Presiden Jokowi Jilid 2

Untuk kedua kalinya, tanggal 20 Oktober menjadi angka “keramat” bagi Jokowi. Tanggal 20 Oktober 2014, ia dilantik untuk Presiden RI Jilid 1 dan 20 Oktober 2019, ia dilantik untuk Presiden RI Jilid 2. Kendati pada dua waktu itu, Jokowi didampingi dua orang berbeda: Jilid 1 berdampingan dengan Wakil Presiden Jusuf Kala, pada Jilid 2 didampingi Ma’ruf Amin. Pada Jilid 1, Jokowi jadi Presiden pertama kali, sedangkan Jusuf Kala menjadi Wakil Presiden untuk kedua kalinya; Pada Jilid 2, Jokowi jadi Presiden untuk kedua kali, dan Ma’ruf Amin menjadi Wakil Presiden untuk yang perama kalinya.

Kalau disandingkan dengan enam Presiden Indonesia sebelumnya, Jokowi memiliki karakteristik berbeda, sehingga ketika ia dilantik pada periode pertama (2014-2019) ekspektasi rakyat sangat tinggi. Jokowi memiliki pengalaman berjenjang dalam mengelola pemerintahan, mulai dari Pemerintahan Kota, Pemerintahan Provinsi, dan Pemerintahan Indonesia. Bahkan, pada Periode 2019-2024 ini, Jokowi menjadi kepala pemerintahan Indonesia untuk kedua kalinya. Pengalaman tersebut tidak dimiliki oleh keenam presiden sebelumnya, baik Presiden Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati, maupun Soesilo Bambang Yudhoyono.

Pengalaman Jokowi itulah yang telah melahirkan anggapan ia lebih tahu tentang persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat sampai ke tingkat grassroot. Apalagi kampanye Jokowi pada Jilid 1 berangkat dari “tagline” lahir dari rahim rakyat dengan metode “blusukan” berkunjung langsung ke kantong-kantong rakyat kelas menengah ke bawah. Oleh karena itu, lahirlah anggapan, Jokowi pro wong cilik, sehingga dicintai rakyat, dipilih rakyat, dan rakyat berekspektasi tinggi.

Jokowi pun adalah presiden yang lahir dari hasil Pemilihan Presiden Secara Langsung menyertakan seluruh rakyat dari Sabang sampai Merauke; Tanpa meminjam tangan siapapun, rakyat mencoblosnya dengan tangan sendiri. Hal yang sama terjadi juga untuk Jilid 2, Jokowi terpilih dengan suara terbanyak melalu Pemilihan Presiden Secara Langsung. Realitas itu pun menjadi dasar bagi lahirnya pemahaman bahwa eksistensi dirinya menjadi presiden untuk kedua kalinya tetap karena jasa rakyat.

Kekuasaan yang Berjarak
Terlepas dari banyak kelebihan yang sudah ditorehkan para pemimpin Indonesia sebelumnya, salah satu kelemahan yang acapkali muncul ke permukaan adalah dominasi elit dan lemahnya “penghargaan” terhadap eksistensi grassroot. Bisa saja hal itu bukan visi mereka, tetapi terpola karena lemahnya kemampuan mereka dalam memotret harapan-harapan rakyat, sehingga tidak sedikit program yang berlabel pro-rakyat, malah lebih menguntungkan elit.

Selama ini, yang membuat roda pembangunan di Indonesia berputar lambat, menurut pakar manajemen lintas budaya dari Belanda, Geert Hofdtede (1997), di antaranya karena Indonesia, sebagaimana Malaysia, India, dan Arab Saudi, termasuk ke dalam budaya dengan jarak kekuasaan (power distance) yang tinggi. Budaya ini ditandai dengan pandangan bahwa kekuasaan itu nyata, sehingga kekuasaan itu berjarak: antara atasan-bawahan; (parpol) pemenang-dengan yang kalah; (rakyat) pendukung-bukan pendukung; bahkan antara Presiden-Wakil Presiden.

Lazimnya, budaya berjarak antara penguasa dan rakyat antara elit dan jelata, hidup pada negara-negara monarki karena kekuasaan hanya hak para bangsawan. Secara historis Indonesia seharusnya sudah melewati masa itu, sejak Bung Karno menjadi Presiden RI pertama. Namun, budaya berjarak tetap tumbuh karena banyak pemimpin me-mimesis-kan dirinya penguasa layaknya raja; bukan pelayan yang siap menyejahterakan rakyat. Lahirnya pemilihan langsung telah melonggarkan budaya berjarak karena pemimpin mulai merasakan kebutuhan ril pada suara rakyat. Pilihan rakyatlah yang menentukan mereka dapat menjadi pemimpin bangsa.

Lahirnya Jokowi dari Walikota, Gubernur, sampai Presiden Jilid 1 dan Jilid 2; Ia pun terpilih melalui pemilihan presiden secara langsung dengan gaya kepemimpinannya yang “blusukan” merakyat sangat berpotensi untuk melibas budaya berjarak kekuasaan. Oleh karena itu, sejak dilantik pada Presiden Jilid 1, rakyat memiliki harapan besar bagi lahirnya program-program yang berpihak pada perbaikan nasib rakyat.

Namun pada sisi lain, pada masa Presiden Jokowi Jilid 1, budaya berjarak pun makin tajam, terutama antara pemenang – dengan yang kalah, yakni dengan sempat munculnya “perseteruan” Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Proses lahirnya UU MD3, UU Pilkada, Perpu Pilkada, pemilihan pimpinan DPR, DPD, dan MPR periode 2014-2019, adalah bukti ril berkembangbiaknya budaya berjarak pada masa itu. Bahkan, budaya ini terus menggelinding menajam di tingkat grassroot sampai kembali terjadinya “perang” pemilihan presiden dengan aktor utama yang sama: Jokowi-Prabowo.

Realitas itu melahirkan sentimen pesimistis pada Presiden Jokowi yang sebenarnya berpeluang besar untuk memperbaiki nasib rakyat grassroot. Visi kerakyatannya acapkali berhadapan dengan tembok baja oposisi, bahkan kadang juga dengan Partai Politik koalisi. Padahal dalam pandangan optimistik, keberadaan oposisi anugerah besar karena mereka dapat menjadi penyeimbang. Penerapan prinsip check and balance akan mendorong penyelenggara pemerintahan berjalan lebih terkontrol. Visi ideal oposisi dan koalisi sejatinya sama untuk memperbaiki nasib rakyat karena mereka sama-sama dipilih rakyat. Jika dua visi inilah yang menguat di antara oposisi-koalisi, insya Allah Indonesia akan lebih maju.

Pada Pemerintahan Presiden Jokowi Jilid 2, hal itu sangat mungkin menjelma jika mencermati fenomena sikap kenegarawanan Jokowi-Prabowo yang bervisi membangun rekonsiliasi. Visi rekonsiliasi bukan harus koalisi atau tetap oposisi; Tidak juga terkait dengan bagi-bagi kursi kabinet, tetapi silaturahmi menyamakan persepsi untuk berjalan bergandengan, ketika lupa saling mengingatkan, ketika belok saling meluruskan, ketika salah saling memperbaiki menuju visi mengangkat harkat dan martabat rakyat menuju bangsa yang terhormat.

Presiden-Wakil Presiden dan seluruh wakil rakyat adalah pemimpin bagi bangsa dan negara ini. Pemimpin yang baik adalah yang dapat beradaftasi dengan visi kebaikan membangun bangsa dan negara. Sekat-sekat apapun, apalagi sekat kepentingan politik tidak boleh membatasi visi mereka untuk membangun bangsa dan negara. Oleh karena itu, pakar Komunikasi Budaya Gudykunt dan Kim (Mulyana: 2013) mengkategorikan, pemimpin yang baik adalah manusia multibudaya, yakni orang yang telah memiliki daya adaftasi yang tinggi, sehingga kognisi, afeksi, dan konasinya tidak terbatas pada budaya tertentu atau kepentingan tertentu sembari mengorbankan kepentingan yang lebih besar.

Kendati yang dilantik sebagai Presiden-Wakil Presiden: Jokowi-Ma’ruf Amin yang didukung PDIP, Golkar, Nasdem, PKB, dan PPP, bukan berarti upaya perbaikan pembangunan Indonesia ke depan hanya tertumpu pada mereka. Jokowi-Ma’ruf Amin adalah Presiden-Wakil Presiden Indonesia, sehingga mereka milik seluruh rakyat Indonesia. Dalam memperbaiki Indonesia ke depan tidak harus ada lagi sekat keparpolan, kedaerahan, dan kesukuan. Seluruh rakyat Indonesia harus berperan aktif dalam pembangunan. Jokowi-Ma’ruf Amin pun harus memberikan kesempatan dan peluang yang sama pada semua pihak menuju Indonesia yang lebih baik.

Mari kita dengungkan semangat membangun dengan diawali kalimat basmalah. Semoga Pak Jokowi-Ma’ruf Amin, Bapak-Bapak Wakil Rakyat, dan kita semua rakyat Indonesia, komitmen untuk bekerja demi kemajuan bersama mengangkat harkat dan martabat bangsa di atas kebahagian seluruh lapisan rakyat.

Mahi M. Hikmat dosen UIN Bandung, Fisip Unpas, Fisip Unikom, dan Pengurus ISKI Jawa Barat

Sumber, Pikiran Rakyat 19 Oktober 2019

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter