Pendekatan Ilmiah Agama Mengabstraksikan “Yang Tersembunyi”

Abstraksi di dunia akademik atau dunia pendidikan tinggi adalah kerja ilmiah. Pendidikan tinggi menghindar abstraksi yang bukan hasil penelitian ilmiah. Pendidikan tinggi agama bertjuan melakukan abstraksi agama dengan pendekatan ilmiah. Pendidikan tinggi agama menolak abstraksi agama dari bukan pendekan ilmiah.

Sayangnya, pendekatan ilmiah dari agama sendiri terhambat perkembangannya. Agama pada gilirannya banyak diabstraksikan melalui pendekatan ilmiah dari sains. Ini menuntut akademisi pendidikan tinggi agama menggali pendekatan ilmiah dari agama yang telah banyak dikemukakan intelektual muslim di masa klasik. Tak dipungkiri, ada keterputusan benang merah antara cara mengabstrasikan agama di masa klasik dengan cara mengabstrasikan agama di masa sekarang. Hal ini disebabkan akademisi pendidikan tinggi agama era millennium memiliki keterbatasan akses terhadap temuan-temuan pendekatan ilmiah agama di masa klasik. Konsekuensinya, agama secara besar-besaran diabstraksikan dengan meminjam pendekatan ilmiah dari sains. Akibatnya, abstraksi agama bukan saja menjadi pelik dipahami secara ilmiah, melankan juga tidak jarang abstraksi tersebut bertabrakan dengan sains. Dipastikan bahwa pendekatan ilmiah dari agama dan pendekatan ilmiah dari sains memiliki perbedaan yang tegas.

Agama memiliki “yang tersembunyi” ditegaskan dalam iman yang menjadi wujud keterhubungan dengan Tuhan. Ketika abstraksikan secara akademik “yang tersembunyi” tersebut mewujud menjadi nilai. Dengan niai inilah segala yang diabstraksikan oleh agama menjadi penuh makna. Jika realitas ini hampa akan makna, maka dipastikan oleh sebab nir transformasi nilai agama. Dalam hal ini, tantangan pendidikan tinggi agama adalah abstraksi ilmiah agama. Suatu konstruksi yang dibangun di atas “perenungan rahasia tersembunyi”, “penelaran filsafat iluminasi”, “teologi transformatif’, dan “pengetahuan tindak-tanduk etis”. Jadi agam tidak serta merta didekati antropologi, fenomenologi, sosiologi, geneologi, dan analisis budaya kritis. Semua pendekatan ilmiah humanora tersebut tidak terlepas dari saintifikasi. Perbedaan pendekatan ilmiah ini dalam penggunaannya akan menemukan titik-temu yang saling menguatkan, saling mengembangkan, dan akan menawarkan makna yang eksplisit.

Dengan begitu, tugas manusia turun ke bumi bukan naik lagi ke langit dengan bahasa-bahasa abstraksi yang tidak dipahami, tidak dimengerti, dan tidak bisa dimakmurkan di bumi. Manusia beragama akan menuju akhir yang abadi melalui pemakmuran bumi dengan abstraksi ilmiah dari agama yang mensejahterkan semua.

Dr. Wahyudin Darmalaksana, M.Ag, Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *