UINSGD.AC.ID (Humas) — Gelar profesor adalah simbol pencapaian intelektual yang sejati, hasil dari dedikasi akademik yang rumit. Gelar profesor itu lambang keunggulan akademis dan kontribusi nyata terhadap ilmu pengetahuan dan masyarakat, bukan sekadar ornamen untuk memperindah citra seseorang.
Profesor adalah pelita yang menerangi jalan pengetahuan, membimbing generasi muda dengan kebijaksanaan dan keahlian mereka. Mereka adalah penjaga tradisi intelektual, yang telah dibangun dengan susah payah oleh para ilmuwan dan pendidik terdahulu.
Bukan Trayek Politik
Gelar profesor itu sebagai simbol pencapaian sejati dan tanggung jawab intelektual. Gelar profesor memiliki nilai intrinsik yang jauh lebih dalam daripada sekadar alat untuk citra seseorang. Profesor adalah penjaga dan pengembang ilmu pengetahuan yang berkewajiban untuk mempertahankan standar akademik yang tinggi. Gelar profesor juga bukan hanya tentang pengakuan atas keahlian dalam bidang akademik, tetapi tentang tanggung jawab moral untuk memelihara integritas intelektual.
Penggunaan gelar profesor untuk tujuan politik akan mengaburkan garis demarkasi antara alam pengetahuan yang objektif dan dunia politik yang subjektif. Oleh sebab itu, sebaiknya para politisi tidak mengejar ambisi politis melalui trayek ini. Ikuti saja trayek yang sesuai dengan tata cara dan ritme politik. Jangan tiba-tiba banting setir ke dunia akademik dengan membawa “warna” politik.
Kenapa trayek keprofesoran sebaiknya tidak diambil oleh para politisi adalah untuk memastikan bahwa pengetahuan tetap bebas dari bayang-bayang “aroma oportunistik”. Pisahkan saja dunia politik dengan akademik. Hanya dengan memisahkan kedua dunia ini, kita dapat mempertahankan kepercayaan dan kehormatan akademik.
Para politisi seharusnya mengejar ambisi politik mereka melalui jalur yang sesuai dengan tata cara politis, tidak harus memanfaatkan trayek akademis, karena dapat mengaburkan nilai-nilai akademik yang seharusnya dijunjung tinggi. Mendompleng reputasi akademis untuk kepentingan politik hanya akan mengaburkan batas antara kualifikasi ilmiah yang sejati dan citra politik yang direkayasa.
Kurang Bertuah untuk Politik
Memang betul aura otoritas yang melekat pada gelar profesor menarik perhatian publik dan mencitrakan seseorang sebagai orang yang berkompeten dalam ranah intelektual. Namun, apakah relevan gelar tersebut dikapitalisasi untuk meraih dukungan politik dari masyarakat awam?
Untuk di Indonesia, gelar profesor kurang relevan kalau digunakan dalam mendulang dukungan politik masyarakat. Hal ini disebabkan karakteristik sebagian besar masyarakat Indonesia yang tidak (belum) menghubungkan kepercayaan politik dengan prestasi akademik. Mereka cenderung lebih mengutamakan politisi yang bisa berkomunikasi dengan bahasa sederhana dan mudah dipahami, yang diduga tidak biasa dilakukan oleh profesor. Figur politisi yang terlalu akademis sering dianggap terlalu jauh dari kehidupan nyata dan tidak mampu memahami dan merasakan permasalahan sehari-hari.
Gelar profesor juga sering dikaitkan dengan stereotip sebagai orang yang terisolasi dalam menara gading, hanya fokus pada teori tanpa aplikasi praktis yang nyata. Hal ini membuat masyarakat kurang “kerasan” dengan kemampuan profesor mengelola mereka. Mereka lebih memilih pemimpin yang “tercitrakan” memiliki pengalaman nyata di lapangan dan bisa langsung turun tangan dalam menyelesaikan masalah.
Di dunia politik, keterampilan komunikasi dan kemampuan untuk menarik simpati rakyat jauh lebih penting daripada gelar akademis. Politisi yang mampu berbicara dengan bahasa rakyat, menunjukkan kepedulian secara langsung, dan memiliki kepribadian yang hangat biasanya lebih mudah mendapatkan dukungan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam politik, kepribadian dan kehangatan berinteraksi dengan masyarakat lebih diutamakan daripada prestasi akademis.
Menghilangkan Gelar Profesor?
Sistem akademik di kita itu bagaikan hutan yang rimbun, penuh dengan berbagai jenis pohon yang tumbuh subur. Setiap pohon bagikan seorang akademisi yang telah menempuh perjalanan akademik, belajar, dan berkontribusi dalam berbagai bidang keilmuan. Dalam hutan ini, setiap pohon memiliki sebutan yang jelas: pohon pinus, pohon jati, pohon kamper, atau albasiah, yang menunjukkan karakteristik dan perannya dalam ekosistem tersebut.
Demikian pula dalam dunia akademik, berbagai sebutan atau gelar berfungsi untuk memberikan identitas dan pemahaman tentang pengetahuan serta keahlian seseorang. Menghilangkan gelar akademik dari dunia pengetahuan sama seperti menghilangkan sebutan dari pepohonan di hutan. Tanpa sebutan tersebut, kita akan menghadapi kesulitan besar dalam mengenali dan memahami jenis serta manfaat setiap pohon. Kamper yang kuat akan sulit dibedakan dari pohon pinus atau pohon albasiah. Tanpa sebutan gelar, seorang ahli biologi yang telah menghabiskan bertahun-tahun meneliti ekosistem laut akan sulit dibedakan dari seorang ekonom yang ahli dalam analisis harga ikan selar di pasar.
Gelar akademik tidak bisa juga direduksi sekadar penanda administratif, tetapi juga memberikan makna substantif. Gelar tertentu mencerminkan perjalanan panjang dan dedikasi dalam mengejar pengetahuan, penguasaan atas bidang tertentu, serta kontribusi yang telah diberikan kepada ilmu pengetahuan dan masyarakat. Tanpa simbol, kita tentunya meremehkan nilai dari usaha yang telah dicurahkan oleh individu-individu dan kita akan kehilangan cara untuk mengakui suatu pencapaian. Substansi akademik tanpa gelar sama seperti hutan tanpa sebutan pada pepohonannya: membingungkan dan tidak terorganisasi.
Ija Suntana Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Sumber, Kolom detikNews Rabu, 31 Jul 2024 14:30 WIB