Politik BBM Jokowi-JK dan Masa Depan Pemilu

Belum genap sebulan usia Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kala, sudah memberikan kado terindah bagi kehidupan ekonomi rakyat Indonesia. Tepat pukul 00 Wib pada Selasa, 18 November 2014, harga BBM (Bahan Bakar Minyak) kembali naik dengan kisaran angka yang sangat spektakuler: 30 persenan.

Kendati bukan yang pertama kebijakan kenaikan harga BBM tersebut, tetapi cukup menyadarkan sebagian rakyat Indonesia akan visi Pemerintahan Jokowi-Jk. Sebagian harapan yang sempat tertumpu pada figur pemimpin yang merakyat dan bergaya blusukan ini mulai samar-samar. Rakyat Indonesia memiliki ekspetasi besar pada figur Presiden RI ke-7 karena aspek keluarbiasaannya yang berbeda dari gaya kepemimpinan Presiden-Presiden sebelumnya.

Kendati berjuta alasan ekonomi yang disodorkan Pemerintahan Jokowi-JK atas kebijakan berat menaikkan harga BBM; Ingin mengalihkan subsidi yang konsumtif kepada subsidi yang lebih produktif; Menaikkan harga BBM sembari mengeluarkan sejumlah “kartu kesejahteraan”: Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Namun, apa bedanya dengan kebijakan Pemerintahan Presiden SBY kemarin. Ia pun memiliki kebijakan sama, menaikan harga BBM sembari memberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai).

Oleh karena itu, dari sisi mana kebijakan kenaikan harga BBM dari Pemerintahan Jokowi-JK dapat dianggap lebih kreatif dari pemerintahan sebelumnya. Bahkan, boleh jadi dapat dianggap hanya “mimesis”.

Padahal semua pihak tahu benar bagaimana dampak langsung kenaikan harga BBM bagi kehidupan ekonomi rakyat, terutama rakyat yang ada dalam poisisi lemah. Mereka cenderung makin melemah. Bagaimana pula dampak kebijakan BLT yang sampai hari ini belum memberikan dampak positif yang luar biasa bagi peningkatan ekonomi rakyat. Bahkan, bukan hal yang tidak mungkin melahirkan karakter-karakter manusia yang serba ketergantunan pada Pemerintah.

Sejatinya, kebijakan kenaikan harga BBM ini berangkat dari evaluasi yang matang dan mendalam atas kebijakan yang sama yang pernah digulirkan Pemerintahan SBY, sehingga rakyat diberikan alasan-alasan yang memadai disertai dengan kebijakan pendamping yang lebih kreatif. Pemerintah Jokowi-JK seharusnya menawarkan kebijakan lebih cerdas dengan visi membangun masyarakat yang produktif.

Sejatinya, tunjangan kesejahteraan bagi rakyat adalah hak, sehingga tidak harus diembel-embeli pencabutan dari subsidi lain. Dengan tidak harus menaikkan harga BBM, seharusnya KIS, KIP, dan KKS tetap ada sebagaimana janji kampanye Jokowi-JK ketika “merayu” rakyat untuk memilihnya dalam Pemilu 2014.

Pemilu 2014 adalah Pemilu yang mahal yang harus ditebus dengan berbagai pengorbanan: anggaran, tenaga, bahkan jiwa rakyat. Semua diiklaskan dengan asa mendapat pemimpin yang memihak pada rakyat. Figur itu ditemukan pada diri Jokowi-JK, sehingga sebagian besar rakyat menjatuhkan pilihannya. Namun, akankah pilihan itu menjadi penyesalan yang panjang kalau asa tidak pernah menjelma dan harapan hanya mimpi?

Esok lusa bisa jadi kepercayaan rakyat akan makin terus menurun pada kesakralan Pemilu yang dapat melahirkan pemimpin sesuai harapan rakyat. Sejatinya Pemilu memang bukan hanya hajat seremonial sirkulasi kepemimpinan belaka, tetapi tempatnya rakyat menggantungkan nasib dan masa depannya. Namun, jika hasil Pemilu banyak tidak sesuai dengan harapan rakyat, akankah Pemilu tetap menjadi sandaran atau ke depan malah makin ditinggalkan.  ***

Mahi M. Hikmat, Doktor Komunikasi Politik Unpad, Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Dewan Pakar ICMI Jawa Barat
 
   
        

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter