Prostitusi Intelektual

Maraknya prostitusi  seks  sungguh sangat memprihatinkan. Namun  lebih menyedihkan lagi terjadinya pelacuran intelektual yang dilakukan  oknum akademisi. Ijazah palsu, plagiat, mendukung kebijakan yang tidak pro rakyat, dan berbagai bentuk tindakan tak bermoral lainnya yang terasa, namun sulit dilacak.  

Gebrakan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir untuk menertibkan perguruan tinggi abal-abal patut diapresiasi. Hanya saja, tak cukup konsistensi dan ketegasan hukum, dalam jangka panjang, pengawasan ketat, pembenahan organisasi dan  pembinaan sumber daya manusia di perguruan tinggi melalui pendidikan berkualitas dunia, pemberian biaya riset yang memadai dan peningkatan kesejahteraan dosen dan staf perguruan tinggi menjadi kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi. Sebagai institusi dimana kaum intelektual bertumbuh, perguruan tinggi dan lembaga penelitian harus menjadi lembaga terhormat dengan anggaran yang sangat layak. 

Sebagai kelas menengah, intelektual dikaruniai Tuhan untuk mengemban tugas suci memberikan pencerahan dan melakukan perubahan sosial. Pegangannya hanya kejujuran dan kebenaran. Tujuannya mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk kemuliaan manusia, bukan mendegradasikannya. Wujud aksiologis dari ilmu pengetahuan yang sarat nilai, tidak bebas nilai. 

Ahli biologi dari Inggris, Thomas Henry Huxley (1825-1895) menyatakan, “the great end of life is not knowledge but action.” Di atas pengetahuan yang dimiliki, lebih penting lagi melaksanakan apa yang diketahui. Penulis Amerika Serikat kelahiran Peru,  Carlos Castaneda (1925-1998) menyatakan, “ilmuwan hidup dengan tindakan, bukan berpikir tentang tindakan.” Seorang intelektual bertindak dipandu oleh ilmu pengetahuan, sehingga penuh nilai dan kebermanfaatan pada masyarakat. Itu lah mengapa, bukan hanya mengajar dan meneliti, perguruan tinggi dan akademisi yang ada di dalamnya harus mengabdi untuk kepentingan masyarakat. 

Penghianatan 

Apabila diidentifikasi secara kritis, setidaknya ada tiga faktor penyebab mengapa tengah terjadi pelacuran intelektual. Pertama, adanya afiliasi politik, organisasi dan ideologi. Untuk kepentingan tertentu, sekelompok intelektual bergabung dengan kelompok kepentingan dan menjadi pendukung kebijakan (think thank). Muncul istilah intelektual plat merah, pendukung kebijakan pemerintah yang mungkin salah. Kaum intelektual kerap terbelenggu oleh afiliasi kelompok yang dipilihnya.  Menjadi politisi dan ideolog tidak diharamkan, namun ketika dukungan membabibuta dengan mengabaikan nurani dan kebenaran, itu yang harus dikritisi. Seperti sinyalemen Michael  Polanyi, ada segi tak terungkap  (kepentingan, ideologi, subjektivitas dan pemodal) dalam ilmu pengetahuan.    

Kedua, otoritas di lingkungan pendukungnya. Sebagaimana disinyalir oleh Edward W Said, relasi kuasa menjadikan intelektual tidak bisa mandiri. Moralitas akademik dan universalitas kebenaran hanya khutbah yang disampaikan di kelas. Ibarat paduan suara, harmonisasi adalah alasan utamanya. Sikap kritis dan dialog intelektual-komunikatif di ruang publik hampir tak terdengar. 

Muncul kelompok intelektual “favorit” media massa dengan analisisnya yang kadang dangkal tanpa data. Opini publik terbangun oleh banalitas (kedangkalan) kaum intelektual seperti itu. Sementara akademisi tekun yang melakukan riset serius, tenggelam di ruang penelitian yang tak terhubung dengan hirukpikuknya wacana publik yang dibangun kaum intelektual. Ada jurang curam, kampus tak mau membuka diri untuk mempublikasikan risetnya dan secara terbuka menyampaikan keahlian masing-masing dosennya, sementara media massa juga kekurangan daftar narasumber untuk isu tertentu.   

Ketiga, rendahnya kesejahteraan intelektual. Akibatnya ada  relasi yang tak seimbang dengan sponsor, menjadi “pengemis” dana riset. Hal ini terjadi karena penghargaan  negara kepada akademisi masih rendah. Dengan gaji rendah, riset yang didanai oleh sponsor menjadi sumber penghasilan tambahan. Tak jarang, hasil riset yang berlawan dengan keinginan sponsor pun diabaikan. Sebagaimana disinyalir M Foucoult, wacana kebenaran diproduksi oleh pemilik kuasa, entah itu pemilik modal atau penguasa. Intelektual “pesanan”, menyampaikan wacana dengan mengabaikan kepentingan publik. Kaum tertindas hanya sebagai objek penelitian, bukan subjek pembelaan, sebagai aktualisasi nilai kebenaran.  

Indonesia merupakan negara dengan biaya riset yang sangat kecil. Data Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi menyebutkan hingga tahun 2014, investasi riset terhadap Product Domestic Bruto (PDB) baru mencapai 0,09 persen. Negara-negara yang bergabung di Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) sudah di atas 2 persen.   

Padahal hingga 2012, lembaga riset yang berada di  Perguruan Tinggi Negeri (PTN) berjumlah  683 unit dan PTS  ada 3.019 unit. Ini di luar lembaga riset negara dan swasta lainnya. Idealnya dilakukan terobosan, agar tersedia dana yang cukup untuk kepentingan penelitian. Atau dana penelitian dari lembaga dan perusahaan sebaiknya tidak mengikat. Sehingga mampu memperkecil kemungkinan intervensi sponsor dan mendorong kesejahteraan intelektual. Menjadi kaum tercerahkan berarti mewakafkan dirinya dalam kesederhanaan, namun bukan berarti hidup dalam kemelaratan. 

Secara historis, kaum intelektual Indonesia merupakan penenun kain kebangsaan, berbenangkan  kerajaan, suku bangsa dan daerah yang berbeda, berwarnakan kebhinekaan dengan semangat kebangkitan nusantara.  Kaum tercerahkan, yang tugasnya menjaga moral, terus memberikan pencerahan jujur dan kritis, menyuarakan kebenaran dengan terbuka serta menyelamatkan kemanusiaan.

Sayangnya, intelektual yang hidupnya sederhana, saat mendapatkan jatah “kuasa”, berubah gaya hidupnya, lebih glamour dan ingin menyesuaikan strata. Mereka pun lantas lupa dengan tugas utama, bukannya mencerahkan, malah melakukan pembodohan publik. Bentuk penghianatan intelektual, begitulah Julien Benda menuding.

Meski demikian, intelektual tidak boleh apatis, apalagi menjauhi politik. Dalam  politik, seluruh kebijakan yang terkait dengan rakyat dirumuskan dan dilaksanakan. Mereka yang ada di lingkaran kekuasaan -teknokrat, begitulah istilah yang dipergunakan M Dawam Rahardjo- berjuanglah menyemaikan idealisme, mempraksiskannya dalam bentuk kebijakan pro rakyat. Bagi intelektual yang ada di luar kekuasaan, tetaplah suarakan kebenaran dengan kritis dan konstruktif. Jangan hanya karena “dihadiahi” jabatan komisaris, diam tak berdaya di bawah ketiak penguasa. Wallâhu’alam .[]

Iu Rusliana, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Bandung-aktif di Mien R Uno Foundation Jakarta.

Sumber Pikiran Rakyat 16 Juni 2015

 

 

 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *