Pemimpin Pendengar

Puncak pesta politik tahap pertama yang melibatkan 200 ribuan kontestan, jutaan pemilih dan panitia penyelenggaranya telah usai. Proses penghitungan suara dan kursi kini tengah berlangsung. Untuk  DPR-RI, ada 77 dapil dengan 560 kursi yang akan segera ditentukan siapa pemiliknya.  DPD-RI ada 33 dapil dengan 132 kursi. DPRD Provinsi ada 259 dapil, 2.112 kursi. Sementara DPRD Kabupaten/Kota, tersedia 16.895 kursi dengan 2.102 dapil.  Masih akan ada pesta lanjutan 9 Juli 2014 mendatang. Diprediksi akan melibatkan tiga atau empat pasangan calon Presiden-Wakil Presiden.

Tentu saja, persoalannya bukan pada proses berdemokrasi yang menghabiskan dana ratusan triliun rupiah. Tetapi pada hasilnya, seberapa cepat dapat mengakselerasi capaian kesejahteraan rakyat bersama. Demokrasi hanyalah metode dengan meletakkan  kepentingan bersama dalam permusyawaratan, berkedudukan dan berkesempatan yang sama. 

Demokrasi menahbiskan kesadaran bahwa suara rakyat adalah “kehendak Tuhan”. Rakyat memberi mandat.  Sementara para senator, legislator, pemimpin eksekutif beserta seluruh aparat negara dan jajaran birokrasi wajib menjalankan mandat sebagai bentuk kepatuhan kepada amanat rakyat dan “perintah Tuhan”. Karena itu, bagi manusia relijius, demokrasi dimaknai sebagai proses pengabdian semua warga negara baik dalam konteks memberikan mandat maupun melaksanakan amanat. Artinya tidak sekedar berdimensi horizontal tetapi juga vertikal, terkait dengan keimanan kepada Tuhan.

Konsep ideal lanjutannya adalah, karena semua pelakunya memiliki visi relijius, maka seluruh kegiatan berdemokrasi, bernegara dan melaksanakan pembangunan tak pernah lepas dari nilai ketuhanan. Visi profetik (baca: kenabian) diimplementasikan dalam keseharian. Sejahtera adil dan makmur yang dicita-citakan bukan sekedar impian, tapi mendekati kenyataan.

Pada konteks Indonesia, visi itu baru sekedar mantra suci tak bertaji. Kenyataannya, politisi dan partai politiknya masih dikangkangi grup bisnis besar yang sarat kepentingan. Aliansi kelompok (ormas, bisnis, militer dan penguasa) berkaitkelindan satu sama lain demi meraih laba. Lahirlah apa yang disebut Richard Robinson (Guru Besar Emeritus bidang ekonomi-politik Murdoch University, Australia) sebagai kelas penguasa Indonesia.

Sejumlah narasi tetap disusun, seperti imaji “Satrio Piningit”, dengan mengambil model populisme baru karena peran social media yang dominan. Itu lah metode, demokrasi dan politik yang hingga kini masih menjadi permainan. Hasilnya masih belum banyak perbaikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut Indeks pembangunan Indonesia (IPM) tahun 2012 sebesar 73,29%. Angka yang menggambarkan kualitas hidup manusia Indonesia masih jauh dari ideal, karena rata-rata negara maju di kisaran 90 % lebih.    

Menjalankan Mandat
Idealnya hasil dari pemilu adalah lahirnya pemimpin yang menggerakkan kebijakan politik pusat dan daerah yang menyejahterakan. Dengan mandat penuh karena dipilih langsung, Presiden, Kepala Daerah dan para wakil rakyat itu harusnya berjuang sepenuh hati memenuhi amanah yang telah dititipkan.

Namun soal pemimpin yang lupa dengan mandat sudah dimafhumi dan disadari sejak lama. Adalah John M Bryson dalam buku yang berjudul Strategic Planning For Public And Nonprofit Organizations; A Guide to Strengthening and Sustaining Organizational Achievement, menyatakan bahwa mandat (baik yang formal maupun informal) adalah keharusan dan larangan bagi sebuah organisasi. Namun menurut Bryson, banyak  pimpinan dan anggota organisasi yang tidak tahu dan tidak menyadari mandat tersebut bagi diri mereka.

Padahal, pimpinan dan anggota organisasi harus mampu memahami dan melaksanakan mandat. Mandat formal dalam organisasi antara lain: aturan hukum, anggaran dasar, regulasi, perjanjian dan yang sejenisnya.  Sementara mandat informal antara lain ekspektasi stakeholder, pelarangan-pelarangan, desakan dan yang sejenisnya.

Pada konteks organisasi negara, idealnya seluruh legislator dan senator yang terpilih memahami mandat secara utuh.  Dapat dimulai dengan langsung diberikan kursus empat pilar kebangsaan dan seluruh pengetahuan tentang mandat-nya sebagai wakil rakyat. Karena sepertinya, yang paling mendesak diberikan pendidikan kewarganegaraan adalah para politisi, untuk mengingatkan dan memastikan mereka melaksanakan tujuan dasar bernegara, bukan sebagai perusak negara. Dengan begitu, mereka akan tumbuh sebagai pemimpin yang mendengarkan aspirasi rakyatnya.

Menyukseskan Rakyat
Tom Peters dalam bukunya Thriving on Chaos menyatakan bahwa pemimpin yang sukses selalu mendengarkan dengan sungguh-sungguh apa yang disampaikan oleh stakeholder (pemangku kebijakan) dan stafnya yang ada di lini depan (pemimpin pendengar). Artinya, pemimpin itu harus menyadari benar mandat yang menyertai dirinya.

Pemimpin sukses juga mampu mengartikulasikan visi yang memberdayakan. Pemimpin yang kuat mendengarkan sungguh-sungguh apa yang disampaikan anggota tim dan memberikan inspirasi pemimpin di bawahnya untuk turut serta menjadi pendengar. Organisasi yang mendengarkan adalah organisasi yang kemungkinan besar akan mampu menyesuaikan  diri dengan cepat terhadap perubahan di lingkungannya.

Mendengarkan dengan aktif penuh semangat, sabar, detail dan mencatatnya.  Mereka menyadari bahwa mendengarkan dengan aktif sangatlah strategis. Mandat dan aspirasi datang dari publik untuk selanjutnya dianalisis, dijadikan program dan dieksekusi.

Pemimpin harus memiliki nyali untuk mengajukan pertanyaan bodoh. Apa yang tidak diketahuinya perlu untuk ditanyakan, sehingga tidak lahir kebijakan yang keliru. Pemimpin pendengar artinya dia seorang pekerja sesungguhnya. Berhasil mentransformasikan gagasan dirinya dan semua stafnya, melaksanakan mandat dan memahami keinginan seluruh pemangku kepentingan.

Kini, tinggal hitungan hari, kita akan memilih pemimpin nasional. Adalah kesempatan emas untuk memastikan bahwa yang terpilih adalah mereka yang mau mendengar, bukan yang ingin selalu didengarkan, dilayani dan mengeluh dengan sejumlah persoalan besar yang dirasakan berat oleh nya.

Bangsa ini dirundung sejumlah persoalan yang rumit, ibarat lingkaran setan yang tak jelas ujung. Membutuhkan kekuatan pemimpin yang mampu menggerakkan, dipercaya dan mampu merekatkan. Menggerakkan karena kepribadiannya yang ikhlas mengabdi, tidak mudah disuap, “masuk angin”. Dipercaya karena diteladani dari sikap dan perbuatannya. Mampu merekatkan ego sektoral antar instansi yang sangat tinggi. Juga mempersatukan keragaman suku bangsa, agama dan budaya dalam prinsip kebhinekaan.

Dibutuhkan para pemimpin yang bukan hanya terdepan, namun mampu membaca segala kemungkinan yang terjadi. Sosok yang mampu membaca patahan-patahan dan merangkainya menjadi kekuatan. Pendobrak segala kebekuan birokrasi, pengabdi dan memberikan pelayanan dalam menjalankan mandat untuk rakyatnya.

Akal sehat dan kejernihan jiwa kita masih bisa memandu. Mumpung masih ada waktu, pelajari semua rekam jejak kandidat, Memilihlah, teruslah berkarya dan panjatkanlah berdoa, Indonesia menjadi bangsa besar, berdaulat dan bersama-sama sejahtera. []

Iu Rusliana, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Bandung, aktif di Mien R Uno Foundation Jakarta.

Sumber, Pikiran Rakyat 29 April 2014.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *