Prodi Ilmu Politik UIN Bandung Gelar Webinarnas Pilkada dan Kuasa Moral

Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Sunan Gunung Djati Bandung menggelar Seminar Nasional Online (Webinarnas) bertajuk “Pilkada dan Kuasa Moral? Mengawal Demokrasi Lokal di Era New Normal” melalui aplikasi zoom, Sabtu (4/07/2020)

Acara Webinarnas ini merupakan hasil kerjasama antara Prodi Ilmu Politik dengan Asosiasi program Studi Ilmu Politik (APSIPOL) dan Asosiasi Dosen Ilmu Politik Indonesia (ADIPI) yang didukung oleh Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Malikussaleh, Lokhsemawe, Aceh, Prodi Pemikiran Politik Islam Universitas Islam Negeri Sumatera Utara dan Prodi Ilmu Politik FISIP Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan.

Dr. Ahmad Doli Kurnia Tandjung, S.Si., MT. (Ketua Komisi II DPR RI), Prof. Dr. R. Siti Zuhro, MA. (Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik LIPI), Rifqi Alimubarok, M.Si. (Ketua KPU Jawa Barat), Erwin Kustiman, M.Si. (Managing Editor Pikiran Rakyat) tampil sebagai narasumber, dengan menghadirkan penanggap utama: Dr. H. Rasyidin, S.Sos, MA. (Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Malikussaleh, Lokhsemawe, Aceh), Muhammad Aswin (Dosen Prodi Pemikiran Politik Islam Universitas Islam Negeri Sumatera Utara), A. Ali Armunanto, S.IP, M.Si. (Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan), Kahpiana, S.Pd (Bawaslu Kabupaten Bandung) yang dipandu oleh Dr. Muslim Mufti, M.Si.

Dalam sambutannya Dekan FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Ahmad Ali Nurdin, Ph.D, menejelaskan, antara moralitas di satu sisi dan kekuasaan (power) di sisi lain sering kali berseberangan. Karena moralitas seringkali didasarkan pada altruism dan komitmen kepada kebaikan bersama, sementara power atau kekuasan cenderung bertujuan untuk kepentingan pribadi atau self interest.
“Anggapan kita seringkali kuasa moral itu dianggap sesuatu yang basa-basi (oxymoron), padahal kehadirannya sebenarnya sangat penting dalam kehidupan sosial politik,” tegasnya.

Jika kita melihatnya dari perspektif sosiologis (sosiologi moralitas), moralitas sudah menjadi kajian utama para pendiri sosiologi seperti Emile Durkheim dan Weber. Sosiolog klasik seperti Weber, sangat perhatian terhdap dua isu ini, power dan moralitas, sebelum kedua konsep ini dipandang sebagai dua hal yang bersebrangan (antithetical). Konsep charismatic authority Weber seperti mempunyai kemiripan dengan moral power (kuasa moral), yaitu bentuk kekuasaan yang bukan traditional dan bukan pula rasional legal.
“Bedanya, Charisma dalam pandangan Weber hanya berlaku bagi seseorang yang memiliki kualitas individu yang extraordinary atau exceptional quality. Ketika otoritas kharismatik bisa mendorong dan melahirkan kuasa moral, maka sebenarnya kuasa moral bisa lahir dari orang biasa-biasa saja. Artinya, kuasa moral lebih luas daripada otoritas kharismatik,” jelasnya.

Menurut Jal Mehta dan Christoper Winsip (Harvard University) ada 3 komponen yang dibutuhkan bagi seorang aktor bisa dikatakan memiliki kuasa moral, yaitu: Pertama, Aktor itu dipersepsikan sebagai morally-well-intentioned (niat kuat karena alasan moral). Aktor itu dipandang oleh orang lain selalu konsisten berprilaku sesuai dengan prinsip-prinsip moral. Aktor itu dipandang publik dalam aktivitasnya dimotivasi oleh tujuan kebaikan bersama bukan didorong oleh kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Contoh Martin Luther King, perjuangannya tentang hak-hak sipil didasarkan atas membela prinsip-prinsip moral, bukan semata-mata hanya untuk membela kepentingan kelompok kulit hitam African-Americans

Kedua, Niat saja tidak cukup, perlu dibarengi oleh komponen kedua yaitu moral capability (secara moral mempunyai kapabilitas). Yaitu, mempunyai kemampuan untuk mendiagnosa dan beraksi secara efektif berdasarkan moralitas. Dalam bahasa Aristoteles disebut “phronesis’ atau practical wisdom (kebijaksanaan praktis yang didapat seseorang karena pengetahuan dan pengalamannya bagaimana beraksi (yang secara moral bisa diterima) pada situasi tertentu.

Ketiga, Moral standing, yaitu apakah seorang aktor itu dipersepsikan sebagai orang yang mampu memberikan pilihan tepat secara moral di antara pilihan-pilihan yang kontradiktif dan bisa mengarah kepada konflik. “Saya berharap dari seminar kali ini, kita bisa melihat sejauhmana potensi kuasa moral pada pilkada bisa menjadi alternatif atau sinthesa dari kuasa modal yang selama ini dipandang sebagai satu-satunya alternatif bagi pemenangan sebuah pesta demokrasi di pilkada,” paparnya.

Dr. Ahmad Doli Kurnia Tandjung, MT menuturkan, tema kuasa moral ini sangat paradigmatik yang perlu strategi dalam pengimplementasiannya. Perlu konsep atau perencanaan yang baik untuk membangunnya.

Menurutnya, bangsa Indonesia punya basis yang kuat untuk membangun peradaban. Basis sebagai moral berbangsa adalah Pancasila. “Pancasila itu jika dimaknai secara mendalam serta konsisten, kita bisa angkat menjadi nilai peradaban dunia,” ujarnya.
Penerapan dan ketaatan terhadap protokol kesehatan adalah bentuk kuasa moral dan menjadi kunci sukses pilkada serentak yang akan digelar 9 Desember 2020. Karena saat ini pun peraturan di tingkat undang-undang (UU) tengah menunggu pengesahan dalam sidang paripurna.

“Prodi Ilmu Politik UIN Bandung telah menginisiasi. Mudah-mudahan tidak hanya sampai di sini, kita (DPR RI) terus membuka aspirasi penyusunan regulasi politik dari segala kalangan, termasuk dari akademisi,” katanya.
Dalam jangka pendek, kuasa moral untuk pilkada serentak akan banyak mendapatkan tantangan. Namun, tema ini sangat baik untuk terus digulirkan dan dilaksanakan dalam jangka panjang.

Prof. Dr. R. Siti Zuhroh menuturkan tantangan demokrasi yang paling krusial adalah melembaganya demokrasi prosedural dan buruknya kinerja pemerintahan yang dihasilkan
pilkada.

Salah urus daerah dan pemerintahan masih berlangsung terus. “Hal itu ditandai antara lain oleh semakin maraknya korupsi, pembusukan kekuasaan akibat tidak adanya supremasi hukum, berlangsungnya konflik kelembagaan di antara institusi-institusi demokrasi, dan rendahnya komitmen para penyelenggara pemerintahan dan wakil rakyat dalam melembagakan pemerintahan daerah yang efektif,” tuturnya.

Sistem demokrasi yang dihasilkan pilkada-pilkada sejak 2005 dapat dikatakan belum sepenuhnya berhasil melembagakan pemerintahan yang efektif, yaitu pemerintahan yang governable: pemerintah yang benar-benar dapat menjalankan fungsi eksekusi yang dimilikinya. Pilkada langsung yang diselenggarakan Indonesia sejak 2005 dan serentak sejak 2015 tidak kunjung menghasilkan pemerintahan daerah yang efektif, efisien, dan profesional.

“Keberhasilan penyelenggaraan pilkada serta pelembagaan sistem demokrasi pada umumnya tidak diikuti kemampuan dalam mengelola politik dan pemerintahan sesuai amanat Konstitusi. Sulit dipungkiri, meskipun hak-hak politik dan kebebasan sipil telah dijamin oleh konstitusi serta partisipasi politik masyarakat semakin luas, pilkada belum mampu mengantarkan rakyat benar-benar berdaulat,” jelasnya.

Untuk itu, peran aktor sebagai faktor dominan dalam demokrasi lokal dapat digambarkan melalui atribut konstuktif dan menghambat (constraining). “Peran aktor yang bersifat konstruktif menggambarkan kondisi aktor yang secara aktif dan positif menjadi agen perubahan bagi pembangunan dan perkembangan masyarakat.
Peran aktor yang konstruktif dapat berada baik dalam kondisi kepentingan atau konfigurasi aktor yang terfragmentasi (fragmented actors) maupun dalam kondisi terkonsolidasi (consolidated actors). Peran aktor yang konstruktif merupakan landasan utama terjadinya perkembangan demokrasi lokal,” ungkapnya.

Sedangkan peran aktor yang menghambat mendeskripsikan kondisi peran aktor yang kontraproduktif bagi pertumbuhan dan perkembangan demokrasi lokal. “Semakin tinggi peran aktor yang konstruktif semakin baik bagi demokrasi lokal. Sebaliknya, semakin tinggi peran aktor yang menghambat semakin sulit demokrasi lokal berkembang. Peran aktor dalam pilkada memberi ilustrasi konkret bahwa aktor-aktor tersebut tidak selalunya mendorong demokrasi,” ujarnya.

Sistem demokrasi diperjuangkan bukan hanya untuk pergantian legislatif dan eksekutif semata, tapi lebih dari itu adalah untuk menghadirkan pemerintah dan wakil rakyat yang bertanggung jawab dalam mengemban mandat politik yang diberikan rakyat. “Itu artinya, tolok ukur keberhasilan sistem demokrasi tidak sekadar terletak pada terpenuhinya segenap prosedural elektoral saja. Tapi lebih pada kualitas akuntabilitas pemerintah dan wakil rakyat terpilih yang tercermin dalam kemampuan mereka mewujudkan cita-cita keadilan, keberadaban, dan kesejahteraan bagi masyarakat,” tandasnya.

Demokrasi itu pada dasarnya membangun peradaban. Cita-cita luhur dan mulia tersebut tidak mungkin terwujud jika skema pilkada dan demokrasi yang telanjur dilembagakan terperangkap berbagai distorsi yang menghambat. Selain itu, perlu dilakukan pula politik penegakan hukum yang simultan dan sinergis dengan penataan format pilkada dan skema demokrasi agar terbangun koherensi antara pembangunan politik dan pembangunan hukum, sehingga politik yang bersifat anarkis terhindarkan.

Pengalaman daerah-daerah menunjukkan bahwa proses demokrasi tak seluruhnya lancar dan memberi peluang positif. “Proses demokrasi mengalami banyak tantangan, baik ditinjau dari nilai-nilai budaya politik lokal maupun peran aktor yang tak selalu mendorong proses demokrasi. Politik transaksional relatif menguat daripada komitmen untuk memperkuat konsolidasi demokrasi, dan ini dilakukan secara variatif di daerah-daerah. Aktor dan elite kurang berperan positif dalam mendorong demokratisasi, sebagaimana yang tercermin dalam pilkada,” paparnya.

Dengan pengalaman pilkada dan peran aktornya seperti itu, bagaimana kira-kira peran mereka era pandemi Covid-19 sekarang ini. “Bila para aktor masih memandang pilkada sebagai arena struggle for power dan di dalam mindset-nya pokoke menang, maka tak akan ada perubahan yang signifikan dari perilaku mereka. Oleh kerena itu, pilkada dianggap sabagi business as usual, meskipun dilaksanakan di tengah Covid-19. Mengapa? Karena musibah Covid-19 tidak dijadikan sebagai leverage faktor untuk memperbaiki kualitas pilkada,” jelasnya

Rifqi Alimubarok, M.Si. menegaskan agenda dan problematika demokrasi elektoral lokal di Jawa Barat meliputi sosialisasi dan partisipasi politik; akurasi, cakupan dan kemuktakhiran daftar pemilih; calon yang berkualitas; integritas dan transfaransi pemungutan dan penghitungan suara; dan integritas, independensi, dan profesionalitas penyelenggara pilkada.

Kesuksesan demokrasi elektoral lokal di Jawa Barat, yaitu: Terlaksananya sosialisasi dan partisipasi politik; terlaksannya akurasi, cakupan dan kemuktahiran daftar pemilih; terciptanya calon yang berkualitas; terlaksananya integritas dan transfaransi pemungutan dan penghitungan suara; dan terjaganya integritas, independensi, dan profesionalitas penyelenggara pilkada.

Kesuksesan demokrasi elektoral lokal di Jawa Barat dengan Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB), yaitu: Peningkatan angka partisipasi masyarakat dalam pemilihan; Terlaksananya tahapan pemilihan sesuai rencana dengan protokol kesehatan.

Untuk itu, strategi pelaksanaan pemilihan dengan AKB, melalui: Pertama, Pemantauan dan perbaharui perkembangan informasi tentang Covid-19 di wilayahnya. Status PSBB dan kondisi mutakhir masing-masing daerah. Penyebaran Covid 19 Di Masing Masing Daerah; Kedua, Pemetaan TPS dengan protokol Covid 19 di masing-masing daerah; Ketiga, Berkoordinasi dengan Gugus Tugas Covid-19 di masing-masing kabupaten/kota terkait dengan rekomendasi pelaksanaan tahapan yang dilaksanakan dan penyediaan alat pelindung diri dalam melaksanakan tahapan;

Keempat, Sosialisasi dan edukasi mengenai Covid-19 dihubungkan dengan tahapan pemilihan bagi penyelenggara, peserta, pemilih secara intensif sehingga penyelenggara, peserta, pemilih mendapatkan pengetahuan untuk secara mandiri melakukan tindakan preventif dan promotif guna mencegah penularan penyakit, serta mengurangi kecemasan berlebihan akibat informasi tidak benar; Kelima, Menyusun panduan pemilihan dengan Adaptasi Kebiasaan Baru; Keenam, Simulasi pelaksanaan tahapan pemilihan dengan Adaptasi Kebiasaan Baru, termasuk pemanfaatan teknologi informasi; Ketujuh, Sosialisasi dan pendidikan pemilih daring.

Bagi Erwin Kustiman, M.Si. netralitas media itu adalah utopis. “Karena media lahir dari subjektifitas insan media di dalamnya. Teori ekonomi politik media bisa menjelaskan itu semua, terutama mengenai bagaimana konten diproduksi dan dikonstruksi oleh media,” paparnya..

Menurutnya, yang ditanyakan seharusnya bukan soal netralitas namun independensinya. Ada media yang menyuarakan kaum muslim, ada yang berpijak pada nilai kearifan lokal. Untuk media massa yang berkhidmat pada isu-isu tertentu, seperti humanisme dan sebagainya. “Di sini yang paling penting, bagaimana bisa menjalankan fungsi media massa dengan asas-asas independensi. Tidak ada kekuatan yang seharusnya bisa menekan media massa,” tegasnya.

Era digital faktanya juga memunculkan apa yang disebut paradoks demokrasi serta paradoks media sosial. “Tanpa pengetahuan yang baik, paradoks ini bisa menghambat proses pembangunan demokrasi. Oleh karena itu, pentingnya literasi politik dan media harus disampaikan kepada masyarakat,” ungkapnya.

Ketua Prodi Ilmu Politik Dr. H. Asep A. Sahid Gatara, M.Si. menjelaskan acara Webinarnas ini diikuti oleh 258 orang, yang berasal dari seluruh Indonesia, terdiri dari para akademisi, birokrasi, praktisi, aktivis, dan lain sebagianya.

Pilkada di masa pandemi sejatinya menjadi episode muhasabah politik berskala besar. Terutama perihal pentingnya moral dalam setiap event pemilihan umum. Setelah kurang lebih 4 bulan masyarakat banyak tinggal di rumah (stay at home dan work from home) sebagai salah satu bentuk isolasi mandiri guna memutus mata rantai penularan pandemi Covid-19, semestinya bisa membuka peluang bagi proses evaluasi atau intropeksi diri secara masif.

Dasar moral pilkada di Indonesia adalah Pancasila yang meliputi: moral ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kekonsensusan, dan keadilan sosial. Diperlukan reaktivasi moral pada pilkada melalui, pertama, upaya integrasi kekuasaan dan moral, yang selama ini keduanya mengalami sekulerisasi. Kedua, upaya pendayagunaan kembali para aktor pemangku kepentingan dalam menegakan moralitas pilkada. Di antaranya meliputi pemerintah, penyelenggara pemilu, peserta pemilu (partai politik dan calon kepala daerah), dan organisasi civil society. Ketiga, pembudayaan moral Pancasila bagi masyarakat pilkada.

“Kata kunci aktivasinya adalah keteladanan, kesadarana, ketaatan, dan kedewasaan para pemangku kepentingan pilkada. Moral akan sulit terkativasi dalam pilkada tanpa mengklik terlebih dahulu password tersebut,” paparnya.

Implikasi ataupun ekspektasi dari reaktivasi moral pada pilkada serentak adalah: Terkawalnya pilkada sebagai instrumen demokrasi lokal di satu pihak, dan ara bersamaan terciptanya kualitas pilkada di pihak lain. Dengan itu akan hadir legitimasi (pengakuan, kesadaran dan kepercayaan publik); partisipasi publik yang meningkat; realisasi kebaikan bersama berupa kemakmuran dan keadilan di daerah; degradasi biaya tinggi pilkada sebagai sumber perkara penyimpangan kekuasaan; dan lahirnya legecy kepemiluan.

“Untuk itu, diperlukan formulasi dan operasionalisasi konsep kuasa moral dalam pilkada sebagai inovasi politik melalui pengkajian atau penelitian yang melibatkan kolaborasi segala pihak,” pungkasnya.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter