PTA Kontributor Penting Terciptanya Keragaman

[www.uinsgd.ac.id] Salah satu poin yang sangat penting dan merupakan kontributor penting terciptanya suatu keragaman adalah peran perguruan tinggi agama. Kehadiran perguruan tinggi Islam di Indonesia  apalagi di bawah Kementerian Agama sangat besar artinya. Menurut Daniel S Liev, kehadiran Kementerian Agama yang di dalamnya juga dilengkapi dengan perangkat perguruan tinggi sendiri yang bebas dari intervensi perguruan tinggi umum dan juga sekaligus sebagai wadah konsolidasi sampai ke lapis bawah. Demikian disampaikan Wakil Menteri Agama (Wamenag) Nasaruddin Umar di Kampus UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, Sabtu (8/2) malam.

Hadir dalam pertemuan tersebut Sekjen Bahrul Hayat, Dirjen Pendis Nur Syam, Dirjen Bimas Islam Abdul Djamil, Pejabat Eselon II Pusat, Pimpinan PTAN, Kakanwil Kemenag Provinsi dan Kepala Balai.

Menurut Wamenag, di negara-negara Islam lain kita tidak menemukan ada pemilahan antara peran Perguruan Tinggi Agama (PTA)  dan Perguruan Tinggi  Umum, semua diatur oleh suatu badan khusus   di bawah Kementerian Pendidikan.

“Apa yang menjadi unsur distinktif dengan keterpisahan ini, hemat saya ini sangat positif untuk Kementerian Agama dan bangsa Indonesia,” terang Wamenag.

Ia mencontohkan bahwa kawasan Asia Tenggara relatif masih satu mahzab  pada awalnya, penganjur-penganjur Islam dan agama lain hampir sama (mahzabnya) di kawasan Asia Tenggara ini. Di Indonesia terjadi keragaman untuk tidak mengatkana kekompakan pengembangan mahzab dan aliran ini. Ini disebabkan karena paralelnya kemenag dengan PT Agama itu sendiri. Ditingkat pusat ada Kemenag didampingi para pemikir-pemikirnya  juga sinergi dengan UIN, IAIN atau sekolah tingginya. Di level kanwilnya ada hubungan horizontal yang sangat baik/akrab dengan perguruan tinggi di bawah kemenag.

“Antara kanwil, kankemenag dan perguruan tinggi diwilayahnya sangat sinergi. Di negara lain termausk Malaysia, Singapura atau Brunei itu tidak. Efek yang bisa kita lihat adalah terjadinya keberagaman,” ujar Nasaruddin Umar.

Dalam pandangan Nasaruddin yang juga guru besar UIN Jakarta, (sedikit terjadi) shock antara jarak konsep idiologi masyarakat bawah dan kalangan atas di Indonesia, kita  bandingkan dengan Malaysia misalnya, masyarakat grass root itu diwarnai aliran Asy’ari yang berwacana tentang mu’tazilah, yang berwacana tentang pemikiran-pemkiran sedikit modern hanya di lingkungan Perguruan Tinggi-nya. Tapi wacana seperti itu tidak bisa dikhutbah Jumat-kan.

“Lain sekali apa yang sedang menjadi wacana di kampus dan apa yang sedang di konsumsi di masyarakat,” papar Nasaruddin.

Makanya, papar Nasaruddin, di Malaysia tidak boleh sembarang khutbah di masjid, harus ada semacam SIM bagi seorang Khatib, karena dikhawatirkan bukan saja menyangkut masalah politik tapi dikhawatirkan suara-suara kampus yang sedemikian liberal digunakan untuk melemparkan isu-isu di mana masyarakat belum siap menerimanya.

“Di Indonesia, karena kekompakan antara Kemenag di mana di dalamnnya ada PT-nya itu bisa bahu membahu untuk mendiskusikan ajaran-ajaran itu sehingga tidak terjadi shock intelektual antara masyarakat akar rumput (grass root) masyarakat dengan suara–suara pembaharuan dikampus,” ujarnya.

Nasaruddin mengatakan, peran tumpuan antara perguruan tinggi agama dan lembaga tinggi keagamaan lainnya itu merupakan suatu kekuatan dalam  melakukan sosialisasi sekaligus mendekatkan jarak antara pemikiran yang ada di kampus, di pemerintahan, pemikiran yang berkembang secara internasional dan masyarakat itu sendiri.

Dalam kesempatan tersebut, Wamenag juga mengingatkan bahwa keringat dosen-dosen agama jauh lebih banyak ketimbang dari dosen dari tempat lain. Dosen agama mempunyai binaan umat, melakukan pelayanan kepada masyarakat, itu tidak perlu ditanyakan, bahkan  50;50  lebih banyak mana melayani kampusnya atau masyarakatnya.

“Dan jangan kira mereka terjun ke masyarakat itu untuk memperoleh pendapatan sampingan, tapi semata untuk pengabdian,” terang Wamenag

Untuk itu, wamenag mengingatkan agar diberikan kemudahan bagi para pelayan-pelayan umat tersebut dengan tetap mengindahkan ketentuan peraturan yang berlaku, terutama dalam persyaratan memperoleh jenjang akademisnya seperti persyaratan meraih  guru besar. (dm/dm).

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter