Politisi, Perlu Jauhi Hedonism?

CARA hidup selalu mengikuti hawa nafsu material atau hedonisme perlu terus diperingatkan kepada masyarakat Indonesia dalam upaya mengatasi perilaku korupsi.

Mantan ketua KPK Busyro Muqoddas dalam mengomentari perilaku masyarakat terutama para politisi, pernah mengatakan bahwa: ”’Mereka lebih menunjukkan sebagai politisi yang pragmatik-hedonis.” Busyro mengatakan hal demikian dalam pidato kebudayaan di Dewan Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, pada hari pahlawan beberapa tahun yang lalu.. Baginya, nafsu politik kekuasaan dan cara hidup mewah adalah berbahaya karena bisa menyebabkan perilaku korupsi terus menjamur di masyarakat.

Nampaknya ucapan pak Busyro ada benarnya. Meskipun demikian, ucapan itu telah menimbulkan kontroversi ketika itu, baik yang setuju maupun tidak setuju. Bagi yang setuju, gaya hidup perlente (mewah) merupakan diantara perilaku yang bisa mendorong seseorang melakukan korupsi. Karenanya perlu dihindari dan dihilangkan. Kelompok yang setuju ini menyebutkan bahwa ada dua bentuk korupsi yaitu korupsi biasa dan korupsi tidak biasa (lazim dan tidak lazim) Masuk kategori korupsi yang biasa adalah menggelapkan uang dan kekayaan negara. Sementara yang masuk korupsi tidak lazim, termasuk di dalamnya adalah menampilkan watak dan tingkah laku bersifat koruptif seperti berlagak dengan kuasa dan kekuasaan, suka dipuji dan bergaya hidup nafsu-nafsi atau hedonisme.

Saya setuju dengan pandangan di atas bahwa cara hidup mewah pegawai tinggi pemerintah memang berbahaya dan bisa mendorong perilaku korupsi. Oleh karena itu, ia mesti dicegah dan dihindari.Kritik terhadap perilaku hidup mewah dan hedonisme yang bisa mengarah kepada korupsi, saya kira mewakili suara hati mayoritas masyarakat Indonesia. Andai pegawai pemerintah dan anggota parlemen mempunyai banyak uang (karena berlatarbelakang pengusaha, misalnya), maka jangan memamerkan gaya hidup mewah di hadapan masyarakat awam. Gaya hidup mewah para politisi bisa menimbulkan jurang perbedaan antara pegawai pemerintah dengan rakyatnya yang semakin lebar. Tentu saja, saya yakin masih banyak politisi dan pegawai tinggi pemerintah yang hidup sederhana dan berhemat.

Namun, bagaikan pribahasa karena nila setitik rusak susu sebelanga, artinya gaya hidup mewah sebagian politisi bisa menyebabkan imej para politisi menjadi jelek di mata masyarakat. Dikhawatirkan stigma negatif politisi semakin melekat. Memang menjadi kaya adalah hak setiap orang dan tidak dilarang oleh agama mana pun. Bahkan, menjadi kaya dapat memberikan kesempatan untuk banyak berbuat baik seperti bersedekah dan berderma. Bukankah ada nasihat bahawa kefakiran (kemiskinan) akan membawa kepada kekufuran? Hanya saja kekayaan hendaklah jangan dipamerkan di depan umum.

Jika pegawai tinggi atau anggota parlemen bergaya hidup mewah, mereka akan menjadi contoh hina di mata rakyat. Oleh karena itu, amalkanlah hidup sederhana. Ditambah lagi bagaimana mungkin mereka memberi nasihat agar rakyat atau orang awam berhemat dan hidup sederhana jika mereka berkelakuan sebaliknya?

Cara hidup hedonisme bisa menyebabkan sikap keakuan atau egoisme yaitu memikirkan kepentingan diri sendiri dan tidak pedulikan orang lain. Lebih berbahaya lagi, hedonisme bisa melahirkan persaingan hidup yang tidak sehat, ingin mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya sehingga sanggup menzalimi orang lain. Jika perilaku hedonisme semakin berkembang di kalangan pegawai tinggi dan anggota parlemen dan politisi, hal ini menyulitkan usaha memberantas korupsi atau rasuah. Lihat saja beberapa kasus penangkapan para pelaku korupsi atau koruptor. Gaya hidup hedonisme telah mendorong mereka melakukan korupsi.

Saya yakin, masih banyak politisi, pejabat dan anggota parlemenyang tetap mau dan hidup sederhana meskipun rayuan dan godaan budaya hedonisme, konsumerisme dan kebendaan (materialisme) ada di depan mereka. Kecaman dan kritik Pak Busyro di atas sekadar mengingatkan sebagian pegawai tinggi supaya kembali hidup sederhana.

Indonesia masih merupakan negara berkembang dengan banyak rakyatnya yang masih hidup miskin. Jika ada kelebihan, akan lebih baik jika kekayaan tadi digunakan untuk menolong keluarga miskin keluar dari jurang kemiskinan. Karenanya, marilah kita jauhi sikap hidup hedonis!

Prof. Ahmad Ali Nurdin, Ph.D., Dekan FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *