Puasa Holistik

Puasa Ramadhan tahun ini sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Di samping berbarengan dengan penyelenggaraan pilpres, puasa tahun ini berbarengan pula dengan even akbar sepak bola sejagad. Puasa kali ini bernuansa ritualis, politis, sekaligus fantastis. Bisakah ketiganya menyatu tanpa mengurangi kekhusyuan berpuasa? Jawabannya tentu saja bisa.

Dalam kontruks ajaran Islam, tidak dikenal pemisahan yang ketat antara sisi ritual dengan sisi-sisi lainnya. Bahkan dalam ajaran Islam yang bersifat mahdhah sekali pun selalu ada sisi-sisi sosial di samping sisi ritualnya. Puasa, contohnya, sisi utamanya bersifat ritual, yaitu mendekatkan diri kepada Sang Khaliq dengan cara-cara tertentu. Namun, ada sisi lainnya yang sama-sama harus diperhatikan, misalnya sisi sosial, kesehatan, budaya, bahkan bisa jadi politik. Itu semua harus dipandang sebagai bagian integral dari ibadah puasa. Itu sebabnya, harus ada pandangan holistik terhadap ibadah puasa yang sebentar lagi akan datang. Puasa tidak lagi dipandang sebagai ekpresi keagamaan bersifat ritual semata.

Pandangan monolitik terhadap sisi puasa inilah barangkali yang mengakibatkan daya gedornya untuk merehabilitasi mental kurang greget. Puasa sudah dianggap kegiatan rutin yang terkesan formalistik dan—untuk kasus beberapa orang—terkadang malah konsumeristik. Padahal, tujuan sejati puasa adalah mendaki tangga-tangga ketakwaan.

Ketakwaan yang menjadi tujuan esensial puasa sebenarnya memiliki indikator-indikator empirik, sehingga seseorang sebenarnya dapat mengukur seberapa jauh ketercapaian tujuan puasa yang dijalaninya. Dalam uraian teks-teks suci, indikator-indikator tersebut di antaranya bertalian dengan hubungan antar sesama (human relation) yang dikenal dengan kesalehan sosial, seperti keberpihakan kepada orang-orang tertindas secara struktural dan kultural, empati kepada sesama, jujur, adil, dan terpercaya.

Intinya tujuan puasa sejajar secara linear dengan nilai-nilai ideal kemanusiaan. Tentu saja untuk mencapai kesalehan sosial tersebut tidak cukup dengan puasa semata, tetapi juga dengan penerapan ajaran Islam lainnya secara konsisten. Dalam ajaran Islam, puasa tidak dapat dipisahkan dari rukun Islam yang lainnya. Bahkan, puasa melengkapi rukun Islam lainnya.

Harus diakui bahwa selama ini perspektif terhadap puasa lebih didominasi oleh fiqih yang sangat formalistik. Akibatnya, jadi atau tidak jadinya puasa diukur oleh regulasi-regulasi fiqih tersebut. Karenanya, ukuran keberhasilan puasa terkesan sangat formalistik. Padahal, para ulama sendiri telah memformulasikan dua sudut pandang utama dalam melihat elemen-elemen ajaran Islam, yaitu sudut pandang syariat (baca: fiqih) dan haqiqat (baca: tasawuf). Kedua sudut pandang ini tidak boleh dipisahkan, tetapi harus dipenuhi kedua-duanya.

Dalam rumusan al-Ghazali, “Siapa beragama hanya dari sudut pandang fiqih semata tanpa melibatkan sudut pandang tasawuf, maka ia akan menjadi Zindik; Siapa beragama hanya dari sudut pandang tasawuf semata tanpa melibatkan sudut pandang fiqih, maka ia akan menjadi fasik.”

Berpuasa secara holistik berarti memandang puasa tidak saja dari sudut pandang fiqih, tetapi dari dimensi sudut pandang puasa lainnya. Multidimensi puasa ini diperlihatkan secara jelas dalam simbol-simbol ritual berpuasa dan rangkaian kegiatan yang menyertainya, mulai dari imsak sampi dengan iftar (berbuka puasa). Dimensi sosial disimpulkan dari ajaran “menahan diri (al-imsak)”, yang berarti menahan diri dari melakukan tindakan-tindakan destruktif. Ajaran lainnya seperti anjuran banyak bersedekah, membayar zakat fitrah, dan berkelompok dalam shalat tarawih semakin melengkapi dimensi sosial puasa.

Dimensi life style yang sehat diperlihatkan, misalnya, dalam ajaran menyegerakan berbuka, berbuka dengan yang manis atau air putih, dan mengakhirkan makan sahur. Bahkan, puasa itu sendiri ditenggarai sebagai media kesehatan bagi tubuh.     Tak kalah penting, pada ritual puasa terdapat dimensi ekonomi dan politik. Puasa mengajarkan cara mengelola ekonomi yang rapih dan cara berpolitik yang santun.

Dari Simbol ke Aksi
Simbol-simbol yang tersirat dalam ritual puasa tidak cukup dimaknai dengan ekspresi kekaguman terhadap ajaran Islam yang futuristik, tetapi yang terpenting bagaimana simbol tersebut dipraktekkan secara aktual dalam kehidupan. Sebab, konsep ketakwaan yang hakiki pun terdapat dalam bentuk aktual, bukan dalam bentuk konsep.

Sejarah telah mencatat bagaimana generasi saleh terdahulu berhasil menerjemahkan simbol puasa ke dalam aksi nyata. Tidak harus menunggu berakhirnya bulan Ramadan, bahkan pada bulan puasa itu sendiri para sahabat Nabi berhasil menerjemahkan simbol puasa ke dalam bentuk jihad melawan orang-orang kafir melalui Perang Badar. Dalam konteks kekinian, jihad—sebagai wujud aktualisasi puasa—seharusnya berubah bentuk menjadi akasi “memerangi” kebatilan, tentu saja dengan media yang multi dan proporsional.

Ketakwaan yang menjadi identitas muslim, baik secara individual atau komunal, sesungguhnya dapat diidentifikasi dari aksi-aksi nyata. Hadis Nabi yang menjelaskan bahwa banyak orang yang bepuasa tetapi sebenarnya tidak berpuasa dapat dimaknai pula bahwa puasa bukan hanya menahan lapar dan haus. Puasa adalah aktualisasi dari puasa itu sendiri. Dalam bentuk aksi Nabi sendiri memberi contoh bahwa puasa yang benar—di samping puasa secara formal—adalah aksi nyata, yakni dengan cara berbagi kepada sesama. Dalam sebuah keterangan disebutkan bahwa di bulan Ramadhan Nabi meningkatkan jumlah sedekahnya dibandingkan bulan-bulan selainnya. Itu sebabnya, tindakan sebagian umat Islam yang berbelanja secara berlebihan untuk kepentingan sendiri di bulan puasa tidak sejalan dengan aksi yang dicontohkan Nabi.

Kalau diterjemahkan pada konteks sekarang, hadis Nabi di atas dapat diformulasikan demikian: Puasa yang benar adalah yang melahirkan perilaku santun dan tidak destruktif, bukankah puasa mengajarkan untuk berkata santun ketika ada yang mendiskreditkan selagi kita sedang berpuasa? Puasa yang benar adalah yang melahirkan perilaku dermawan kepada orang-orang susah, bukankah puasa mengajarkan untuk banyak bersedekah di bulan puasa? Puasa yang benar adalah yang melahirkan perilaku jujur dan amanah, bukankah puasa mengajarkan untuk jujur pada sendiri bahwa kita benar-benar sedang sendiri? Puasa yang benar adalah yang melahirkan perilaku hemat dan tidak konsumeristik, bukankah puasa mengajarkan untuk berbuka puasa secara sederhana dan tidak berlebih? Dan seterusnya.

Puasa adalah ketakwaan dan ketakwaan adalah muslim yang mampu mengaktualisasikan nilai-nilai puasa. Selamat menjalankan puasa. Mari kita terjemahkan nilai-nilai puasa ke dalam wujud nyata.***

Rosihon Anwar, Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Sumber, Pikiran Rakyat 27 Juni 2014.

   
     
     
   

 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter