Istilah new normal yang saat ini berkembangan di Indonesia, kuranglah tepat sebab pandemi covid-19 di Indonesia belumlah sirna bahkan di beberapa daerah tertentu pendemi covid-19 ini masih menujukan angka peningkatan.
Istilah new normal cocok diterapkan jika Indonesia sudah benar-benar meninggalkan suasana pandemi covid-19, sehingga istilah yang paling cocok untuk digunakan saat ini adalah “massa transisi”.
Rangkaian kalimat tersebut terungkap dalam Webinar bertajuk Strategi Komunikasi Krisis di Masa “New Normal” yang diselenggarakan Jurusan Ilmu Komunikasi FDK UIN Bandung, pukul 09.00 hingga 11.00 hari Jumat (12/06/2020).
Webinar menampilkan dua pembicara, yaitu Guru Besar Ilmu Komunikasi, Prof. Dr. H. Asep Saeful Muhtadi, MA, dan ahli Komunikasi Budaya, Dr. H. Enjang, AS, MSi, MAg.
Menurut Asep, kekurangtepatan penggunaan istilah new normal dipersepsi keliru oleh masyarakat. Masyarakat menganggap Indonesia sudah benar-benar terbebas dari pandemi covid-19 sehingga harus beralih ke suasana new normal. Akibatnya, banyak yang mengaibakan protokol komunikasi dan menganggap sudah tidak perlu lagi menggunakan masker, mengabaikan social distancing, bergerombol, dan ramai-ramai ke mall, restoran dan tempat wisata.
Jika dilihat dari tujuannya, menurut Asep, alangkah tepat jika menggunakan istilah “masatransisi” sebab secara sosiologis masa transisi lebih menjanjikan akan datangnya suasana baru yang sudah ditargetkan. Istilah masa transisi adalah masa peralihan yang dianggap sudah terbiasa.
“Untuk itulah strategi komunikasi yang paling cocok saat ini adalah merumuskan pesan komunikasi yang yang bersifat clear, definitif, kredible. Penggunaan simbol-simbol yang tidak ambigu dan tidak multi-interpretasi,” papar Asep.
Selain itu, menurut Asep, dalam strategi komunikasi ini sumber pesan sebaiknya bersifat homogen, kredibel, dan tidak membingungkan audien, dan terpenting lagi disampaikan dalam situasi yang tepat waktu, momentum, dan kesempatan yang tepat.
Pada kesempatan yang sama, ahli Komunikasi Budaya, Dr. H. Enjang AS, MAg., MSi, mengatakan, sudah sejak Februari 2020 pemerintah memiliki startegi komunikasi yang diadopsi dari WHO, akan tetapi tidak berjalan efektif karena tidak sesuai konteks Indonesia, termasuk budaya masyarakat Indonesia. Selain itu, strategi hanya dimunculkan sebagai formalitas tanpa dipahami dengan baik.
“Perlu diingat, komunikasi bukan lagi sekadar transfer pesan, namun perlu sampai pada tahap membangun sosial dan budaya masyarakat sehingga tidak akan ditemukan leadeship yang asal-asalan dan birokasi yang lamban,” ujar Enjang.
Webinar ini dibuka oleh Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi, FDk UIN Bandung Dr. H. Darajat Wibawa, MSi. Menurut Darajat, ilmu komunikasi memiliki peran penting dalam membantu menyelesaikan pandemik covid-19 yang saat ini sedang melanda dunia termasuk di Indonesia.
Lebih jauh dikatakan, tujuan Webinar ini selain menampung berbagai ragam pendapat dari para ahli, penggiat, dan praktisi ilmu komunikasi juga mencoba memberi warna baru pengembangan peran dan fungsi komunikasi dalam ikut serta berkontribusi menyelesaikan pandemi covid-19 di Indonesia.
Acara Webinar diikuti sekitar 200 peserta dari dalam dan luar negeri, yakni Korea dan Belanda. Profesi para peserta berasal dari beragam bidang mulai dari mahasiswa, akademisi, pengamat, konsultan, pejabat, dan praktisi komunikasi.
Sumber, Intro News 12 Juni 2020