(UINSGD.AC.ID)-Dalam sebuah kesempatan perjalanan ibadah umrah, seorang jamaah remaja bertanya tentang alasan mengapa ketika ihram jemaah laki-laki harus mengenakan dua helai kain putih. Untuk menjawab pertanyaan itu, izinkan saya membagi perjalanan hidup manusia pada dua ruang. Ruang sejati dan ruang atribusi.
Ruang sejati adalah fase di mana manusia baru dilahirkan. Pada fase ini, manusia tidak menuntut banyak hal. Makan, minum, pakaian dan segalanya ia serahkan sepenuhnya pada siapa saja yang merawatnya. Di ruang kesejatian, jiwa manusia begitu bersih, bebas dan nyaris tanpa beban. Karena itu, ketenraman dan kedamaian bukanlah barang mahal.
Berbeda dengan ruang kesejatian. Di ruang atribusi, kehidupan manusia dihadapkan pada sejumlah tuntutan. Pendidikan, harta, jabatan, status sosial, popularitas, adalah sederet label yang menjadi tuntutan sekaligus pusat kesadaran. Pada pusat kesadaran itu, hidup manusia nyaris kehilangan kebebasan bahkan kerapkali dihadapkan pada sejumlah beban dan persoalan. Karena itu, ketentraman dan kedamaian teramat sulit didapatkan.
Demi atribusi, manusia kerapkali menjadi extravagance, lahirnya hasrat menghadirkan dan menunjukan diri di ruang publik dengan kesan luar biasa dan spektakuler. Untuk hasrat ini tentu saja membutuhkan modal besar. Disimpulkan demikian, sebab dalam hasrat extravagance, nalar manusia tidak berpusat pada kebutuhan tetapi pada keinginan. Padahal keinginan itu ibarat bayang-bayang, semakin kencang dikejar semakin kuat ia berlari.
Ada sejumlah hal berbahaya bila hidup berada pada pusaran extravagance. Diantaranya; Fomo, konsumerisme dan Greede. Fomo, fear of missing out, adalah hidup berada pada bayang-bayang rasa takut tertinggal dalam segala hal. Takut tidak terkonesksi dan tidak bisa adaptasi dengan segala yang trendi. Pada ujungnya, Fomo menjadi anxiety disorder, gangguan kecemasan mengenaskan.
Menyertai hal itu, dalam hasrat extravagance, manusia kerapkali menjadi konsumerisme. Memiliki nafsu untuk mengkonsumsi atau memiliki sesuatu. Padahal konsumerisme merupakan saudara kandung Kapitalime. Ia adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Keduanya merupakan gabungan dari dua perintah. Perintah tertinggi bagi orang kaya adalah ‘Investasilah’. Sementara untuk orang biasa ‘belanjalah’.
Hal bahaya berikutnya adalah greede, tamak. Dalam hasrat itu, manusia kerap kali bernafsu mengumpulkan harta dan kekayaan. Padahal semakin besar hasrat itu dipacu, akan semakin serakah untuk memiliki sesuatu. Pada ujungnya ia semakin merasa kekurangan atas segala sesuatu. Benar petuah kaum bijak bestari, “bumi menyediakan cukup persediaan untuk memenuhi kebutuhan setiap manusia, tetapi tidak untuk keserakahan dan ketamakan. Keserakahan bukanlah cacat pada emas dan permata, tetapi pada keinginan yang membabi buta”.
Kembali pada dua helai kain putih. Hal itu disyariatkan dikenakan ketika ihram, pada esensinya agar setiap jemaah bisa melepaskan diri dari keterikatan dengan segala barang dan benda. Terhindar dari menilai diri dari barang yang dimiliki. Sebab, manusia bukan milik dari barang dan bendanya. Jika ada orang kehilangan jabatan, kemudian depresi. Masalahnya bukan pada jabatan yang hilang. Melainkan mengapa dia mengidentikan dirinya pada jabatannya.
Dua helai kain ihram berwarna putih, mengajak setiap jemaah untuk kembali pada ruang kesejatian. Sebab di ruang itu, kita tidak akan banyak menuntut, kita akan bebas dari segala atribusi yang membelenggu dan membebani. Di ruang kesejatian pula, kita akan bertemu ketentraman dan kedamaian. Semoga.
Dr. Aang Ridwan, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Sumber, Pikiran Rakyat 28 Februari 2023.