(UINSGD.AC.ID) — Lagi beres-beres rak buku.Tak sengaja terlihat buku yang menarik perhatian. Sudah lama beli, tapi belum selesai dibaca. Padahal belinya nun jauh disana, di kota Amherst. Ketika sedang studi mendalami politik Amerika di University of Massachusetts. Tahun 2018 lalu. Judul bukunya Friendship and Politics: Essays in Political Thoughts.
Editornya, John von Heyking dan Richard Avramenko, menyebut bahwa sampai akhir abad pertengahan, persahabatan menjadi inti pemikiran-pemikiran politik. Baru pada era modern, isu persahabatan kehilangan posisi terhormatnya dari kajian filsafat politik. Isu ini tidak lagi menjadi konsen utama para pemikir politik dalam tradisi liberalisme.
Padahal, seperti kata Thomas Jefferson dalam pidato pertamanya jadi presiden Amerika, 4 Maret 1801, persahabatan lebih penting dari kebebasan sekalipun. “Let us restore to social intercourse that harmony and affections without which liberty and even life itself are but dreary things”, demikian Jefferson dalam First Inaugural-nya. Jefferson adalah presiden Amerika ketiga setelah George Washington dan John Adam. Ia disebut-sebut sebagai salah satu pencetus deklarasi kemerdekaan dan pendiri Amerika.
Heyking dan Avramenko mengatakan bahwa kumpulan essay dalam buku ini menunjukkan peran penting persahabatan dalam politik. Pendapat para politisi tentang persahabatan akan menunjukkan pendapat mereka tentang politik. Begitu sebaliknya, apa yang mereka katakan tentang politik, akan menunjukkan bagaimana pandangan mereka tentang persahabatan.
Bagi para pemikir pra-modern seperti Plato, Aristoteles, Cicero, Augustine dan Aquinas, hubungan antara persahabatan dan politik adalah sangat dekat. Sementara bagi para pemikir modern seperti Martin Luther, John Calvin, Thomas Hobbes, John Locke, Tocquiville, Nietsche dan lain-lain, hubungan antara persahabatan personal dan politik adalah lemah, renggang, meskipun tidak bisa dihilangkan. Dua pendapat yang berbeda.
Persahabatan bagi Aristoteles adalah “…reciprocated goodwill and some element of utility, pleasure, and moral and intellectual virtue”. Aristo memandang persahabatan sebagai kebajikan. Sahabat membantu sahabat lainnya untuk memperoleh pengetahuan agar sahabatnya menjadi bijak secara intelektual dan moral.
Visi persahabatan Aristo berpengaruh terhadap bagaimana Aristo melihat politik. Bagi Aristo, tujuan utama politik adalah hidup damai bahagia dalam sebuah pemerintahan politis yang dijalankan dengan adil. Dan keadilan dipraktekkan oleh masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai persahabatan.
Tujuan politik bagi Aristo adalah mulia. Hidup damai, hidup bahagia. Dengan politik, kebahagiaan dan kedamaian masyarakat harusnya tercipta. Begitu juga dengan persahabatan. Persahabatan menjadi inti dari terciptanya kedamaian dan kebahagiaan. Sungguh mulia politik jika dipandang demikian.
Jika sekarang politik justru tidak identik dengan kedamaian dan kebahagiaan masyarakat, maka pertanyaan besarnya what went wrong with politics. Apa yang salah dengan politik?. Tradisi politiknya, budaya politiknya, pelaku politiknya atau apa?. Nampaknya, kaji ulang atas filsafat politik perlu dilakukan.
Jangan-jangan politik sekarang tidak lagi mengingat nilai-nilai persahabatan. Jangan sampai karena mengedepankan politik, mengorbankan persahabatan. Politik harus didasari oleh nilai persahabatan. Persahabatan harus menjadi ruh kita dalam berpolitik.
Ingat persahabatan. Ingat Rumi. Tepatnya Jalaluddin Muhammad Balkhi Rumi. Lebih dari delapan abad, Rumi telah memukau para pembaca dengan latar belakang agama yang berbeda-beda, dengan thema universal. Tentang cinta, tentang persahabatan dan spiritualitas. Tema itu ia sajikan dalam puisi-puisinya yang menakjubkan.
Puisi Rumi berbahasa Persia banyak diterjemahkan oleh Nader Khalili ke dalam Bahasa Inggris. Khalili pernah mengumpulkan 120 puisi Rumi tentang persahabatan yang dibukukan berjudul The Friendship Poems of Rumi. Puisi-puisi Rumi secara sempurna mengekspresikan pentingnya persahabatan yang universal dengan berbagai bentuknya.
Persahabatan dipandang Rumi sebagai hadiah sempurna kehidupan. Rumi dengan indahnya mengekspresikan makna terdalam ‘menjadi’ dan ‘mempunyai’ seorang sahabat dalam kehidupan sebagai berikut:
find yourself a friend; who is willing to; tolerated you with patience; put to the test the essence; of the best incense; by putting it in fire; drink a cup of poison;
if handed to you by a friend; when filled with love and grace; step into the fire;
like the chosen prophet; the secret love will change; hot flames to a garden; covered with blossoms
Selain Rumi, Kahlil Gibran juga bicara tentang persahabatan. Penyair Libanon itu berkata: Sahabat adalah keperluan jiwa; yang mesti dipenuhi. Dialah ladang hati yang kau taburi dengan kasih; Dan kau tuai dengan penuh rasa terima kasih.
Nampaknya dalam berpolitik. Kita perlu belajar dari Aristo, dari Rumi dan dari Gibran. Agar politik kita. Politik yang teduh. Politik yang menyejukkan. Politik yang didasari nilai-nilai persahabatan. Dahulukan persahabatan ketika berpolitik. Berpolitiklah dengan menjunjung tinggi nilai-nilai persahabatan.
Prof. Ahmad Ali Nurdin, Ph.D., Guru Besar, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.