(UINSGD.AC.ID)-Ketika hendak mengabari pangkal semua kebaikan, Nabi Muhammad memegang lisan Mu’adz bin Jabal seraya bersabda, “Kendalikanlah ini!” Mu’adz penasaran, “Duhai Nabi Allah, apakah kita akan dituntut atas apa yang kita ucapkan?” Respon Nabi, “Sungguh kamu kebangetan, wahai Mu’adz. Tidaklah ada yang menjerembabkan manusia ke dalam neraka kecuali ulah lisan mereka.” (Tirmidzi: 2541; Ibnu Majah: 3963)
Demikianlah, saat tak terkendali, lisan kerap menjadi sarana berdosa. Padahal, mulut dengan lisan dan kedua bibirnya merupakan hadiah penting dari Allah (QS 90: 9) yang sepatutnya disyukuri. Ada dua cara utama untuk mensyukuri nikmat mulut. Pertama, mulut seyogianya digunakan di jalan dan sesuai dengan syariat Allah. Kedua, mulut mestilah dijaga dari tutur-kata yang tidak terukur dan mengancam keselamatan diri.
Dalam konteks Ramadhan, mulut berpuasa dari asupan perut. Ini level puasa standar. Level puasa istimewa, mulut juga mestinya berpuasa (shiyānah al-lisān) dari kata-kata yang tidak perlu, kotor, apalagi berracun. Dalam Fawāid Shiyānah al-Lisān, Abdur Rozaq Badar mendaftar sejumlah faidah menjaga lisan: peluang mendapat ampunan Allah dan kemaslahatan segala aktifitas (QS. 33: 70), jaminan masuk surga (Bukhari: 6474), keselamatan dunia dan akhirat (Tirmidzi: 2406), istikomah segenap anggota tubuh dalam kebenaran (Tirmidzi: 2407), kehormatan diri, ketinggian derajat, dan raihan serba keberkahan dari Allah (Bukhari: 6478; Tirmidzi 2319).
Sejalan dengan pesan Nabi kepada Mu’adz di atas, mulut dengan lisannya merupakan pangkal semua kebaikan. Dalam Jāmi’ al-’Ulūm wa al-Hikam (Jilid 2 hlm 149), Yunus bin Ubaid disebut mengatakan, “Saya tidak melihat orang yang lisannya terjaga dengan baik kecuali maslahatlah seluruh tindak-tanduk dan aktifitasnya.” Pada halaman yang sama, Yunus juga mengatakan, “Anda tidak menemukan suatu kebajikan yang memiliki efek domino selain lisan. Tidak mengherankan bila Anda mendapati seseorang berpuasa sepanjang hari tapi kemudian berbuka dengan asupan haram, dan mungkin terjaga sepanjang malam tapi kemudian esok harinya memberikan kesaksian palsu.”
Begitulah, kualitas produk mulut itu merefleksi pada keseluruhan aktifitas sang empunya mulut. Dikutip oleh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliyā (Jilid 3 hlm 20), Ibnu Katsir meyakini, “Tidaklah baik pola bicara seseorang kecuali Anda mengetahui bukti keterjagaan lisannya itu dalam seluruh aktifitasnya. Sebaliknya, Anda dapat melihat akibat buruk lisan yang tidak terjaga dalam segala aktifitas seseorang.”
Kala berbicara mengenai lisan, asosiasi kita tidak sebatas kata-kata terucap melainkan juga tergestur dan tertulis. Tutur-kata itu meliputi tutur terucap oleh perangkat mulut, tutur-kata terisyarat oleh perangkat tubuh, dan tutur-kata tertulis oleh perangkat tangan. Maka, apa yang kita sebut sebagai shiyānah al-lisān itu juga mencakup menjaga gerak-gerik dan menjaga tulisan-tulisan kita pada berbagai media.
Posting, chatting, dan segala bentuk partisipasi kita di media sosial virtual hendaknya terjaga, teratur, dan terkendali dengan baik. Pola komunikasi kita dalam jaringan virtual, baik secara terucap dalam media auditif (voice call), terucap dan tergestur dalam media audiovisual (video call), atau tertulis dalam media lainnya, seyogianya terjaga dengan baik dari segi konformitasnya terhadap etika berkomunikasi.
Dalam risalah Akhlāqiyyah al-Muslim fī al-Internet (2019), Ahmad M. Khair Yusuf memaparkan etika Islam sebagai panduan keterlibatan setiap Muslim dalam dunia virtual, khususnya media sosial. Yusuf (2019: 8), antara lain, menekankan bahwa saat hendak berbagi pesan, Muslim seharusnya berpikir matang dan tidak sembarangan melempar pesan kepada pihak yang tidak relevan, sebab materi informasi yang di-share itu memiliki komunitasnya sendiri. Setiap postingan (pikiran, perasaan, gagasan, komentar, dll) itu ada orang atau kelompoknya yang berkepentingan. Sebagian besar sisanya tidak ada urusan dengan materi postingan itu.
Sebab itu, pastikan kita hanya berbagi materi informasi kepada orang atau kelompok yang relevan. Dikutip oleh Yusuf (2019: 8), Abdullah bin Mas’ud mengatakan, “Bila Anda sampaikan pesan kepada kelompok yang tidak mampu memahami pesan itu (akal mereka tidak mampu menjangkaunya), pesan itu bisa-bisa membahayakan mereka.” Pesan tasawwuf asketisme, misalnya, bisa disalahpahami dengan praktik hidup miskin bila disampaikan kepada kelompok yang tidak mampu memahaminya dengan baik.
Yusuf (2019: 8) juga menulis bahwa etika Islam memandu kita untuk mengobrol dan berbincang secara tertulis di alam virtual dengan pola komunikasi yang baik, at-tahadduts bi al-husnā (QS. 17: 53). Selain itu, kita tidak perlu turut terlibat dalam obrolan kosong (al-kalām al-fārigh) dan debat-kusir yang runcing (al-jidāl al-‘aqīm) sejalan dengan pesan Alquran (16: 125). Saat kita patut menduga bahwa postingan kita mungkin menimbulkan onar, kontroversi, atau bahkan pertelingkahan, sebaiknyalah kita mengurungkan postingan itu. Ini sejalan dengan pesan Nabi untuk berbicara baik atau diam saja (Bukhari: 6018).
Prof. Dr. KH. Dindin Solahudin, MA, Guru Besar Ilmu Dakwah dan Wakil Dekan II Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Sumber, Galamedia 19 April 2021