Pilpres 2014: Pertaruhan Demokrasi

Jawaban yang paling “menenangkan” ketika semua pihak gamang atas informasi hasil Pilpres 2014 yang simpang siur lewat puluhan quick count, siaran media massa, bahkan klaim syukuran kemenangan dari kedua pasangan calon adalah menunggu hasil real count KPU pada 22 Juli 2014. Jawaban itu seolah ultimate. KPU, para pakar, dan Presiden SBY pun menegaskan hanya hasil KPU yang “paling” benar dan harus diyakini kebenarannya. Ketegangan pun mereda, kendati ibarat bara dalam sekam, menanti KPU menetapkan.

Kini makin disadari bahwa posisi KPU sangat urgen, tidak hanya dalam konteks penyelenggaraan Pemilu, tetapi dalam menentukan nasib negara ini, bahkan nasib “ideologi” demokrasi yang seolah tengah menjadi “Tuhan” kedua di negeri ini. KPU menjadi penentu siapa yang berhak menjadi pemimpin bangsa dengan lebih 250 juta rakyat ini; KPU menjadi penentu apakah demokrasi layak menjadi sarana suksesi kepemimpinan di negeri ini.

Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 mengamanatkan, pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Amanah ini ternyata tidak sederhana karena dibalik diselenggarakan mengandung konsekuensi pemberian kewenangan luar biasa terhadap siapa saja yang duduk di KPU. Karena Pemilu bukan hanya menyangkut mekanisme pemilihan penyelenggara negara, tetapi juga pendelegasian  kedaulatan rakyat untuk melahirkan keputusan-keputusan politik bagi kesejahteraan rakyat.

KPU harus mampu memindahkan kedaulatan rakyat pada orang yang benar-benar mencerminkan kehendak rakyat. KPU tidak hanya memberikan jaminan terselenggaranya prosedur Pemilu yang berlegitimasi yuridis, tetapi juga legitimasi sosiologis. KPU tidak dapat memberikan pembenar Pemilu sudah diselenggarakan sesuai peraturan, tetapi juga harus memberikan jaminan tingkat kepercayaan rakyat, sehingga KPU tidak hanya dihuni para pekerja politik, tetapi figur yang dapat menjadi obat penenang, baik dengan keilmuannya, kharisma, atau hal lain yang menumbuhkan kepercayaan rakyat.

Yang menggelisahkan, Pilpres 2014 diselenggarakan oleh KPU yang memiliki track record menurun. Sejak reformasi, mulai Pemilu 1999, 2004, 2009, hingga 2014, rakyat dihadapkan pada kinerja penyelenggara Pemilu yang terus menurun. Apalagi carut-marutnya Pileg kemarin, mendorong keraguan rakyat atas hasil Pilpres 2014, sehingga menunggu ketetapan KPU seolah menunggu bom waktu.

Kendati peraturan perundangan memfasilitas bagi calon yang tidak puas atas hasil KPU untuk mengajukan sengketa Pemilu ke MK, tetapi kredibilitas MK pun masih dalam pemulihan. Sangat sulit bagi putusan MK untuk mendapatkan tempat yang memadai bagi calon yang dikalahkan. Bayang-bayang MK masa lalu masih akan menjadi bayangan pahit.

Pilpres 2014 akan menjadi puncak akumulasi demokratisasi politik di Indonesia. Proses liberalisasi politik di era transisi, menurut Zukro dkk (2009), tidak hanya membuat proses politik menjadi semakin plural, tetapi juga kompetitif. Hal itu dapat dipetakan dari berbagai arena kontestasi politik. Dalam Pileg, sistem proporsinal terbuka mendorong kompetisi di antara calon makin menajam. Pilpres secara langsung pun menguatkan penajaman kompetisi di antara kandidat. Arena politik makin kompetitif ketika Pilpres 2014 pun berkandidat hanya dua pasangan. Head to head pun terjadi tidak hanya di antara calon dan timsesnya, tetapi juga rakyat pemilihnya.

Terlebih media massa dan kalangan intelektual yang eksis di lembaga survei pun terindikasi ikut serta dalam pertarungan, sehingga perang informasi makin menajamkan tingkat kompetitif, sehingga KPI pun turun tangan menghentikan tayangan quick count dan mengadukan media penyiaran kendati kontraproduktif dengan semangat reformasi; lembaga survei pun dilaporkan ke polisi, padahal hasil survei produk ilmiah yang memiliki jaminan kebebasan mimbar.

Pilpres 2014 adalah pertaruhan eksistensi demokrasi di Indonesia. Kendati rakyat memilih demokrasi dengan itikad baik, tetapi tidak selamanya berkontribusi positif. Demokrasi dipilih menjadi salah satu pilar penyelenggaraan Negara karena sepuluh pertimbangan: mencegah tumbuhnya otokrat kejam dan licik; menjamin hak asasi warga negara; menjamin kebebasan warga negara lebih luas; membantu orang untuk melindungi kepentingan pokok mereka; memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi warga negara menentukan nasibnya sendiri; memberikan kesempatan sebesar-besarnya menjalankan taggungjawab moral, termasuk akuntabilitas pemegang kekuasaan terhadap rakyatnya; membantu  perkembangan manusia lebih total; membantu perkembangan kadar persamaan politik yang relatif tinggi; Negara-negara demokrasi perwakilan modern tidak pernah berperang; Negara demokratik  cenderung lebih makmur (Surbakti,2008).

Namun, apakah kebaikan-kebaikan demokrasi tersebut akan dapat direguk oleh rakyat Indonesia? Padahal fakta membuktikan, sepanjang demokrasi dilaksanakan, kesejahteraan sebagian besar rakyat masih mimpi, eskalasi konflik, baik horinzontal di antara pendukung, maupun vertikal antara rakyat dengan pemerintah atau penyelenggara Pemilu.

Proses demokrasi memang kompetitif, sehingga melahirkan ketegangan. Di AS pun ketegangan dalam proses demokrasi selalu terjadi. Setiap Pilpres di AS ketegangan di antara pendukung merupakan bumbu penyedap. Bahkan, Pilpres AS tahun 2000 yang mempertemukan kandidat Presiden George W. Bush dan Al-Gore disebut-sebuat sebagai presidential cliffhanger: Pilpres paling menegangkan, sehingga rakyat AS memiliki pandangan, Pilpres yang tanpa ketegangan cenderung membosankan dan dapat melahirkan apatisme politik atau Golput. Namun, rakyat AS relatif logis dan menekan sentimen kelompok, termasuk dalam menakar calon yang mereka pilih dan ketika menerima hasil pemilihan.

Bagi rakyat Indonesia, Pilpres 2014 ibarat batu ujian, di antara ujian-ujian lainnya yang pernah dilalui. Dijajah: pernah, Pemerintahan otoriter: pernah, Pemilu legislatif 2009 yang ber-DPT “kacau” tidak menghentikan eksistensi wakil rakyat sampai akhir jabatan; Pileg 2014 yang dianggap Pileg “terkacau” pun wakil rakyatnya tinggal dilantik. Namun, kuatkah rakyat Indonesia dengan ujian Pilpres 2014?   

Kita berharap ketegangan di antara pasangan calon, Timses, bahkan rakyat pemilih justru menggairahkan partisipasi politik rakyat, sehingga angka pemilih meningkat; Siapapun yang menjadi pemenang dapat diterima dengan lapang dada sebagaimana jargon yang sering diungkapkan pada kandidat: kemenangan Pilpres adalah kemenangan rakyat Indonesia; bukan kememangan kelompok manapun. []  
 
Mahi M. Hikmat, Peneliti Komunikasi Politik, Dosen Pasca Sarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Dewan Pakar ICMI Jabar.

Sumber, Pikiran Rakyat 21 Juli 2014
 
                
  

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter