Abstrak
Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Demikian pula, pluralisme tidak boleh dipahami sekadar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme. Tetapi, pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”. Bahkan, pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam tulisan ini penulis mencoba untuk melihat, bagaimana agama bisa berfungsi pada masyarakat yang pluralistis dan tidak saling berbenturan. Masalahnya, tentu bukan karena agama itu datang built-in dengan konflik dan tampil a-sosial, tetapi karena sering kita lihat bahwa para pemeluknya telah mengekspresikan kebenaran agamanya secara monolitik dan eksklusif, dalam artian bahwa subyektivitas kebenaran yang diyakininya seringkali menafikan kebenaran yang diyakini pihak lain.
Kata Kunci:
Agama, Plural, Eksklusif, Inklusif
A. Pendahuluan
Secara fenomenologis, istilah ‘pluralisme beragama’ (religious pluralism) menunjukkan pada fakta, bahwa sejarah agama-agama menampilkan suatu pluralitas tradisi dan berbagai varian masing-masing tradisi. Secara filosofis, istilah ‘pluralisme beragama’ menunjukkan pada suatu teori partikular tentang hubungan antara berbagai tradisi itu. Teori itu berkaitan dengan hubungan antar berbagai agama besar dunia yang menampakkan berbagai konsepsi, persepsi, dan respon tentang ultim yang satu, realitas ketuhanan yang penuh dengan misteri. Teori hubungan antar agama itu, paling tidak didekati melalui dua bentuk utama, eksklusivisme dan inklusivisme.
Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Demikian pula, pluralisme tidak boleh dipahami sekadar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme. Tetapi, pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”. Bahkan, pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya.
Makna pluralisme seperti itu, terungkap dalam Kitab Suci Alquran (S.2:251) : “Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur; namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam”. Suatu penegasan, bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia.
Pada situsi dewasa ini, diperlukan kesadaran akan sipat dan hakekat “pluralistik” dan “lintas budaya”. Disebut pluralistik, karena tidak ada lagi satu budaya, ideologi, maupun agama yang dapat mengklaim sebagai satu-satunya sistem yang unik dan bahkan terbaik dalam pengertian absolut. Di sebut lintas budaya, karena komunitas manusia tidak lagi hidup dalam sekat-sekat, sehingga setiap persoalan manusia saat ini yang tidak dilihat dalam parameter kemajemukan budaya adalah persoalan yang secara metodologis salah letak.
B. Agama dan Masyarakat Pluralistis
Dalam pembahasan ini adalah untuk melihat, bagaimana agama bisa berfungsi pada masyarakat yang pluralistis dan tidak saling berbenturan. Masalahnya, tentu bukan karena agama itu datang built-in dengan konflik dan tampil a-sosial, tetapi karena sering kita lihat bahwa para pemeluknya telah mengekspresikan kebenaran agamanya secara monolitik dan eksklusif, dalam artian bahwa subyektivitas kebenaran yang diyakininya seringkali menafikan kebenaran yang diyakini pihak lain.
Dengan demikian, pluralisme bisa muncul pada masyarakat dimanapun ia berada. Ia selalu mengikuti perkembangan masyarakat yang semakin cerdas dan tidak ingin dibatasi oleh sekat-sekat sektarianisme. Pluraslime harus dimaknai sebagai konsekuensi logis dari Keadilan Ilahi – bahwa keyakinan seseorang tidak dapat diklaim benar salah tanpa mengetahui dan memahami terlebih dahulu latar belakang pembentukannya, seperti lingkungan sosial budaya, referensi atau informasi yang diterima, tingkat hubungan komunikasi, dan klaim-klaim kebenaran yang dibawa dengan kendaraan ekonomi-politik dan kemudian direkayasa sedemikian rupa demi kepentingan sesaat, tidak akan diterima oleh seluruh komunitas manusia manapun.
Agama tidak hanya dapat didekati melalui ajaran-ajaran atau lembaga-lembaganya, tetapi juga dapat didekati sebagai suatu sistem sosial, suatu realitas sosial di antara realitas sosial yang lain. Talcott Parsons menyatakan bahwa “agama merupakan suatu komitmen terhadap perilaku; agama tidak hanya kepercayaan, tetapi perilaku atau amaliah”. Sebagai realitas sosial, tentu saja ia hidup dan termanifestasikan di dalam masyarakat.
Di sini doktrin agama yang merupakan konsepsi tentang realitas harus berhadapan dengan kenyataan adanya dan, bahkan, keharusan perubahan sosial. Oleh karena itu, kajian agama dalam perspektif sosiologis berusaha untuk melihat fungsi agama dalam masyarakat. Salah satu dari fungsi itu adalah memelihara dan menumbuhkan sikap solidaritas di antara sesama individu atau kelompok. Solidaritas merupakan bagian dari kehidupan sosial keagamaan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat beragama, atau, lebih tepatnya, solidaritas merupakan ekspresi dari tingkah laku manusia beragama. Dalam hal ini, banyak penulis mengikuti kembali pandangan Durkheim yang menyatakan bahwa fungsi sosial agama adalah mendukung dan melestarikan masyarakat yang sudah ada. Agama bersipat fungsional terhadap persatuan dan solidaritas sosial. Oleh karena itu, masyarakat memerlukan agama untuk menopang persatuan dan solidaritasnya.
Untuk melihat bahwa solidaritas sebagai bagian dari kehidupan sosial keagamaan, maka terlebih dahulu dibahas tentang hubungan agama dengan masyarakat. Agama sebagai sebuah sistem kepercayaan tentu memerlukan masyarakat sebagai tempat (locus) memelihara dan mengembangkan agama. Pemahaman, sikap, dan perilaku keagamaan senantiasa berkembang mengikuti pikiran manusia. Sekalipun agama dan kitab suci diyakini berasal dari Tuhan, tetapi penafsirannya dilakukan oleh manusia dan pelaksanaannya berlangsung dalam masyarakat manusia. Jelasnya, bahwa agama dan masyarakat saling pengaruh mempengaruhi. Agama mempengaruhi jalannya masyarakat, dan selanjutnya pertumbuhan masyarakat mempengaruhi pemikiran terhadap agama.
Agama dipandang sebagai sistem yang mengatur makna atau nilai-nilai dalam kehidupan manusia yang digunakan sebagai titik referensi bagi seluruh realitas. Di sini dapat dikatakan bahwa agama berperan mendamaikan kenyataan-kenyataan yang banyak saling bertentangan untuk mencapai suatu keselarasan atau harmoni didalamnya, seperti hidup dan mati, kebebasan dan keharusan, perubahan dan ketetapan, kodrati dan adikodrati, sementara dan abadi.
Kehidupan umat beragama merupakan fenomena kemasyarakatan dengan suatu pandangan dan pola hidup yang mengandalkan kepercayaan akan dimensi transenden atau suatu wahyu khusus. Kehidupan umat beragama adalah sebagai gejala sosial, yang sudah barang tentu tidak akan menilai apakah kepercayaannya benar atau tidak, melainkan mengamati dan menanggapi ungkapan-ungkapan agama yang bersipat duniawi atau kemasyarakatan. Dengan demikian, konteks dan penampilan sosialnya, yakni hidup persekutuannya, ajarannya yang menafsirkan dan mengarahkan kehidupan umat, ibadatnya dan wujud hubungannya dengan masyarakat dan dunia.
Sebagai gejala sosial dengan segala macam institusionalisasinya, hidup umat beragama merupakan kenyataan manusiawi yang mempunyai keterbatasannya juga. Apa yang dialami dalam persekutuan, dalam ajaran, dan kemudian disadari serta dirasakan lebih intensif melalui ibadat, mendorong pemeluk agama secara individual maupun kolektif untuk melaksanakan dalam hidup dan keterlibatan sehari-hari.
Sebaliknya, masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang unsur-unsurnya saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Perubahan salah satu bagian akan mempengaruhi bagian lain, yang akhirnya mempunyai dampak terhadap kondisi sistem secara keseluruhan. Masyarakat dan kebudayaannya merupakan dwi tunggal yang sukar dibedakan, didalamnya tersimpul sejumlah pengetahuan yang terpadu dengan kepercayaan dan nilai, yang menentukan situasi dan kondisi perilaku anggota masyarakat. Dengan kata lain, di dalam kebudayaan tersimpul suatu simpul maknawi (symbolic system of meanings). Dari sudut pandang ini, maka agama merupakan cultural univerasal, artinya agama terdapat di setiap daerah kebudayaaan di mana saja masyarakat dan kebudayaan itu bereksistensi.
Dengan demikian, hubungan antara agama dengan masyarakat bervariasi sesuai dengan keragaman masyarakat itu sendiri; besar kecilnya, diferensiasi internal, pola sistem kultural, tingkat mobilitas, dan sebagainya.
Terdapat faktor-faktor imperatif dalam sistem sosial yang memberikan batas-batas di mana perkembangan dan pengaruh agama dapat terjadi dan berlangsung. Hasilnya, sepanjang sejarah manusia, batas-batas sebuah sistem agama sering identik dengan batas-batas suatu masyarakat atau suku (tribe). Berdasarkan pemikiran ini, Dewey berargumen, bahwa setiap kelompok sosial memiliki “tokoh-tokoh sucinya” yang menjadi pendiri dan pelindungnya. Ritus pengorbanan (rites of sacrifice) dan penyucian, misalnya, merupakan manifestasi dari kehidupan masyarakat yang terorganisasi. Rumah ibadah adalah institusi publik, yang merupakan fokus peribadatan komunitas. Seorang individu menyertai peribadatan bukan hanya mewakili individunya, tetapi merupakan konsekuensi dari kenyataan bahwa ia lahir dan dibesarkan dalam komunitas yang kesatuan sosial, organisasi dan tradisinya disimbolisasikan dan dirayakan dalam ritus-ritus, ibadah-ibadah dan kepercayaan sebuah agama kolektif.
Dalam perspektif ilmu sosial dan sejarah agama, agama memiliki dua segi, yaitu :
Pertama, segi kejiwaan (psychological state), ialah kondisi subjektif atau kondisi dalam jiwa manusia, yaitu apa yang dirasakan oleh penganut agama. Kondisi inilah yang memunculkan kepatuhan dan ketaatan kepada Yang Disembah.
Kedua, segi obyektif (objective state), segi luar dan disebut juga kejadian objektif yang dapat dipelajari apa adanya dari luar. Segi kedua ini meliputi adat istiadat, upacara keagamaan, tempat-tempat peribadatan, maupun prinsip-prinsip yang dianut oleh masyarakat.
Hal serupa, mengutip pandangan W.C. Smith , agama harus dibedakan terhadap apa yang disebut dengan external religion dan internal religion. External religion adalah bagian luar agama, seperti ajaran-ajaran, simbol-simbol, praktek-praktek keagamaan dan lain-lain yang selama ini dipandang sebagai agama. Sedangkan internal religion merupakan “bagian dalam” agama yang tiada lain ada pada diri manusia.
Sikap hidup beragama yang berlangsung di masyarakat, tiada lain merupakan tindakan sosial keagamaan yang diekspresikan oleh para pemeluk agama sebagai bentuk dan perwujudan kepercayaan agama. Joachim Wach menyebutkan adanya 3 bentuk perwujudan agama itu, yakni thought (pemikiran) yaitu berupa sistem kepercayaan; practice (praktek-praktek keagamaan) berupa pengabdian dan upacara keagamaan; dan followships (kelompok-kelompok atau lembaga-lembaga keagamaan).
Sebagai kenyataan sosial dan duniawi, agama mempunyai jalinan erat dengan masyarakat. Setiap agama, mau tidak mau, sadar atau tidak sadar, sangat mempengaruhi masyarakat dalam segala seginya. Sejarah menunjukkan dengan jelas kenyataan itu. Masalahnya ialah sejauhmana pengaruh itu positif atau negatif. Hanya yang perlu diantisipasi adalah kemungkinan pengaruh negatif, seperti misalnya, sikap menentang kebebasan agama, yang sampai sekarang ini menimbulkan banyak konflik atau bahkan kekerasan. Ambivalensi hidup beragama ini dirumuskan (dalam alinea 1) oleh deklarasi Kongres Nasional I Agama-Agama di Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta bulan Oktober 1993 yang lalu sebagai berikut :
“…agama di satu pihak menjadi kekuatan bagi gerakan-gerakan kemanusiaan, keadilan dan perdamaian, namun di pihak lain semangat keagamaan dapat menyebabkan dan melegitimasikan perpecahan bahkan kekerasan”.
Dalam kawasan kehidupan manusia, paling tidak agama berperan dalam tiga hal :
Pertama, adalah kawasan di mana kebutuhan manusiawi dapat dipenuhi dengan kekuatan manusia sendiri.
Kedua, meliputi wilayah di mana manusia merasa aman secara moral, seperti norma sopan santun, norma hukum serta aturan-aturan dalam masyarakat.
Ketiga, merupakan daerah di mana manusia secara total mengalami ketidakmampuannya, atau masuk kepada fase “titik putus” (breaking point).
Sejalan dengan itu, kaum fungsionalis memandang sumbangan agama terhadap masyarakat, karena manusia membutuhkan referensi transendental, sesuatu yang berada di luar dunia empirik. Kebutuhan itu sebagai konsekuensi dari tiga karakteristik eksistensi manusia, yaitu :
1) eksistensi manusia ditandai oleh rasa ketidakpastian dalam menghadapi alam;
2) kemampuan manusia untuk mengendalikan alam sangat terbatas, sehingga timbul konflik antara keinginan dan ketidakberdayaan;
3) manusia makhluk sosial dengan segala alokasi kelangkaan fasilitas, yang menyebabkan perbedaan distribusi barang, nilai dan norma hidup.
Fungsi agama memberikan cakrawala pandang yang lebih luas tentang “dunia lain” yang tidak terjangkau secara empirik. Thomas F. O’dea mengemukakan tentang enam fungsi agama, yaitu:
1) agama menyajikan dukungan moral dan sarana emosional, pelipur di saat manusia menghadapi ketidakpastian dan frustasi;
2) agama menyajikan sarana hubungan transendental melalui amal ibadat, yang menimbulkan rasa damai dan identitas baru yang menyegarkan;
3) agama mengesahkan, memperkuat, memberi legitimasi, dan mensucikan nilai dan norma masyarakat yang telah mapan, dan membantu mengendalikan ketenteraman, ketertiban dan stabilitas masyarakat;
4) agama memberikan standar nilai untuk menguji ulang nilai-nilai dan norma-norma yang telah mapan;
5) agama memberikan rasa identitas diri, tentang siapa dan apa dia;
6) agama memberikan status baru dalam pertumbuhan dan siklus perkembangan individual melalui berbagai krisis rites.
Hubungan yang erat antara agama dengan masyarakat tidak berarti bahwa agama harus menyesuaikan diri dengan segala yang ada dalam masyarakat begitu saja. Malahan sebaliknya, agama diharapkan untuk memberi pengarahan dan bantuan untuk memainkan peranan kritis-kreatif terhadap masyarakat yang dalam banyak hal memang tidak beres. Antara agama dan masyarakat seharusnya terdapat hubungan timbal balik (dialektis). Oleh karena itu, betapa penting bagi setiap agama dan terutama para pemeluknya memiliki pengertian, kepekaan, kesadaran dan pengetahu-an tentang keadaan masyarakat. Inilah yang diperlukan oleh umat beragama, khususnya para pemuka agama dalam kehidupan sosial keagamaannya.
Dalam kehidupan masyarakat, agama mempunyai peranan penting karena ia mengandung beberapa faktor.
Pertama, faktor kreatif, yaitu faktor yang mendorong dan merangsang manusia baik untuk melakukan kerja produktif maupun karya kreatif yang menciptakan.
Kedua, faktor inovatif yaitu faktor yang mendorong, melandasi cita-cita dan amalan perbuatan manusia dalam seluruh aspek kehidupan.
Ketiga, faktor sublimatif yaitu meningkatkan dan mengkuduskan gejala kegiatan manusia bukan hanya dalam hal-hal yang bersipat keagamaan saja, tapi juga yang bersipat keduniaan.
Keempat, faktor integratif, yaitu mempersatukan pandangan dan sikap manusia serta memadukan berbagai kegiatannya, baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam berbagai penghayatan agama guna menghindarkan diri dari ketidakserasian dan perpecahan yang pada gilirannya nanti mampu menghadapi berbagai macam tantangan hidup.
Dengan demikian, umat beragama harus mampu sebanyak mungkin mengaktualisasikan nilai-nilai normatif ke permukaan kehidupan yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
C. Agama dan Pemeliharaan Solidaritas
Salah satu tugas penting dari kajian sosiologis adalah menganalisis fungsi-fungsi sosial dari tingkah laku keagamaan. Solidaritas merupakan bagian dari tingkah laku keagamaan, atau muncul atas dorongan agama. Salah satu teori tentang fungsi agama dalam masyarakat adalah teori tentang “kesadaran kolektif” atau solidaritas sosial. Dalam teori ini dinyatakan bahwa setiap masyarakat tergantung kepada kerjasama anggotanya. Kerjasama menentukan tipe sosialisasi, dan agama banyak berperan dalam proses sosialisasi. Orang yang berada dalam proses sosialisasi memerlukan bantuan. Dengan menyajikan berbagai aturan Tuhan, berarti agama memberikan nilai dan norma sosial yang melahirkan komunitas moral. Anggota-anggota komunitas itu dipersatukan oleh kepercayaan kepada realitas di balik segala yang langsung dapat diamati melalui alat indra.
Pemeliharaan kesatuan sosial, merupakan fungsi agama yang sangat penting. Emile Durkheim begitu terkesan oleh kemampuan agama dalam menyatukan kelompok, sehingga ia membangun teori tentang agama sekitar itu. Ia melihat di balik keanekaragaman ritual, simbol dan kepercayaan agama terdapat karakteristik yang mendasari semua agama dan berkesimpulan bahwa “the idea of society is the soul of religion”. Semua masyarakat merasa perlu adanya pemupukan keakraban sosial secara teratur yang melahirkan perasaan kolektif membentuk kesatuan dalam kepribadian.
Dalam semua kegiatan, Durkheim melihat suatu fungsi mendasar dari agama yaitu menguatkan kelompok sosial, apakah itu berupa klan atau kelompok yang lebih besar lagi. Oleh karena itu, simbul agama mencerminkan masyarakat. Tuhan dan dasar-dasar totemisme tidak berarti apa-apa tanpa klan itu sendiri.
Sehubungan agama berfungsi untuk memelihara solidaritas masyarakat, haruslah beragam dalam bentuknya sebagaimana corak struktur masyarakatnya. Memelihara solidaritas, berarti juga secara efisien harus melaksanakan fungsi integratif, sebab menempatkan perilaku manusia dalam suatu kerangka makna sakral. Hal ini sebagaimana terjadi selama akhir Renaisance, misalnya, warganegara meyakini bahwa raja diperintah dan di atur oleh keadilan Tuhan, Menentang kekuasaan raja berarti menentang kebijaksanaan Tuhan. Agama memberikan legitimasi sakral kepada lembaga-lembaga, ide-ide dan norma-norma.
Agama memberikan rasa keadilan, sehingga orang tidak merasa bahwa mereka jelas-jelas sekuler. Padahal, di dalam kehidupan sekuler kesadaran kolektif biasanya terjadi karena adanya kekuasaan yang memaksa masyarakat supaya mentaati peraturan. Dengan demikian, fungsi agama, melalui kekuatan sakralnya, meyakinkan orang untuk memenuhi kesadaran kolektif, sehingga norma sosial yang mereka taati dianggap datang dari aturan Tuhan.
Di samping itu, ritual dapat memperkuat integrasi sosial dengan meningkatkan komitmen mereka kepada sesuatu yang sakral dan kepada kesadaran kolektif di belakang ritual itu. Ia juga memberikan kesempatan untuk menyatakan kebutuhan masyarakat pada kekuatan kolektif yang diperkuat oleh dasar agama, sehingga setelah mereka melaksanakan ritual akan merasa segar dalam menghadapi kehidupan. Evans Pritchard lebih menegaskan tentang pentingnya ritual dalam menumbuhkan solidaritas, yakni :
Pertama, bahwa ritus itu mengikat anggota-anggota kelompok (klan) menjadi satu;
Kedua, bahwa pelaksanaan ritus secara kolektif dalam saat-saat konsentrasi memperbaharui rasa solidaritas pada mereka.
Ritus-ritus itu membangkitkan kegairahan, dimana semua kesadaran individualitas lenyap dan semua orang merasa dirinya sebagai satu kolektifitas di dalam dan melalui benda-benda suci mereka.
Ada beberapa indikasi bahwa di masyarakat beragama berkembang sikap solidaritas, antara lain :
1. Pemeliharaan dan Pemenuhan Kebutuhan Masyarakat
Masyarakat mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu untuk kelangsungan hidup dan pemeliharaannya sampai batas minimal, sehingga agama berfungsi memenuhi sebagian di antara kebutuhan-kebutuhan itu. Di sini tampak, adanya keterikatan dan kebersamaan para anggota kelompok dalam masyarakat untuk memenuhi kewajibannya itu. Dalam hal ini, persetujuan bersama atau konsensus mengenai wujud kewajiban-kewajiban yang penting ini, minimal diperlukan untuk mempertahankan ketertiban masyarakat. Di sini, setiap anggota individu mengorbankan kepentingan pribadinya demi terpenuhinya kepentingan masyarakat. Dengan demikian, agama menjadi motivator sekaligus inspirator terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat.
2. Pengintegrasian nilai-nilai
Disadari, bahwa dalam waktu cukup lama manusia akan menemui kesulitan untuk bersepakat mengatur tingkah laku mereka yang beraneka ragam kultur, adat istiadat, dan berbagai macam larangan dan perintah yang satu sama lain tidak bertalian. Sekalipun ada upaya mempersatukan mereka dengan menggunakan kekuatan fisik, akan tetapi sejarah menjadi saksi bahwa masyarakat tidak dapat dipertahankan keutuhannya dalam jangka waktu lama hanya dengan menggunakan kekuatan fisik itu.
Salah satu cara untuk mempersatukan itu adalah melalui pengintegrasian nilai-nilai yang ada di masyarakat dalam suatu tatanan atau sistem yang berarti. Dalam hal ini, agama bisa berfungsi mengarahkan atau juga memunculkan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Yang sudah barang tentu, nilai-nilai yang muncul dan diarahkan oleh agama bisa berupa ide-ide abstrak (seperti mahluk atau dewa yang sakral) atau berupa kebiasaan-kebiasaan dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban sosial, seperti menghormati orang tua, membayar utang, atau mengatur tingkah laku seksual. Oleh karena itu, nilai-nilai pada suartu masyarakat tertentu melekat dalam gejala-gejala yang beraneka ragam.
Berdasarkan itu, peran sosial agama adalah “mempersatukan”, atau lebih tepatnya menciptakan ikatan bersama, baik di antara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Dengan demikian, sikap hidup manusia beragama adalah penuh dengan kebersamaan dan memiliki solidaritas yang tinggi. Dalam kerangka ini, Nottingham menegaskan bahwa agama menjamin adanya persetujuan bersama dalam masyarakat serta memiliki kecenderungan melestarikan nilai-nilai. Betty R. Scharf memperkuat pandangan ini dengan mengatakan bahwa “…karena masyarakat memerlukan agama untuk menopang persatuan dan solidaritasnya, maka bagaimanapun juga agama timbul untuk memenuhi kebutuhan itu.”
D. Pluralisme Agama : Antara Esoteris dan Eksoteris
Pendekatan esoteris dan eksoteris digunakan dalam memahami prinsip dasar keyakinan agama. Pendekatan esoteris adalah hakikat, sedangkan eksoteris adalah perwujudan. Kajian ini didasarkan kepada ajaran yang bersipat metafisik, bukan bersipat filosofis. Berdasarkan pendekatan itu, perbedaan dasar bukanlah antara agama yang satu dengan agama yang lain. Dapat dikatakan, garis pemisah itu bukannya membagi perwujudan historis yang besar dari agama-agama secara vertikal. Sebaliknya, garis pemisah tadi bersipat horizontal dan hanya ditarik satu kali membelah berbagai esoterisme, sedangkan dibawahnya terletak faham eksoterisme. Secara esoteris semua agama pada dasarnya atau pada hakeketnya sama, dan secara eksoteris hanya berbeda dalam bentuknya.
Setiap agama memiliki satu bentuk dan satu substansi. Substansi mempunyai hak-hak yang tidak terbatas, sebab ia lahir dari Yang Mutlak sedangkan bentuk adalah relatif, dan karena itu hak-haknya terbatas. Setelah mengetahui ini, orang tiak dapat menutup matanya dari dua fakta :
Pertama, bahwa tidak ada kredibilitas mutlak pada tingkat fenomena semata dan,
Kedua, bahwa penafsiran harfiah dan eksklusif atas pesan-pesan agama diperdayai oleh ketidaktepatan mereka yang relatif sepanjang menyangkut orang-orang beriman dari agama-agama lain.
Pemahaman esoteris dan eksoteris, berdasarkan logika Schuon, adalah melalui penjelasan bahwa wujud penyelamat dari Yang Mutlak adalah Kebenaran atau Kehadiran, tetapi salah satunya tidak berdiri sendiri.Dalam kerangka ini kita bisa melihat bahwa Kristus adalah kebenaran dan Kehadiran bagi orang-orang Kristen, yaitu kehadiran dalam kebenaran itu itu sendiri atau satu-satunya Kehadiran Tuhan yang benar. Nabi, sebaliknya, adalah kehadiran dari kebenaran bagi seorang Muslim, dalam arti bahwa ia sajalah yang menghadirkan Kebenaran murni atau menyeluruh, Kebenaran itu sendiri.
Frithjof Schuon berusaha untuk menganalisis hubungan antar agama-agama. Dasar pemikirannya adalah, bahwa setiap hal memiliki persamaan sekaligus perbedaan dengan hal-hal lainnya. Persamaan, paling tidak dalam adanya hal-hal itu sendiri. Perbedaan, karena kalau tidak, pasti tidak akan ada keragaman yang dapat diperbandingkan. Demikian pula halnya dengan agama-agama. Bila tidak ada persamaan pada agama-agama, kita tidak akan menyebutnya dengan nama yang sama : “agama”. Bila tidak ada perbedaan diantaranya, kita pun tidak akan menyebutnya dengan kata majemuk : “agama-agama”, dan karena itu kata benda tunggal akan lebih cepat untuk itu. Dimanakah akan ditarik garis antara kesatuan dan kemajemukan diantara keduanya ? mengajukan teori tentang “Perbedaan antara hakekat dan perwujudan : esoteris lawan eksoteris”. Kajian ini didasarkan kepada ajaran yang bersipat metafisik, bukan bersipat filosofis. Schuon menarik garis pemisah antara yang eksoteris dan esoteris.
Pendekatan esoteris dan eksoteris itu bisa memperoleh pemahaman tentang “kesatuan” : kesatuan yang absolut, kategoris dan utuh. Secara antropologis, kesatuan ini menutup kemungkinan bagi munculnya perbedaan akhir antara yang manusiawi dan ilahi. Sedangkan secara epistimologis, kesatuan yang sama akan meniadakan kemungkinan bagi munculnya perbedaan akhir antara yang mengetahui dan diketahui Inilah yang memungkinkan kita memahami bahwa versi Schuon tentang perbendaan antara hakekat dan perwujudan agama sangat penting artinya. Menurut pandangannya, kelemahan versi-versi lain mengenai perbedaan ini karena versi-versi tadi terlalu cepat menyatakan adanya kesatuan, padahal sesungguhnya kesatuan tersebut tidak terjangkau karena bercorak eksoteris sebagaimana terlihat pada garis bawah, nampak berbagai agama itu terpecah belah. Namun, perbedaan tingkat ini merupakan hal yang mendasar. Tanpa perbedaan tersebut akan terjadi kebingungan yang tidak dapat dielakkan. Sebagaimana yang dikatakan dalam pengantar buku Attitudes toward other Religions bahwa “kadang-kadang ditekankan bahwa semua agama sama benarnya, tetapi hal ini kelihatannya merupakan suatu pendapat yang lemah, karena agama yang bermacam-macam itu mempunyai pandangan yang sangat berbeda tentang realitas, jika bukan bertentangan satu sama lain”.
Jelaslah, bahwa kesatuan berbagai agama hanya terjadi pada tingkat estoris. Ia bersembunyi dan bersipat rahasia, bukan karena orang mengetahuinya, melainkan karena kebenaran yang merupakan rahasia itu terbenam didalam timbunan unsur manusiawi. Inilah sebabnya mengapa mereka tidak dapat menjelaskan secara meyakinkan kepada orang banyak.
Untuk menjelaskan perbedaan antara pengetahuan metafisik dengan pengetahuan teologis, kita ambil contoh dari dunia indrawi. Pengetahuan metafisik atau esoteris, jka diungkapkan dalam simbol religius adalah kesadaran mengenai hakekat cahaya yang tidak berwarna dan mengenai cirinya sebagai sumber terang sejati. Sebaliknya, suatu kepercayaan religius tertentu akan mengatakan cahaya itu berwarna merah dan bukan hijau, sementara itu kepercayaan religius lainnya akan menyatakan sebaliknya. Kedua pernyataan tadi adalah benar sejauh keduanya membedakan cahaya dari kegelapan, tapi tidak benar kalau cahaya itu mereka anggap sama dengan sesuatu warna saja.
Dalam pengertian lain, pengetahuan metafisik merupakan “sumber asal kebenaran” dan “sumber asal adi kodrati”, sedangkan pengetahuan teologis merupakan “perwujudan” dari yang adi kodrati tadi, dan hanya bisa diphamai dengan bahasa “dogmatis”. Dengan demikian, berbagai agama yang ada merupakan “terjemah” dari kebenaran metafisik atau kebenaran universal dengan bahasa dogmatis. Karena itu, walaupun kebenaran intrisik dari dogma tidak dapat dipahami semua orang, termasuk melalui kemampuan intelek, tapi hanya bisa dipahami lewat iman. Ini merupakan satu-satunya cara yang mungkin bagi sebagian besar manusia untuk berpartisipasi dalam ‘kebenaran ilahi’.
Dari pembahasan diatas nampak jelas, bahwa pada dasarnya, agama-agama yang ada didunia berasal dari satu sumber, satu kebenaran universal, yakni adi kodrati. Hanya sebutan untuk adi kodrati tersebut dapat berbeda sesuai dengan wujud eksoteris dari pengetahuan esoteris (metafisik). Khususnya untuk ungkapan eksoteris, perwujudan berbagai agama menjadi persoalan tersendiri. Bagaimana cara yang paling tepat, agar diantara agama-agama tersebut terjadi keharmonisan, dan tidak menjadi perbedaan yang perlu diperdebatkan.
Tentu saja hal ini melalui batasan-batasan keyakinan tertentu sesuai dengan apa yang dianjurkan dan diajarkan oleh masing-masing agama tersebut. Hal ini disadari, karena pada akhirnya masing-masing agama mengakui dan meyakini “kebenaran dogmatis”nya. Paling tidak, dapat membukakan dialog antar agama, dan hal ini hanya bisa dimulai dengan mengandaikan adanya keterbukaan sebuah agama terhadap agama lainnya. Masalahnya mungkin baru timbul, bila kemudian mulai dipersoalkan secara terperinci apa yang dimaksud dengan keterbukaan, segi-segi mana dari suatu agama yang memungkinkannya terbuka terhadap agama yang lain, pada tingkat mana keterbukaan itu dapat dilaksanakan atau dapat ditolerir, dan juga dalam modus yang mana keterbukaan itu dapat dilaksanakan.
Dengan lain perkataan, perlu dirumuskan juga batas-batas kemungkinan keterbukaan tersebut). Karena itu, yang perlu mendapat perhatian bukanlah bagaimana agama sebagai suatu sistem substansial dengan ajaran, doktrin dan kewajiabn-kewajibannya melihat persamaan dan perbedaannya dengan suatu agama lain, tetapi bagaimana agama menjadi jalan dan sebab seseorang atau sekelompok orang terbuka kepada kelompok orang yang beragama lain.
Hakekat dan perwujudan, atau pun Kebenaran dan Kehadiran adalah jelas saling melengkapui, terlepas dari yang mana yang ditekankan, tetapi secara de fakto dapat meruncingkan pandangan-pandangan yang bertentangan, sebagaimana yang ditunjukkan bukan hanya oleh antagonisme antara agama Kristen dan Islam, melainkan juga – dalam kandungan Islam sendiri – oleh perpecahan antara ajaran Sunni dan Syi’ah. Ajaran Syi’ah dengan caranya sendiri setia kepada nsur kehadiran, sedangkan ajaran Sunni – yang sejalan dengan Islam yang murni – mendukung unsur Kebenaran.
Agama Buddha mengemukakan secara a priori (eksoterik), yaitu dalam kerangka formalnya, sebagai suatu jalan menurut “kekuatan-diri” dan dengan demikian dibangun di atas unsur “Kebenaran” sebagai suatu kekuatan penerang dan pembebas yang imanen. Tetapi, secara a posteriori (esoterik), ia menyiratkan jalan menurut “kekuatan dari yang lain”, yang karenanya didasarkan pada unsur “Kehadiran” sebagai suatu kekuatan transenden dari kerahiman dan keselamatan. Dengan menggunakan pendekatan yang sama, secara eksoterik, unsur Kebenaran dalam agama Kristen merupakan dalil bahwa Kristus adalah Tuhan. Tetapi secara esoteris, Kebenaran Kristus di satu pihak berarti bahwa setiap perwujudan dari Yang mutlak identik dengan Yang Mutlak. Di lain pihak, ia berarti bahwa Perwujudan itu bersipat transenden dan selalu ada. Transenden karena Kristus itulah yang ada di atas kita dan selalu ada, karena Kristus berada dalam diri kita sendiri. Ialah Hati, yang sekaligus berupa Akal dan Kasih. Masuk ke dalam Hati berarti memasuki Kristus, dan, begitu pula sebaliknya, Kristus adalah Hati dari Makro-kosmos, sebagaimana Akal merupakan Kristus dari Mikro-kosmos. “Tuhan menjadi Manusia sehingga manusia dapat menjadi Tuhan”; “Diri menjadi Hati sehingga Hati dapat menjadi Diri”; dan inilah sebabnya mengapa “Kerajaan Surga ada dalam dirimu”.
Dalam jasmani manusia, unsur Kebenaran diwakili oleh pengetahuan dan unsur Kehadiran oleh Kebajikan; pengetahuan berdasar pada akal, dan kebajikan pada kekuatan kehendak. Pengetahuan sepenuhnya dikarenakan adanya usaha tertentu dari kehendak. Dan sebaliknya, terbukti bahwa akal yang diterapkan secara baik dapat melahirkan atau menguatkan kebajikan, karena akal menguraikan secara gamblang kepada kita sipat kehendak dan kebutuhan kita akan kebajikan. Dan juga sama jelasnya bahwa kebajikan pada gilirannya dapat meningkatkan pengetahuan karena ia menentukan hal-hal tertentu dari pengetahuan.
Setiap pelaku agama akan berbeda dalam memahami doktrin-doktrin, simbol-simbol atau ajarannya. Oleh karena itu, untuk memahami “kebenaran” agama tiada lain apa yang dikatakan “benar” oleh penganutnya, sehingga obyek studi agama bukan pada bagian pertama (external religion), tetapi pada “diri manusia” (internal religion).
Max Weber, seringkali mengisyaratkan bahwa dalam mengkaji dan menganalisis agama bukan dalam arti “apakah agama itu”, tetapi untuk menelusuri kondisi-kondisi dan dampak-dampak teodisi budaya yang berbeda-beda. Karena itu, hakekat beragama adalah untuk menjadikan hidup bermakna dan menselaraskan kesenjangan antara harapan-harapan dan pengalaman aktual. Maka, pendekatan internal consistency untuk memahami arti dan makna agama dari para pemeluknya adalah sangat penting.
Berdasarkan itu, sebagai bagian dari akibat semakin intensifnya pergaulan dan proses komunikasi antar bangsa, maka antara satu agama dengan agama lainnya, harus berhubungan secara terbuka, dan bukan sebagai entitas yang tertutup dalam sebuah masyarakat yang terbuka pula. Disadari, bahwa pluralitas agama-agama akan muncul ditempat yang berbeda-beda, dan agama tidak bisa lagi hidup secara terisolasi.
Solarso Sopater memberikan pandangan bahwa pluralisme terjadi bukan hanya sebagai suatu proses eksternal, akan tetapi juga internal. Hal ini disebabkan adanya kontak dimana agama-agama itu hidup, yang juga menentukan corak-corak agama itu sendiri. Sebagai contoh, keberagamaan Kristen di Eropa akan berbeda dengan keberagamaan Kristen di Asia, Afrika atau di Amerika Latin. Demikian pula kerbergamaan Islam di negeri-negeri jazirah Arab akan berbeda dengan Islam yang berkembang di Indonesia ataupun di negara-negara lainnya. Dengan demikian terlihat bahwa proses pluralisasi menimbulkan kesadaran akan kemajemukan ekspresi keagamaan yang ada di tempat-tempat yang berbeda.
Tinggi rendahnya kualitas bergama atau “perwujudan” kebenaran agama terletak pada manusianya, karena hanya manusia yang menganut agama. Taufik Abdullah menekankan bahwa memahami agama tiada lain adalah memahami kebenaran agama dari realitas empiris, yang berarti apa-apa yang diyakini dan diperbuat oleh manusia dalam kesehariannya sebagai manusia beragama.
Sebagai seorang penganut Kristen, tentu saja upaya akademis Smith dalam memahami agama orang lain tidak terlepas dari ke-Kristenannya. Untuk menggambarkan personalisasi agama, maka Smith menggunakan pronominal terms. Untuk kebanyakan lingkungan Kristen, agama Kristen dipandang sebagai ‘personal’ dan non-Kristen dipandang sebagai ‘impersonal’. Oleh karena itu, Smith mengawali pernyataan teologisnya dengan menjelaskan adanya implikasi moral dan implikasi konseptual wahyu Kristen. Pada tingkat wahyu Allah dalam Kristus menghendaki rekonsiliasi dan rasa kebersamaan yang dalam : “kita harus berusaha menghilangkan hambatan-hambatan, menjembatani perbedaan-perbedaan, mengakui semua orang sebagai sesama dan anak-anak Allah Bapa, yang sedang berupaya menemukan Dia”. Pada taraf ini, kita tidak akan menjadi orang Kristen sejati sebelum kita mencapai suatu komuniats yang mengubah seluruh umat manusia menjadi satu “kita” yang mutlak. Jika pernyataan-pernyataan teologis dirumuskan, maka pernyataan-pernyataan itu jangan sampai memungkinkan orang-orang Kristen mengabadikan sikap “kami” (we) dan “mereka” (they), yang menjadi sikap eksklusif masa lampau. Sikap seperti ini, didasari oleh keangkuhan dan bukan kerendahan hati yang diajarkan Kristus dan benar-benar tidak bermoral .
Untuk lebih memahami Personalisasi Agama yang dikaitkan dengan penggunaan “pronominal terms”, penulis akan kemukakan istilah-istilah pronominal yang digunakan Smith. Ada beberapa tahapan studi agama dalam upaya personalisasi yang menggunakan pronominal terms:
1. “It”, bentuk tradisional yan biasa digunakan orang Barat (baca : Kristen) untuk membicarakan agama-agama (non-Kristen). “It” menunjukkan sesuatu yang “impersonal”. Pada tahapan ini agama non-Kristen adalah agama yang impersonal, masih asing, belum bisa dijadikan obyek kajian.
2. “They”; agama yang impersonal menjadi “personal”, sesuatu yang “asing” menjadi “dikenal” dan bisa didekati sebagai obyek kajian. Pada tahapan ini, ada “pengakuan” bahwa agama-agama non-Kristen (“they”) merupakan bagian dari komunitas manusia beragama.
3. “We”; sudah tercapai adanya hubungan yang bersifat dialogis anatar agama Kristen dan non-Kristen. “We” mencakup “they” dan “you”. “They” menunjukkan bahwa para penstudi memandang agama yuang dikajinya sebagai obyek, dan penstudi berkedudukan hanya sebagai partisipan. Sedangkan “you” menunjukkan adanay dialog yang harmonis, tadinya “we’re speaking (to) you”, – kami berbicara (kepada) Anda, menjadi “we’re speaking (with) you”, – kami berbicara (kepada) Anda. Di sini nampak, bahwa yang tadinya “(to) you” sebagai obyek, berubah menjadi “(with) you” sama-sama sebagai subyek.
4. “We all”; merupakan kelanjutan dari tahapan sebelumnya, sebagai tahapan terkahir dalam personalisasi agama dengan menggunakan pronominal terms. Unsur kebersamaan dari berbagai umat beragama yang berlainan, menjadi satu komunitas, satu sama lain saling berbicara dan bertukar pikiran tentang agamanya. “We all” yang dibicarakan tiada lain adalah “with each other about us” –marilah bersama-sama berbicara tentang kita, yakni agama yang sedang kita anut dan tersebar di seluruh pelosok dunia.
E. Eksklusivitas Beragama.
Dengan menggunakan pronominal terms sebagai gambaran tahapan-tahapan orang Barat dalam memahami agama, yang pada mulanya dipandang sebagai ‘impersonal’ menjadi ‘personal’, dan akhirnya tercapai kebersamaan sebagai saru komunitas, maka sikap eksklusif yang selama ini mewarnai sebagian besar orang-orang Kristen (atau Barat) semakin terbuka. Menurut Smith, sikap eksklusif seperti ini secara moral tidak dapat diterima. Apabila orang Kristen bertemu atau mendengar tentang seorang Hindu, Islam atau Budhis yang hidupnya saleh dan bermoral, sehingga kelihatannya dekat sekali dengan Tuhannya dalam pengertian ‘memadai’ sebagaimana pandangan hidup Kristen, maka orang Kristen yang bersangkutan harus bersuka cita dengan penuh semangat, berharap bahwa hal ini benar. Sikap Kristen yang dipersepsikan Smith, jelas adanya “keinginan” hidup bersama secara damai, atau paling tidak adanya pengakuan bahwa “ada kebenaran lain” selain kebenaran agamanya.
Dalam eksklusivitas tercakup pengertian tentang pemikiran yang magis-religius, satu hal yang datangnya “dari dalam” yang hanya bisa dihayati oleh anggota-anggota kelompok tersebut. Hal demikian disebut “kesadaran kolektif”, dan kesadaran kolektif inilah kemudian yang membentuk satu tembok pemisah antara “we group” dan “they group”. Kuatnya orientasi kedalam berarti menekan adanya orientasi keluar seminimal mungkin. Proses integrasi atau adanya kemauan kebersamaan, sering tertumbuk pada “tapal batas” nilai-nilai berbagai kelompok yang selalu memandang nilainya sebagai yang terbaik, satu-satunya yang benar.
Dalam karya klasiknya, “The Meaning and End of Religion”, Smith menjelaskan bahwa penggunaan teologi yang eksklusif mengakibatkan agama orang lain dipandang sebagai penyembahan berhala dan menyamakan Tuhannya dengan dewa. Sebagai contoh , Smith mengutip pernyataan teolog Kristen Emil Brunner, “Allah dari agama lain”, senantiasa merupakan suatu berhala. Contoh-contoh mengenai sikap eksklusif seperti itu adalah contoh dari keangkuhan beragama yang tidak dapat diterima. Kita tidak dapat mengenal satu sama lain kecuali dengan kebersamaan : Atas dasar hormat, kepercayaan, persamaan dan kasih timbal balik. Dalam pengetahuan agama , sebagaimana dalam seluruh pengetahuan agama , sebagaimana dalam pengetahuan manusia , menurut Smith, kita harus beralih dari pandangan mengenai mereka sebagi sesama anggota yang sederajat dari komunitas keagamaan yang meliputi seluruh dunia .
Teosentris, adalah sebutan yang kira-kira tepat terhadap pemikiran-pemikiran Smith tersebut di atas, sekalipun pendiriannya itu sendiri didasarkan kepada Allah yang duwahyukan melalui Kristus. Tiap-tiap komunitas manusia, tiap-tipa agama, sedang berkembang ke arah suatu tujuan akhir pengetahuan dan pengalamannya bersama-sama dengan tujuan akhir semua komunitas dan agamalainnya. Hanya, Smith tidak bisa menjawab persoalan tentang cara menghindari hiangnya keyakinan kebenaran seseorang sementara memperluas misinya mengenai kebenaran, sehingga dapat menampung semua kebenaran lainnya. Tentu saja, pendirian Smith akan menjadi masalah bagi para fundamentalis agama-agama.
DAFTAR PUSTAKA
Betty R. Scharf, the Sociological Study of Religion, terjemahan Machnun Husein : Kajian Sosiologi Agama, Tiara Wacana Yogyakarta, 1995
Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Paramadina, Jakarta, 2001
Burhanuddin Daya (ed), 70 Tahun H.A. Mukti Ali: Agama Dan Masyarakat, IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta, 1993
Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama, Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2000
Djamari, Agama Dalam Perspektif Sosiologi, Alfabeta, Bandung, 1993
E.E. Evans Pritchard, Theories of Primitive Religion, Oxford University Press, New York, 1965
EmileDurkheim, the Elementary Forms of the Religious Life, George Allen & Unwin Ltd, 1976
Harold Coward, Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama, terjemahan, Kanisius, Yogyakarta, 1989
JB. Sudarmanto, Agama dan Ideologi, Kanisius, Yogyakarta, 1987
Joachim Wach, the Comparative Study of Religions, Diedit dan diberi pengantar oleh Joseph M. Kitagawa, Columbia University Press, New York, 1958
Mircea Eliade, (ed), Encyclopedia Of Religion and Ethics, vol.12, hal.331
Mulyanto Sumardi, ed, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, Sinar Harapan, Jakarta, 1982
Ramundo Pannikar, “Dialog Yang Dialogis”, dalam Ahmad Norma Permata (ed), Studi Agama-Agama, Yogyakarta
Thomas F.O’dea, the Sociology of Religion, terjemahan Yasogama : Sosiologi Agama, Rajawali, Jakarta, 1985