Pilkada Oleh Rakyat atau DPRD Masih Setengah Hati

[www.uinsgd] Pasca Pemilihan Presiden 2014 terjadi kegaduhan politik dengan munculnya Rancangan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) No 22/2014 yang ingin mengembalikan lagi Pilkada melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), setelah sepuluh tahun berjalan Pilkada secara langsung oleh rakyat. Namun RUU No 22/2014 ini dihapus dengan Perppu No 1 Tahun 2014 yang masih mempertahankan Pilkada langsung dengan sejumlah perbaikan.

Kegaduhan politik akan mencuat lagi setelah pelantikan Presdien baru Joko Widodo (Jokowi), ditandai dengan pertarungan politik antara Koalisi Merah Putih (KMP) dengan pemain utamanya Partai Gerindra, Golkar, PAN dan PKS dengan kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang di dalamnya tergabung PDI Perjuangan, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Hanura. Karena, Perppu No 1/2014 yang menghapus RUU Pilkada No 22/2014, akan diusulkan oleh Presiden Jokowi menjadi RUU Pilkada Langsung.

Demikian kira-kira kesimpulan dari Kuliah Umum yang digelar Jurusan Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Sunan Gunung Djati Bandung, belum ini. Dua narasumber kuliah umum yakni Dr Asep Abdul Sahid, S.Ag, M.Si dan Dr H Utang Rosidin, SH, MH memberikan pemahaman kepada 100 mahasiswa Siyasah, agar mereka cermat terhadap urusan-urusan politik yang berkembang saat ini.

“Sistem Pilkada apapun, baik langsung oleh rakyat maupun melalui DPRD, sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Kita sebagai akademisi harus mampu memberikan masukan dan pertimbangan kepada para pemangku kebijakan untuk memilih sistem yang tepat, sistem pilkada yang tidak terlalu berisiko besar bagi rakyat banyak,” kata Ketua Jurusan Siyasah Drs H Ending, M.Ag di hadapan mahasiswanya.

Pilkada langsung, kata Ending,  tujuannya ingin mengatasi keterpurukan bangsa, karena pemimpin yang lahir melalui sistem ini  idealnya bisa diterima sebagian besar  rakyat. “Boleh dikatakan sesuatu yang mustahil H Ahmad Heryawan bisa jadi Gubernur Jabar, tanpa dengan Pilkada langsung. Seperti halnya Joko Widodo (Jokowi) yang sukses jadi Presiden RI, itu pun hasil Pilpres langsung,” jelasnya.

Namun risiko Pilkada langsung biayanya sangat besar. Untuk Pilgub Jabar saja bisa menghabiskan dana Rp600 miliar, lebih mahal jika dbandingkan dengan pilkada melalui DPRD yang diprediksi paling menghabiskan Rp6 miliar.  Ekses lain bisa melahirkan raja-raja kecil, dengan ditandai terjadinya tindakan korupsi  yang semakin masif. Belum lagi terjadi berbagai konflik horizonal ketika calon yang didukungnya kalah.

Pilkada melalui perwakilan di DPRD pun bukan tanpa risiko. Ketika para anggota legislatif belum memfungsikan dirinya  sebagai wakil rakyat, loyalitasnya lebih besar kepada partai dan kelompoknya daripada komitmennya kepada rakyat banyak. Mereka lebih memperlihatkan identitas partai daripada identitas bangsa atau masyarakat umum.

Apalagi kepemimpinan partai yang masih authoritarian, kewenangan dari atas menjadi referensi utama dalam setiap pengambilan keputusan di daerah. Kenyataan ini tidak hanya menyimpang dari prinsip demokrasi, tetapi juga tidak memungkinkan tidak adanya inisiatif dari bawah apalagi masyarakat umum yang tidak terikat oleh partai. “Mengenai tindakan suap menyuap, bisa terjadi pada sistem Pilkada langsung maupun tidak langsung,” katanya.

Menurut Dr Asep Abdul Sahid, sistem politik apapun yang dipakai di negeri ini harus mengacu pada kepentingan publik, yang menyangkut lima indikator: (1)  kemartabatan, (2) kesejahteraan, (3) kedaulatan, (4) kebebasan, dan (5) keadilan. “Benarkah pilkada di kita sudah menjunjung tinggi kelima kepentingan tadi?” Tanya Dr Sahid.

Ia mengajak para mahasiswa untuk berfikir objektif dan realistis bahwa rakyat masih ditempatkan pada posisi pasif, hanya diberi kesempatan secara bebas dalam pemilihannya tidak diberi kebebasan dalam penjaringan calonnya. Bahkan pada saat mencoblos di TPS, tangan rakyat masih banyak yang digerakkan oleh uang pemberian si calon pemimpin. “Begitu pun dalam Pilkada melalui DPRD, yang ada hanya kebebasan semu. Kita bebas menyampaikan aspirasi, tetapi tidak pernah merasa memilih sang calon pemimpin,” jelasnya.

Sedangkan Dr H Utang Rosidin memprediksi, pembicaraan sistem Pilkada akan memanas lagi pascapelantikan Presiden Jokowi. Perppu No 1/2014 yang diterbitkan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan diusulkan oleh Presiden Jokowi kepada DPR untuk dijadikan undang-undang. Di sini akan terjadi “pertarungan politik” kembali antara KMP dan KIH.

SBY menerbitkan Perppu No 1 Tahun 2014 untuk menghapus UU No 22/2014 tentang PIlkada melalui DPRD, yang otomatis mengembalikan pemilihan kepala daerah secara langsung. UUD 1945 pasal 22 ayat 1 mendorong Presiden menetapkan Perppu karena menganggap ada kegentingan yang memaksa. Perppu No 1/2014 ini mengakomodasi Pilkada langsung oleh rakyat, namun dengan sejumlah perbaikan.[Nank]

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter