Pembiayan Produktif Bank Syariáh Berbasis Immaratul Masajid

Perkembangan perbankan syariáh dalam kurun waktu dua dasawarsa lebih, setidaknya telah menundukan kepala para pengmat ekonomi yang sebelumnya tidak memperhitungkan, padahal sampai pertengahan tahun  2012 bank syariáh telah mencapai market share pada angka 4, 23% (data Bank Indonesia) dalam total market share perbankan Indonesia. Namun ada kejanggalan dalam hal pembiayaan dan piutang banksyariáh yang saat ini bersebrangan dengan fungsi bank syari;ah sendiri, tercatat   pembiayaan perbankan syariah secara nasional untuk kegiatan riil produktif mencakup mudharabah dan musyarakah hanyas sebesar Rp30,5 triliun namun dilain pihak bentuk piutang yang digunakan untuk kegiatan konsumtif, yaitu murabahah, Ishtisna Qord dan Rahn mencapai  Rp. 62,186 Triliun atau 2 kali lipat lebih dibanding pembiayaan produktif.

Tentunya hal tersebut menjadi tanda tanya besar, bagi para fans perbankan syariáh seperti penulis. Padahal menurut hemat penulis, salah satu fungsi lembaga keuangan islam ialah menjadi motor penggerak ekonomi akar rumput.  Meskipun penulis pahami, bahwa skema pembiyayan konsumtif memiliki tingkat resiko lebih kecil dibanding dengan pembiayaan produktif.

Maka solusi alternatif Bank Syariáh dalam menekan resiko pada pembiayaan rill produktif adalah menggandeng masjid untuk menjadi mitra usaha dalam mendongkarak sektor ekonomi mikro. Bahkan sudah selayaknya masjid dijadikan Unit usaha yang menjadi pintu pendistribusian pembiayaan rill produktif pada kaum akar rumput.

Di lain pihak, sebetulnya telah banyak pula ekonom syari’ah yang membangun gagasan ekonomi berbasis masjid, namun pada kenyataannya Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) atau Unit yang mengerakan konsep tersebut kadangkala hanya mangandalkan pembiayayan dari Badan Amil Zakat(BAZ) dan atau investor baik itu bersal dari individu atau bahkan pemerintah. Padahal jika saja bank syariáh peka terhadap potensi yang dapat dikembangkan oleh masjid sebagai pusat ekonomi ummat, harusnya bank syariáh yang menjadi menjadi pusat komando dalam mengembalikan masjid menjadi motor ekonomi ummat.

Sehubungan dengan hal tersebut penulis mengingatkan kembali akan konsep Immaratul Masajid (memakmurkan masjid) yang di ukir oleh KH. Solehudin Sanusi pada periode tahun 90-an atas dasar kajian yayasan PTDI pada tahun 1987-1990 , konsep ini sebenarnya menjadi cikal bakal pemikiran bagi para ekonom pada saat itu untuk kembali melirik masjid menjadi tempat pengembangan ekonomi ummat. Dalam konsep immaratul masajid yang menggunakan jargon “ekonomi kejamaahan”–nya,  menempatkan masjid sebagai struktur puncak yang dapat mengembangkan sayap usahanya pada sektor produksi dan juga distribusi.

Yang menarik dari konsep ekonomi kejamaahan pada immaratul masajid tersebut, menempatkan Imam Masjid menjadi mitra oprasi pertama disamping lembaga-lembaga penunjang lainnya. Dari hal tersebut, penulis merasa ada hal yang dapat dikawinkan antara keterbatasan perbankan syariah untuk melakukan controling dan atau pengawasan pada pembiayaan produktif dengan konsep ekonomi kejamaahan pada immaratul masjid.

Sebenarnya Bank Syariah dapat menggunakan kharisma dan pengetahuan imam masjid termasuk DKM terhadap potensi-potensi jamaáh dalam pengembangan usaha mikro baik dari sektor pertanian, perkebunan, perdagangan atau produksi berskala kecil (rumahan). Peran yang dapat dimanfaatkan oleh bank syariáh pada Imam masjid dan atau DKM tersebut bisa juga menjadi simpul analis pembiayaan yang saat ini biasanya diemban oleh analis yang dibelakang meja dan mengandalkan jasa surveyot. Padahal jika dibandingkan, seorang analis pembiayaan di perbankan belum tentu lebih mengenal potensi produktifitas masyarakat dibanding Imam dan DKM di masjid dalam satu kawasan tertentu.

Selain itu, imam dan atau DKM pun mengetahui tingkat ke-amanat-an warga yang akan diberikan pembiayaan, meski hitungannya bukan melulu pada penghasilan rata-rata per-nasabah atau keberlangsungan usaha yang telah berjalan, namun ada faktor yang dapat dijadikan pertimbangan bagi meraka yakni antara lain: kepribadian dan ketekunan warga dalam melakukan peribadatan di masjid setempat. Tentunya sistem analis pembiayan tersebut dapat di mix sebaik mungkin sehingga dapat menjadi ramuan khusus untuk melakukan seleksi calon nasabah yang akan mendapatkan pembiayaan.

Adapun untuk implemtasi Usahanya, sesuai konsep Immaratul Masajid, Usaha-usaha yang dilakukan tidak jauh dan lepas dari jangkauan masjid dan juga dapat bermanfaat bukan hanya bagi si penerima pembiayaan, tapi bermanfaat pula bagi jamaa’ah masjid khususnya dan umunya bagi masyarakat dalam satu daerah tertentu.

Pada tahapan selanjutnya imam dan atau DKM, dapat secara langsung melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap proses pemanfaatan modal yang berasal pembiayaan rill produktif perbankan syari’ah, sehingga secara langsung ataupun tidak langsung, beberapa fungsi dari kepala unit pembiayaan pada kantor Bank syariáh dapat di transformasikan pada Imam dan atau DKM.

Hal ini tentunya perlu kajian teknis lebih baik lagi, termasuk pola sosialisasi dan edukasi terhadap imam dan atau DKM masjid tentang sistem perbankan, namun tentunya bukan tidak mungkin hal yang luar biasa ini dapat terjadi. Sehingga Bank Syariáh tidak ketar-ketir lagi dalam melakukan analisis dan pengawasan pada pembiayaan usaha mikro dan juga sangat besar kemungkinan manajemen reskio dalam pembiayaan pun dapat di tekan seminim mungkin.

Khaerul Umam, S.IP.,M.Ag, Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter