Puasa dan Penguatan Karakter Bangsa

Bangsa yang unggul yakni bangsa yang hidup berdasarkan pada nilai nilai moral. Masyarakat yang memiliki sifat jujur, mandiri, bekerja-sama, patuh pada peraturan, bisa dipercaya, tangguh dan memilki etos kerja tinggi akan menghasilkan sistem kehidupan sosial yang teratur dan baik. Sebaliknya, ketidakteraturan sosial akan menghasilkan berbagai bentuk tindak kriminal, kekerasan, teorisme, dll.

Karakter bangsa ini dibangun dengan dua pilar utama, yakni karakter individu anggota masyarakat dan sistem sosial yang mendukungnya. Pembentukan karakter individu membutuhkan proses yang terus menerus dan konsisiten melalui penanaman nilai-nilai positif yang dikonstruksi dalam sebuah sistem yang terencana. Sistem penanaman nilai pada individu dimaksudkan untuk mengembangkan seluruh komponen pada diri individu. Komponen tersbut meliputi aspek pengetahuan, kesadaran, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai.

Penanaman nilai membutuhkan sistem komprehensif yang terdiri atas nilai etika inti, proses penanaman nilai, dan manifestasi perilaku karakter.
Puasa merupakan salah satu proses yang paling efektif untuk menanamkan nilai-nilai moral pembentuk karakter karena dalam puasa terkandung sistem penanaman nilai yang komprehensif. Ada tiga nilai yang terkandung dalam pelaksanaan puasa:

Pertama, puasa mengandung nilai-nilai etika inti (core ethical values) mendasar yang sangat menentuan kualitas individu yaitu nilai-nilai keimanan, kesbaran, ketangguhan, pengendalian diri, empati, kepedulian pada sesama, dan ketaatan pada aturan. Seorang muslim mampu menjalankan puasa karena terdorong oleh dahsyatnya keimanan kepada Allah Swt. Puasa mengajarkan manusia agar menjadi sosok yang tangguh dan bersabar dalam mengendalikan diri meskipun sebetulnya dia mampu meluapkan dan melampiaskan seluruh keinginan emosi/syahwatnya. Puasa juga mengajarkan manusia untuk memperkuat empati dan kepedulian pada sesama. Selain itu puasa pun menempa manusia untuk menjadi sosok disiplin dan taat pada aturan.

“Ya ayyuhal ladziina aamanu kutiba ‘alaikumush shiyaamu kamaa kutiba ‘alal ladziina min qablikum la’allakum tattaquun. (Hai orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa sebagaimana telah diwajibkan pula kepada orang-orang sebeluam kalian agar kalian menjadi orang yang bertakwa).” (QS Albaqarah/2: 183).

“Man shaama ramadhana iimanan wahtisaban, ghufira lahu maa taqaddama min dzanbihi wa man qoma laital qadri iimanan wahtisaban ghufira lahu maa taqaddama min dzanbihi (Siapa pun berpuasa karena terdorong oleh keimanan kepada Allah dan mengharap keridaannya, diampuni-Nya semua dosa yang dilakukan sebelumnya. Siapa pun yang mendirikan salat pada lailatul kadar diampuni-Nya semua dosa yang dilakukan sebelumnya).” (HR Bukhari No. 38, Muslim No. 760)

“Ash shiyamu junnatun fa laa yarfats wa laa yajhal wa inimru-un qatalahu aw syatamahu fal yaqul inni shaa-imun. (Puasa adalah tameng. Jadi janganlah dia berkata kotor (porno) atau melakukan tindakan bodoh. Jika ada orang yang mengajaknya untuk berkelahi atau menghinanya, maka hendaklah dia mengatakan, ‘Saya sedang puasa’ sebanyak 2 kali’)”. (HR Bukhari No. 1894, Muslim No. 1151)

Alquran dan hadis yang sangat populer itu menggambarkan nilai-nilai etika inti dari puasa yang mestinya didapatkan oleh setiap orang saat menjalani puasa setiap Ramadan.

Kedua, puasa merupakan proses penanaman nilai yang paling efektif. Ada lima prinsip penanaman nilai-nilai moral yang terkandung dalam pelaksanaan puasa, yakni: 1. Unsur pengajaran, puasa mengajarkan dan mengembangkan proses kognitif dengan baik, majlis-majis ilmu berkembang di mana-mana, kajian keislaman menjamur. 2. Unsur pembiasaan, yakni membiasakan tumbuhnya nilai-nilai keimanan dalam diri, mebiasakan untuk bersabar, membiasakan memiliki jiwa yang tangguh dalam menghadapi tantangan, serta membiasakan peduli pada sesama. 3. Unsur keteladanan, yakni memberikan contoh yang baik pada pada anak-amak/generasi muda. 4. Unsur motivasi; adanya reward dan punishment dalam berpuasa baik bersifat material maupun spiritual. 5. Unsur penegakan aturan; berpuasa mengajarkan kepada setiap orang agar membiasakan diri dengan sikap taat pada aturan, karena aturan akan membentuk setting limit indivu, yakni untuk memilih mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan, mana yang pantas dan tidak pantas berdasarkan nilai-nilai moral.

Ketiga, puasa akan menghasilkan perilaku karakter baik sesuai dengan nilai-nilai yang konstruksi. Orang menjadi lebih kuat keimanannya, lebih sabar perilakukanya, menjadi tagguh dalam menghadapi tantangan, memiliki pengendalian diri yang baik, empati yang tinggi serta peduli pada sesama yang berkembang dengan baik.

Puasa yang dijalankan dengan baik dan benar akan menghasilkan kualitas pribadi yang unggul dengan perilaku karakter unggul dan ditempatkan dalam maqom yang unggul. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah Hadis Nabi yang diriwatkan oleh Attirmidzi,

“Maa min syai-in yudha’un fil miizaani atsqalu min husnil khuluqi wa inna shahiba husnil khuluqi layablughu bihii darajatan shaahibish shaumi wash shalaati (Tak ada yang lebih berat pada timbangan (Mizan, di hari Pembalasan) dari pada akhlak yang baik. Sungguh, orang yang berakhlak baik akan mencapai derajat orang yang berpuasa dan salat.”(HR Attirmidzi No. 1926)

Perilaku karakter indidu yang berlandaskan pada nilai moral tersebut akan berkontribusi signifikan pada terbentuknya karakter bangsa yang unggul. Setiap orang akan merasa bertanggung jawab untuk tetap menjaga sikap dan perilaku karakter baik setelah selama satu bulan menjalani riyadhah yang holistik untuk menguatkan dan mengambangkan aspek-aspek jasmani, nafsani, dan ruhani sebagai elemen dasar manusia.

Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, dapat ditegaskan bahwa puasa dapat menjadi media yag efektif untuk mengembangkan karakter baik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Mahaesa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, maupun kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tatakrama, budaya, dan adat istiadat.[]

Prof. Dr. Hj. Aan Hasanah, M.Ed., Penulis adalah Guru Besar Fakultas Tarbiyah dan Wakil Dekan I Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Gunung Djati andung, Pengurus IKA UIN SGD

Sumber, Syiar Ramadan Galamedia 12 Juni 2018

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *