Apabila kejujuran kini dianggap langka, jadikanlah ia perhiasan dalam keseharian. Pakaian kehidupan yang harus terus dijaga, diuji, dan dibersihkan karena akan membawa pada kemuliaan bagi yang mengenakannya.

Boleh jadi saat diuji dengan satu juta rupiah tak bergeming, tapi bila sudah ratusan juta, bahkan miliaran, iman pun goyah. Oleh karena itu, peliharalah selalu, latih, dan kuatkan terus karena ujian kehidupan bertingkat sesuai dengan kadar dan kualitasnya. Hari ini boleh jadi kita lupa, segera perbaiki diri untuk tak mengulangnya kembali.

Mesin kebencian dan muslihat boleh jadi sedang mengakar dan mengurat. Berpegang teguhlah dan kuatkan gairah berjihad memenangkan kejujuran. Bukan hanya pribadi, kita pun membutuhkan pemimpin yang jujur dan memanusiakan karena mereka akan menjadi teladan sekaligus memberikan kebijakan yang membawa kebaikan. Sementara, bila pemimpin kita banyak berdusta dan kurang menghormati sesama, kebijakan merugikan akan mudah rakyat rasakan.

Seperti kisah masyhur seorang budak penggembala kambing yang terjagakan kejujurannya sehingga dimerdekakan dan diberikan modal kambing untuk digembalakan. Dalam satu perjalanan, Khalifah Umar Bin Khattab bertemu dengan anak tersebut. Kepada si anak, Sayyidina Umar kemudian meminta agar satu kambing yang sedang digembalakan itu untuk dijual kepadanya. Namun, si anak tak mau menjualnya karena ia merasa bukan pemiliknya, melainkan hanya menerima upah.

“Katakan saja kepada majikanmu, kalau kambing itu dimakan serigala,” bujuk Khalifah Umar. Anak itu menjawabnya, “Di mana Allah? Di mana Allah? Jika tuan menyuruh saya berbohong, di mana Allah? Bukankah Allah Maha Melihat? Apakah Tuan mau menjerumuskan saya ke dalam neraka karena telah berbohong.”

Mendengar jawaban itu, Khalifah Umar menitikkan air mata. Dipeluknya anak itu dan dimintanya untuk mengantarkan ke majikannya, kemudian disepakati harganya dan dimerdekakan. Esensi kisah ini tentu saja kerap terjadi dalam kehidupan dalam bentuknya yang berbeda.

Mereka yang berhasil dengan kejujuran akan meraih ketenteraman dan hasil yang memuaskan. Mereka yang berhasil dengan bekal curang, akan resah, takut, dan tidak percaya diri. Tidak ada keberanian dan kemandirian, yang ada ketundukkan pada berbagai kepentingan yang menyesatkan.

Buah kejujuran itu sangat banyak, di antaranya ketenangan, kebaikan, dan tentu saja kelak akan mendapatkan nikmatnya surga. Diriwayatkan al-Hasan bin Ali RA, dari Nabi SAW, “Tinggalkanlah olehmu apa saja yang kamu ragukan. Dan, beralihlah kepada yang tidak kamu ragukan. Sesungguhnya kejujuran itu ketenangan dan kedustaan itu kebimbangan.” (HR at-Tirmizi).

Kejujuran tidak akan muncul dalam perilaku keseharian jika di dalam jiwanya tak ada iman. Keimanan melahirkan sifat ihsan, merasa dirinya selalu diawasi oleh zat yang memiliki sifat latiifun khabiir. Allah SWT itu Mahalembut dan Maha Mengetahui sampai pada lintasan hati manusia. Hanya dengan memiliki keyakinan seperti itu, terjagalah perilaku, terus berhati-hati sehingga tidak terjerumus dosa.

Sebelum menjadi nabi dan rasul, Muhammad muda dikenal di kalangan penduduk Makkah dengan sifat jujur, al-amiin. Oleh karena itu, sejak kecil, kita sebagai Muslim harus menjadikan kejujuran sebagai perhiasan. Kejujuran merupakan jalan pembuka pada kebaikan. Kebaikan merupakan jalan menuju ke arah pintu surga.

“Sesungguhnya kejujuran itu menunjukkan kepada kebaikan dan kebaikan itu menunjukkan ke surga. Dan sesungguhnya seseorang selalu berbuat jujur sehingga dicatatlah di sisi Allah sebagai seorang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta itu menunjukkan kepada kejahatan dan sesungguhnya kejahatan itu menunjukkan kepada neraka. Dan sesungguhnya seseorang yang selalu berdusta, maka dicatatlah di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR Bukhari Muslim).

Iu Rusliana, dosen Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.

Sumber, Hikmah Republika

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter