(UINSGD.AC.ID)-Diantara destinasi edukasi yang seringkai diziarahi jemaah haji dan umrah adalah Thaif. Para sejarahwan menyebutnya sebagai locus genius, yakni objek sejarah yang menyimpan nilai-nilai historis yang adiluhung. Akan selalu terkenang dalam ingatan. Bagaimana respon agitatif bahkan konfrontif masyarakat Thaif ketika Rasulullah hijrah ke wilayah itu. Rasul diperlakukan begitu keji dan brutal. Hingga Jibril datang menemui dan menawarkan bantuan.
Bila Baginda Nabi menghendaki, Jibril akan membenturkan kedua gunung yang berada di samping kota Thaif agar semua penduduknya mati terhimpit. Rasul menjawab tawaran itu begitu lembut, “Aku berharap kepada Allah wahai Jibril, bila hari ini mereka tidak menerima Islam. Semoga kelak mereka menjadi orang-orang yang taat beribadah kepada Allah SWT”.
Dalam kondisi luka teramat parah dan tawaran bantuan yang menggiurkan untuk membinasakan lawan. Opsi yang dipilih Rasul bukan balas dendam, melainkan memaafkan seraya membanjiri musuh dengan do’a-do’a kebaikan. Dalam telisik ahli fiqih sirah Nabawi, fakta ini menyuguhkan nilai indah nan adiluhung. Bahwa sejarah Thaif adalah sejarah tentang mewaspadai hasrat balas dendam.
Hasrat itu harus diwaspadai. Sebab, bisa menjebak siapapun untuk mengawetkan luka lama. Hidup akan fokus untuk menyusun rencana dan strategi menyakiti dan melukai. Agresif kepada siapapun yang stereo type dengan mereka yang pernah menyakiti. Bahkan kaum bijak bestari meyakinkan, hasrat balas dendam tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah. Namun justeru kian menumpukan gunungan masalah.
Saat dilukai, Rasulullah mengajarkan untuk meresponnya dengan kelembutan hati. Dalam balutan kelembutan hati, segalanya bukan sekedar menjadi baik, melainkan akan menjadi indah. Dari Aisyah RA, Rasul bersabda, “sungguh bila kelembutan ada dalam sesuatu. Maka ia akan membuatnya menjadi indah. Namun bila kelembutan lepas dari sesuatu. Maka ia akan membuatnya menjadi buruk” (HR. Muslim, no. 2594).
Dibalik kelembutan hati, tersimpan juga energi dahsyat untuk bisa memaafkan siapapun dan apapun yang pernah melukai dan menyakiti. Kelembutan hati akan mengajak siapun bisa berdamai dengan segala kondisi. Karena itu, Allah dalam Qs. Asy-Syura ayat 40 mengisyaratkan. Siapa saja yang memilih memaafkan dan islah (bukan balas dendam), maka Allah menetapkan pahala baginya. Rasulullahpun menegaskan, “Dan tidaklah Allah menambah seorang hamba dengan kemudahan untuk memaafkan melainkan Allah akan memberinya izzah, yakni kemuliaan (HR Muslim no. 6535).
Hal lainnya, sejarah tentang Thaif mengajarkan bahwa ketika hasrat balas dendam berhasil diredam. Maka kebaikan akan didapatkan. Dengan kelembutan hati Rasul dan do’a-do’a baik yang mengalir darinya, semua penduduk Thaif yang memusuhi dan menyakiti berbalik menjadi entitas yang militan mencintai. Mereka mencintai bagida Nabi melebihi kecintaannya kepada siapapun. Hingga Islam tumbuh subur di wilayah tropis itu laksana cendawan dimusim hujan.
Dalam hal ini, Allah menegaskan; “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia (Qs.Fussilat:34). Kembali ke awal, Thaif adalah locus genius yang menyimpan pesan indah nan adiluhung tentang arti penting kelembutan hati dan kemuliaan meredam dan menghapus segaala dendam. Kita pasti bisa.
Aang Ridwan, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Sumber, Pikiran Rakyat 23 November 2021