnya batu masih bisa pecah dan terbelah kemudian mengeluarkan air yang sangat bermakna bagi seluruh makhluk di dunia. Tetapi, ketika hati manusia mengeras, tak ada satu manfaat pun, baik bagi makhluk lain maupun bagi dirinya. Dalam kondisi seperti ini manusia yang semula berpredikat sebagai makhluk sempurna berubah menjadi makhluk yang hina karena tidak mampu memenej kesempurnaannya sejalan dengan petunjuk Allah Swt.
Jika manusia ingin tetap eksis dalam kesempurnaannya, maka manusia harus konsisten berpegang teguh pada keimanan dan ketakwaan serta dibarengi dengan perilaku yang bijak. Manusia harus menggunakan kecerdasan intelektual, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritualnya untuk kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat, seperti Allah ingatkan, “Wabtaghi fiimaa aatakallahu daarul aakhiroti wa laa tansa nashiibaka minad-dun-yaa (Kejarlah kebahagiaan akhirat yang telah Allah tetapkan untukmu, tetapi jangan lupakan kebutuhan hidupmu di dunia). (QS. Alqashash/28 :77)

Ayat ini menggiring manusia untuk membuat pola hidup seimbang antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat, antara kemauan dan kebutuhan, antara otak dan hati nurani sesuai dengan rule of life yang ditentukan Allah Swt.

Ramadan sebagai arena yang sangat luas dengan berbagai keutamaan yang tak terbatas, menjadi wahana penting bagi manusia untuk melakukan riyadhah (menempa diri) agar menjadi manusia yang sempurna. Ramadan menjadi tempat pembakaran bersuhu supertinggi untuk menghanguskan berbagai potensi negatif dari syahwat dalam batin manusia. Ramadan menjadi tempat pencucian diri agar segenap potensi positif terbebas ari noda-noda yang mengotorinya. Ramadan dengan berbagai aplikasi ibadah di dalamnya akan menggodok manusia dan mengeluarkannya kembali dalam kesempurnaanya.

Kita berharap, Ramadan tahun ini menjadi sebuah kawah mahabesar untuk menyepuh kembali kesempurnaan kita agar tampil menjadi seperti emas sinangling 24 karat yang siap masuk dalam etalase berlabel muttaqiin di sisi Allah Swt.[]

Dr. Sahya Anggara, M.Si., Penulis adalah Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Ketua Farum Dekan FISIP se-Indonesia.

Sumber, Syiar Ramadan Galamedia 30 Mei 2018

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *