Perempuan sebagai makhluk tuhan yang hidup di dunia seharusnya memiliki posisi dan kedudukan yang setara dengan laki-laki, namun kondisi tersebut belum sepenuhnya dimiliki oleh perempuan, hal ini terlihat di beberapa negara yang masih membatasi perempuan sebagai makhluk yang dipinggirkan, dilihat dari kesempatan kerja, keamanan, kehidupan dan sebagainya.
Menurut Douglas W. Cassel, hakikat HAM adalah ”.. kebebasan, kesetaraan, otonomi dan keamanan.” (Artidjo, 2004:1) Kempat nilai tersebut diperjuangkan untuk ditegakkan bagi eksistensi manusia termasuk perempuan di dunia ini. Secara Internasional perhatian terhadap HAM perempuan diwakili oleh PBB. Pada tahun 1947 PBB mendirikan Komisi Status Perempuan (Commission on the Status of Women/CSW) yang bertugas untuk melakukan studi, laporan dan rekomendasi berkaitan dengan perempuan. Seiring dengan perkembangan, CSW membuat Divisi untuk Kemajuan Perempuan (Divison for the Advancement of Women/DAW) dan Komite tentang penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). DAW memainkan peranan dalam penyelenggaraan konferensi-konferensi PBB tentang perempuan: tahun 1975 di Meksiko, 1980 di Kopenhagen, 1985 di Nairobi dan tahun 1995 di Beijing, yang membahas secara spesifik nasib perempuan. (Artidjo, 2004:1).
Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC) memberi kewenangan terbatas kepada CSW untuk mengkaji pelanggaran terhadap perempuan. (Mertus, 2003,63)
Dalam ajaran agama lain dan paham pemikiran umum, dalam ajaran Islam juga dijunjung tinggi termasuk dalam aspek jendernya (Rusjdi, 2004). Di tengah anggapan bahwa HAM dan jender mendapat tempat yang tinggi, sebagian teks al-Qur’an mengisyaratkan ”ketidakcocokan” dengan isu tersebut. Praduga tersebut tidak lepas dari praduga diskriminasi dan subordinasi terhadap kaum perempuan; Q.S. an-Nisâ` [4]: 3-4, tentang isyarat dibolehkannya poligami, Q.S. al-Baqarah [2]: 180, tentang hak penerimaan waris bagi perempuan yang lebih rendah dari laki-laki, Q.S. an-Nisâ`[4]: 34, tentang penempatan laki-laki sebagai kepala rumah tangga dll.
Mereka yang termasuk dalam kategori yang memberikan respon dibatasi pada pengertian penafsir al-Qur’an. Dengan pengertian terakhir, memudahkan peneliti melihat dialog penafsir dengan isu HAM perempuan. Karenanya penafsir dan karyanya yang dapat dikelompokkan obyek yang teliti dapat orang seperti Quraish Shihab dengan al-Misbah dan karya dia lainnya yang relevan, maupun Dawam Rahardjo dengan Ensiklopedi al-Qur’an-nya, sepanjang karya mereka mendiskusikan isu HAM perempuan dengan batasan antara 1990an -2006.
Fokus kajian akan diarahkan pada melihat proses manusiawi penafsiran al-Qur’an untuk melihat secara lebih jernih hakikat pesan ilahi yang lebih dekat dengan fitrah kemanusiaan itu sendiri. Oleh karena itu, yang mau dibongkar di sini adalah bangunan argumentasi yang dibangun bagi mereka yang melihat al-Qur’an kompatibel atau tidak kompatibel dengan HAM perempuan.