Pentingnya Fiqh Zakat

Fiqih (al-fiqh) merupakan bidang ilmu dalam syari’at Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhan-Nya. Imam Abu Hanifah menjelaskan bahwa fiqih sebagai pengetahuan seorang muslim tentang hak dan kewajiban sebagai hamba Allah. Secara etimologi, al-fiqh berarti “paham” (al-fahm) atau “paham yang mendalam” (al-fahm al-amiq). Fiqh dalam arti al-fahmu ini dapat dilihat dalam firman Allah Q.S. An-Nisa’ ayat 78, berbunyi: “Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS.AnNisa :78). Secara terminologi (istilahan, syar’an), al-fiqh menurut para ulama adalah: “Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan manusia yang digali atau diambil dari dalil-dalilnya yang tafshili. Pengertian Fiqh sebagai hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuataan mukallaf, maka keberadaan fiqih menjadi penting dan signifikan terhadap eksistensi kewajiban zakat setiap muslim. Pembahasan fiqih zakat mencakup beberapa dimensi :

Pertama, dimensi ijtihad. Tujuan disyariatkan zakat adalah terwujudnya kemaslahatan untuk keadilan sosial dan kesejahteraan dengan prinsip yang kuat membantu kaum yang lemah (mustadh’afin). Dari segi ke-qath’i-an ayat-ayat zakat memang tidak perlu dilakukan ijtihad. Namun, keberadaan ijtihad diperlukan untuk menerapkan aspek maqashid al-syari’ah dari ayat-ayat zakat.

Ijtihad sebagai metodologi perumusan hukum zakat menempuh tiga tahapan : (1) Tanqih al-Manaat yaitu mengungkapkan atau menseleksi sifat-sifat yang berpengaruh pada hukum (al-Ta’yin wa al-Hadfu fi Sifat al-Hukm). Fungsi mujtahid adalah menentukan dan membuang sifat-sifat yang berpengaruh pada hukum, di mana setiap mukallaf wajib berijtihad pada tingkat tanqih, disebabkan sebagian keberadaan nash-nash zakat masih bersifat universal dan abstrak. Sehingga kewajiban Zakat perlu dicarikan makna operasionalnya agar lebih concrete dan applicable. (2) Takhrij al-Manaat yaitu menggali hukum-hukum Zakat dari sumbernya langsung (al-Qur’an dan Hadits), baik yang bersifat pasti (qath’i) maupun dugaan (dzanni), atau lafadz hukum zakat yang bersifat implisit maupun eksplisit. Tahapan kedua ini disebut pula Ijtihad Qiyasi yakni memindahkan hukum zakat atau menghubungkan furu’ yang tidak ada nash-nya dengan furu’ yang ada nash-nya karena kesamaan illat hukum zakat. Pada tahapan kedua ini, metode qiyas menjadi signifikan dalam proses penetapan hukum zakat. (3)Tahqiq al-Manaat yaitu merumuskan pernyataan-pernyataan yang berupa keputusan-keputusan hukum zakat yang bersifat pasti (qath’i) maupun dugaan (dzanni) atas perkembangan kasus hukum zakat yang sedang dikaji, berikut implementasinya. Pada tahapan ini, setiap produk hukum zakat hasil ijtihad hendaknya dapat diimplementasikan sesuai kemauan nash dan tuntutan realitas dalam kehidupan masyarakat.

Kedua, dimensi Maqashid. Maqashid adalah jamak dari maqshid yang berarti kesengajaan dan tujuan. Sedangkan syar’iah berarti jalan menuju sumber air. Kedua kata ini digabung menjadi satu yaitu maqashid al-syari’ah. Maqashid al-Syari’ah ini merupakan tujuan ditetapkannnya hukum zakat dari sumber pertama dan utama yaitu al-Qur’an. Semua ketentuan hukum zakat dalam al-Qur’an diawali dengan terma amr dan nahy yang berimplikasi pada dua kategori dalam kajian ushul al-fiqh disebut dengan qath’i dan zhan. Ketentuan-ketentuan Allah dalam-ayat-ayat ahkam zakat mempunyai manfaat yang hakiki bagi kehidupan manusia yaitu kemaslahatan hidup. Konsep maslahat ini diakui oleh para ulama dan karenanya para ulama merumuskan sebuah kaidah cukup popular, “Di mana ada kemaslahatan di sana tendapat hukum Allah”.

Rumusan kemaslahatan berasal dari definisi yang dikemukan oleh Imam al-Ghazali (450-505H/1111M): “Dan Tujuan Syariat adalah memelihara kesejahteraan manusia yang mencakup perlindungan keimanan, kehidupan, akal, keturunan, dan harta benda mereka. Apa saja yang menjamin terlindungnya lima perkara ini adalah maslahah dan kelalaian apapun dalam pemeliharaan kelima hal tersebut merupakan mafsadah dan menghilangkan hal-hal yang merugikan itu adalah maslahah”.

Dari definisi di atas jelaslah bahwa yang fundamental dari bangunan fiqih zakat adalah kemaslahatan, kemaslahatan kemanusiaan universal, atau-dalam ungkapan yang lebih operasional-”keadilan sosial”. Tawaran teoritik fiqih zakat menjamin terwujudnya kemaslahatan kemanusiaaan, merupakan obyektivasi yang sah sesuai dengan kebutuhan realistik umat Islam di Indonesia.

Ketiga, Tatbiq Fiqih Zakat. Zakat sebagai ibadah maliyah ijtima’iyah sudah disepakati wajib hukumnya baik berdasarkan nash al-Qur’an maupun nash al-Hadits. Zakat merupakan ibadah maliyah yang harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan dalil qath’i, karena pada asalnya di dalam ibadah bathal sehingga ada dalil yang menunjukkan pada perintah (al-Ashl fî al-Ibâdah al-Buthlân hattâ yaqûma dalîl ala al-Amr) sementara perintah untuk menunaikan zakat bersumber kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Wajib menurut kerangka jumhur ulama adalah sesuatu yang dituntut oleh agama untuk dikerjakan, sehingga berdosalah bagi orang yang meninggalkannya. Hukum wajib didasarkan pada nash al-Qur’an yang secara eksplisit menunjukkan perintah dan perintah di dalam ibadah berarti wajib hukumnya, sesuai dengan kaidah ushul fiqh bahwa “asal dari perintah menunjukkan wajib”. Para fuqaha menjelaskan wajib zakat kepada beberapa kriteria :

(1) Dari segi waktu, hukum Zakat adalah wajib pelaksanaannya termasuk kategori wajib mudayyaq, yaitu wajib di mana waktu pelaksanaannya dan penunaiannya dibatasi oleh waktu seperti zakat fitrah, sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas berkata : “Bahwa Rasulullah sudah mewajibkan zakat fitrah yang fungsinya untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perkataan keji dan kotor yang dilakukannya sewaktu mereka saum dan untuk menjadi makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikan zakat fitrah itu sebelum shalat Idul Fitri, maka ia diterima sebagai zakat dan barang siapa yang menunaikan zakat fitrah sesudah shalat Idul fitri, maka pemberiannya itu diterima sebagai shadaqah biasa”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).

(2) Dari segi tertentu atau tidaknya kewajiban yang dituntut, zakat adalah hukumnya termasuk kategori wajib mu’ayyan yaitu kewajiban yang dituntut hanya satu saja, tidak ada pilihan terhadap kewajiban lainnya. Zakat sebagai pilihan satu-satunya yang harus ditunaikan oleh setiap muslim.

(3) dari segi ukuran dan kriteria, zakat termasuk wajib yang sudah ada ketentuan dari agama tentang ukuran. Agama telah menetapkan jenis-jenis harta benda yang terkena zakat, nishab-nya (jumlah harta benda yang terkena zakat), haul-nya (jatuh tempo mengeluarkan zakat) dan juga kadarnya (berapa persen harta benda yang dizakati), seperti untuk zakat emas nishab-nya. Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bahwa nishab emas adalah 20 Misqal setara dengan 85 gr. dan kadar zakat yang harus dikeluarkan 2,5 %, sebagaimana hadits dari Jarir berkata : Rasulullah bersabda : “Tak ada kewajibanmu sesuatu apapun juga, kecuali hingga kamu mempunyai persediaan emas 20 dinar. Apabila engkau mempunyai emas 20 dinar dan sudah sampai setahun, maka zakatnya ½ dinar, maka cara menghitung zakatnya seperti itu.” (HR. Ibn Hazm). Jadi dari hadits di atas diketahui pula zakat yang dikeluarkan itu sebanyak 2, 5 %.

(4) Dari segi subjek atau siapa yang wajib melakukannya, wajib zakat termasuk wajib ‘aini, yaitu wajib yang ditunjukkan kepada siapa secara individu, sehingga siapa pun yang meninggalkan kewajiban itu berdosa dan akan mendapat hukuman. Hadits menjelaskan bahwa : “Ketika seorang perempuan (bersama anaknya) datang kepada Nabi saw., dan di tangan anaknya ada sepasang gelang emas. Nabi bersabda kepadanya: “Sudahkah engkau berikan zakatnya?”. Orang itu menjawab :”Tidak”. Nabi bersabda kepadanya: “Apakah engkau senang kalau Allah memberimu gelang dari api kelak di hari Kiamat?”. Kemudian perempuan itu melepas gelangnya dan menyerahkannya kepada Nabi saw. Seraya berkata: “Ini hak (untuk) Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Abu daud)

Bagi muslim yang menunaikan zakat dengan benar maka ia akan mendapatkan pahala dan perlindungan dari Allah. Adapun pahala (targib) bagi yang menunaikan zakat dapat dilihat dari penjelasan baik al-Qur’an maupun al-Hadits. (1) Pertolongan dari Allah. Bagi muslim yang menunaikan zakat berarti secara kemanusiaan memperhatikan kondisi sesama muslim, maka Allah akan memberikan pertolongan kepada muslim (muzakki) baik di dunia maupun di akhirat kelak, tersebut dalam hadits bahwa Rasulullah bersabda : “Dan Allah akan menolong seorang hamba yang selalu menolong muslim saudaranya” (HR. Muttafaq alaih). (2) Mencapai kebaikan tertinggi di sisi Allah. Muslim yang taat dan melaksanakan perintah Allah dengan cara membayar Zakat maka ia akan mencapai kebaikan tertinggi, “Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kamu menginfakkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu infakkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (QS. Ali Imran 92). (3) Pencapaian kehormatan di sisi Allah. Muzakki akan mencapai kehormatan baik di dunia maupun di akhirat karena menjalankan fungsi kekhalifahannya dengan baik, sehingga derajatnya ditinggikan, dalam hadits dinyatakan : Bahwa Rasulullah bersabda : “Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah dan sebaik-baiknya pemberian di waktu ia berkecukupan. Dan siapa yang menjaga kehormatannya maka Allah akan menjaganya serta siapa yang memberi kecukupan kepada orang lain, maka Allah Akan mencukupkannya.”. Keempat, pertemuan dengan Allah di Surga. Jaminan Allah kepada muslim yang menunaikan zakat adalah kebahagiaan sejati ketika bertemu dengan Allah dan ditempatkan di Surga yang abadi, Allah SWT berfirman dalam QS. Ar-Rum: 39: “…dan apa yang kalian berikan berupa zakat untuk mencari dan berharap keridhaan Allah, maka yang berbuat demikian itulah orang-orang yang melipatgandakan pahalanya.” Kemudian dijelaskan dalam hadits dari Abu Hurairah, dia berkata: “Bahwa seorang dari bangsa Arab datang menemui Nabi SAW., dan bertanya, “wahai Rasululullah, tunjukkanlah kepada saya berbagai amal yang jika saya memenuhinya saya akan bisa masuk surga”. Kemudian Rasulullah saw. Bersabda : “Beribadahlah engkau kepada Allah dan jangan menyekutukannya sedikit pun. Lakukanlah shalat dan tunaikanlah zakat fardhu, dan puasalah di bulan Ramadhan”. Rasulullah bersabda lagi, “Demi Allah yang diriku berada pada kekuasaan-Nya, saya tidak akan menambah dari ini. Dan barangsiapa yang hendak melihat calon penghuni surga, lihatlah orang-orang yang memenuhi tuntutan amalaiah ini.” (HR. Al-Bukhari).

Sebaliknya, bagi orang-orang yang mengingkari dan mengabaikan kewajiban zakat, maka bagi mereka mendapat peringatan (takhdir) dan siksaan (azab) di akhirat. Untuk penjelasan lebih rinci tentang ancaman bagi yang tidak patuh pada perintah Allah dijelaskan baik oleh nash al-Qur’an maupun al-Hadits sebagai berikut : pertama, posisi yang tidak menguntungkan yaitu derajat kehinaan dan kebinasaan, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah : 195 : “ Dan belanjakanlah harta bendamu di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. Kedua, dipersamakan dengan perilaku Yahudi dan Nasrani. Para pengingkar dan penolak untuk menunaikan zakat sama seperti halnya orang-orang Yahudi dan Nasrani yang memakan harta dengan cara bathil dan menghalangi orang di jalan Allah. Termaktub di dalam QS. Al-Taubah: 34 : “Hai orang-orang yang beriman ! Sungguh banyak di antara pendeta-pendeta dan rahib-rahib yang memakan harta orang dengan jalan bathil dan merintangi orang dari jalan Allah. Dan orang yang menimbun emas dan perak dan tiada menafkahkannya di jalan Allah, berilah mereka peringatan tentang azab yang pedih.” Ketiga, kedudukannya di neraka sebagai ganjarannya. Peringatan ini dijelaskan dalam hadits bahwa Rasululullah bersabda: “Apakah engkau senang kalau Allah memberimu gelang dari api neraka di hari kiamat ?”. Orang yang tidak menunaikan zakat berarti dia telah melakukan kedzaliman dan kezaliman mengantarkannya kepada api neraka yang tidak ada penolong baginya, sesuai dengan QS. Al-Baqarah: 270 : “apa saja yang kamu infakkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-orang yang berbuat zalim tidak ada seorang penolong baginya.

Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa zakat hukumnya wajib dan implikasi wajib adalah pahala dan syurga bagi yang menunaikannya dan siksaan dan neraka bagi yang menolak dan mengingkari perintah Allah SWT. Dengan penjelasan singkat tentang kewajiban zakat ini semoga semakin menyadarkan betapa pentingnya menunaikan zakat baik hubungannya dengan Allah, hubungan dengan dirinya, hartanya maupun hubungannya dengan kemanusiaan. Tentu saja kewajiban zakat ini jika dilaksanakan dengan baik akan membangun tatanan kehidupan yang seimbang, harmonis di dunia dan untuk mencapai kebahagiaan hakiki di akhirat kelak.

Realitas umat Islam menunjukkan masih belum seimbang antara kesadaran berzakat dengan pemahaman yang memadai tentang fiqih zakat. Oleh karena itu, kesadaran pelaksanaan zakat di kalangan Umat Islam masih belum diikuti dengan tingkat pemahaman (al-fiqh) yang memadai tentang ibadah zakat baik dari sisi Syari’ah maupun sisi teknis pelaksanaannya. Lemahnya pemahaman dan wawasan tentang jenis harta yang wajib zakat dan mekanisme pembayaran yang dituntunkan oleh syariah Islam mengakibatkan pelaksanaan ibadah zakat menjadi sangat tergantung pada masing-masing individu. Hal ini dapat mempengaruhi perkembangan institusi zakat, yang seharusnya memegang peranan penting dalam pelaksanaan ibadah zakat secara kolektif, sehingga pelaksanaan ibadah maliyah ini menjadi lebih efektif dan efisien. Atas dasar itu, maka sosialisasi ibadah zakat yang dituntunkan oleh Syariah Islam perlu ditingkatkan.

Pembahasan Fiqih zakat ini diharapkan dapat menjadi pegangan dan rujukan bagi aktivis dan pengurus (Amil) lembaga ZIS juga bagi para muzakki. Eksistensi fiqih zakat ini sangat penting, karena memberikan manfaat seluas-luasnya bagi peningkatan pemahaman tentang dunia zakat dan terutama dalam hal operasional pengamalannya sesuai syari’ah Islam. Wallahu’alam bi ash-shawab.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *