Puasa Perkokoh Eksistensi Muslim Sebagai Umat Pilihan

Muslim merupakan umat pilihan Allah Swt yang diturunkan ke tengah-tengah makhluk lain di dunia. Sebagai umat pilihan, tentu saja seorang muslim memiliki kriteria khusus sebagai diferensia dari umat lain. Ada tiga tugas utama yang harus diemban oleh umat pilihan ini, yakni menyeru pada kebaikan, mencegah setiap kemunkaran, dan tetap konsisten menjaga keteguhan keimanan kepada Allah Swt. sebagaimana fitman-Nya,

“Kuntum khairu ummatin ukhrijat linnaasi, ta’muruuna bil ma’ruufi wa tanhauna ‘anil munkar wa tu-minuuna billaahi. Walau aamana ahlal kitaabi lakaana khairal lahum, minhumul mu-minuuna wa aktsruhumul faasiquun (Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (untuk) menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya golongan ahli kitab itu beriman, tentu itu lebih baik bagi mereka. Ada di antara mereka yang beriman, akan tetapi kebanyakan mereka itu orang fasik” (QS. Ali Imran/3:110)

Kata ukhrijat pada ayat tersebut merupakan ungkapan yang melukiskan gerak yang sangat lembut tetapi tidak diketahui kelebatnya. Gerakan ini dikhususkan untuk mengeluarkan umat yang yang memiliki peran khusus, kedudukan khusus, dan perhitungan khusus, yakni umat terbaik.
Mestinya kondisi ini diketahui oleh setiap muslim, agar dia memahami hakikat dan nilai dirinya serta mengetahui bahwa dia ditampilkan untuk menjadi pelopor dan pemimpin, karena dia merupakan umat terbaik. Allah menginginkan pemimpin di muka bumi (khalifah fil ardhi) menndatangkan kebaikan, bukan keburukan. Mendatangan maslahat, bukan mafsadat.

Muslim harus bisa mewarnai dunia dan memberi petunjuk bagi umat lain. Muslim harus mennunjukkan dan memberikan keyakinan yang benar, konsepsi yang benar, sistem yang benar, akhlak yang benar, serta ilmu pengetahuan yang benar.

Itulah kewajiban yang harus dipikul umat Islam sebagai konsekwensi dari kemuliaan eksistensinya sebagai khoiru ummah. Posisi ini memiliki banyak tanggungjawab. Posisi ini tidak bisa diraih dengan pengakuan semata, dan tidak akan diserahkan kepada umat Islam kecuali telah memenuhi kelayakan untuk menerimanya, yakni dengan konsistensi akidahnya dan konsep sosialnya (mengajak kepada kebaikan dan mencegak kemungkaran.

Konsekwensi pertama dari posisi ini adalah melindungi kehidupan ini dari keburukan dan kerusakan. Hendaknya seorang muslim memiliki kekuatan yang memungkinkan untuk melakukan amar makruf dan nahi munkar.

Ada beberapa hadis yang menegaskan bahwa muslim harus memiliki kemampuan untuk menyuruh dan mengajak kepada kebaikan serta mampu mencegah dari kemungkaran.

Abu Sa’id al-Khudri ra berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Siapa pun di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika ia tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman”(HR Muslim)

Hudzaifah ra mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Demi Dzat yang menguasai diriku, kamu harus memerintahkan yang makruf dan mencegah yang mungkar. Jika tidak, maka Allah akan mengirim kepada kalian siksa dari sisi-Nya dan meskipun kalian berdoa kepada-Nya, Dia tidak mengabulkan doa kalian.”(HR At-Tirmidzi)

Makna implisit yang terkandung dari kata “mengajak/memerintahkan kepada kebaikan”, yakni mempersiapkan dan membekali diri dengan berbagai kebaikan sebagai senjata. Seorang muslim yang diberi julukan umat pilihan dan diberi mandat mengajak kepada kebaikan, harus memiliki kemampuan internal, memiliki ilmu kanuragan tentang kebaikan yang akan diserukannya. Jangan sampai senjata makan tuan. Jangan sampai dakwahnya menjadi bimerang bagi dirinya. Memiliki kebaikan dan kesempurnaan merupakan conditio sine qua non, syarat mutlak bagi seorang umat pilihan. Allah tidak suka pada orang yang hanya mampu berkata, hanya mampu mengajak tanpa mempraktikkannya sendiri (QS. Ash-Shaff : 4).

Internal power, kekuatan dari dalam dirinya -berupa kebaikan, amal saleh, dan konsistensi keimanan pada Allah- bukan hanya menjadi prasyarat untuk mengajak kepada kebaikan, melainkan menjadi kekuatan untuk mencegah dan melawan kemungkaran.

Berdakwah, mengajak kepada yang baik dan memberantas kemungkaran, mesti dilakukan dengan metode yang tepat. Mengajak itu harus dengan cara-cara yang baik (bi mau-izhatil hasanah, bil lati hiya ahsan) yang mengacu kepada pola dakwah Rasulullah saw karena pada diri beliau ada uswah (contoh) yang baik buat umatnya.

Akan tetapi ketika menghadapi kemungkaran, metode dakwah yang digunakannya yakni kekuatan power. Siapa pun yang melihat kemungkaran, kata Rasulullah, ubahlah dengan kekuatan tanganmu (kekuasan, kemampuan)

Allah menggambarkan dalam Alquran bahwa Rasulullah saw bersifat lemah lembut terhadap umatnya tetapi sangat keras dan tegas kepada orang yang ingkar dan kufur. (QS. Alfath/48:29).

Ramadan, sebagai bulan yang memiliki berbagai keistimewaan harus semakin memperkokoh eksistensi muslim sebagai khiaru ummah. Predikat mulia yang Allah berikan itu jangan sampai ternoda oleh perliku kontradiktif dengan tugas khususnya sebagai penyeru kebenaran dan pemberantas kemungkaran. Ramadan menjadi charger bagi setiap muslim untuk menambah power agar kualitas dakwah yang dibebankan padanya semakin menguat.[]

Dr. Ahmad Sarbini, M.Ag. Penulis, Dekan Fakultas Dakwah UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Ketua I Pengurus Pusat IKA UIN SGD Bandung.

Sumber, Syiar Ramadan Galamedia 02 Juni 2018

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *