[www.uinsgd.ac.id] Islam merupakan agama rahmatan lil’alamin dan hampir setiap agama tidak ada yang mengajarkan tentang kekerasan, namun mengapa semua kekerasan berasalah dari agama?
Pertanyaan di atas dilontarkan oleh Direktur Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Prof. Irfan Idris, MA. saat memberikan presentasi seminar yang bertajuk ‘Dari Kampus Islam untuk Bangsa; Membedah Gerakan NII dan Radikalisme Islam di Indonesia’ yang diselenggarakan oleh Forum Mahasiswa Pascasarjana di Aula Al-Jami’ah pada Kamis (16/06)
Menurutnya, Kelompok radikal dari buku Ilusi Negara Islam (laporan hasil survey Wahid Institut dan Ma’arif Institut) adalah; “Pertama, Menghaiki orang yang tidak sepaham dengan pemikirannya. Kedua, Mengatsnamakan agama bahkan Tuhan, untuk menghukum kelompok yang memiliki keyakinan berbeda. Ketiga, Gerakan mengubahn negara bangsa menjadi negara agama. Keempat, Menggantikan NKRI menjadi khilafah. Kelima, Klaim memahami kitab suci, karena berhak menjadi wakil Allah untuk menghukum siapa pun. Keenam, Agama diubah menjadi ideologi; menjadi senjata politik untuk menyerang pandangan politik yang berbeda dari mereka”
Penanggunangan maraknya gerakan gadikalisme dan terorisme harus melalu dua jalan; “Pertama, Soft Approach-Deradikalisasi melalui counter radikal ideologi (Dakwah bil hikmah, Pendirian pusat kajian pada perguruan tinggi dan pesantren), rehabilitation program (pelaku, keluarga dan korban) dan reintegrasi (pelaku dan keluarga). Kedua, Hard Appoach-Law Enforcement yang mencakup tindakan tergas terhadap pelaku, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan memutus jaringan teroris”
“Untuk itu, di kampus-kampus diperlukanlah pendirian dan terbentuknya Pusat Kajian Deradikalisme Agama yang ditetapkan pada Kemenag dan Kemendiknas” jelasnya
Untuk di lingkungan Kemenag “Pelajaran agama diperpanjang jamnya dan di Kemendiknas pada pelajaran agama, edukasi, matematika dan bahasa indonesia ditambah materinya” tambahnya
Mengenai model deredikalisai ada tiga; “Pertama, Reedukasi atau reorientasi religius, politik, pendidikan, ekonomi dan media. Kedua, Rehabilitasi pada spiritual, psikologi, pendidikan keterampilan atau kerajinan, sosial atau keluarga, kreativitas seni. Ketiga, Reintegrasi pada program keluarag, masyarakat”
Upaya mematika akar radikalisme atas nama agama dengan cara; Pertama, Pendidikan. Alokasi dana pendidikan 20 persen dari APBN harus benar-benar sampai ke seluruh rakyat. Kedua, Sangat penting untuk mengurangi jumlah penduduk miskin. Ketiga, Keadilan harus ditegakkan. Keempat, Memperkuat langkah preventif dengan mengingkatkan kualitas komunikasi dengan aparat penegak hukum. Kelima, Para aktivis HAm hendaknya tidak menentang membabi buta peran intelejen dan kerja Polri.
“Oleh kerna itu Indonesia tidak boleh kalah dengan terorisme dan jangan biarkan benih-benih radikalisme tumbuh subur” katanya
Bagi Taufik Rohman, menjelaskan dari perspektif hukum terhadap NII/DII “Penistaan atau penodaan agama, modus kejahatan dan organisasi gerakan makar terhadap NKRI” paparnya
Biasanya aliran sesat ini berada dalam “Pengajian tertutup, ajaran sesat, penistaan agama, penafsiran penyimpangan dan fiqh atau radikalisme” katanya
Dalam tindakan kriminalnya bisa berupa “Pertama, Penipuan dengan modus Yayasan Yatim Piatu, penghilangan barang, zakat, infak, sodakoh, kifarat. Kedua, Pengemisan, Ketiga, Pemerasan, Keempat, Pencurian, Kelima, Kekerasan, Keenam, Perampokan, Ketujuh Pembunuhan”
Soal tumbuh benih-benih radikalimse ia menuturkan “Bibit-bibit radikamisme itu bukan dari hasil doktrin. Jadi sudah ada bibit-bibit radikal sejak awal. Karena pas dengan doktrin itu lahirlah perbuatan radilakal dan teror itu” jelasnya
Acep Zamzam Noor yang mencoba mengurai dari pesantren dan gerakan NII, “Maka secara spontan saya pun mendapatkan ide untuk menyampaikan makalah yang berjudal NII: Neng Iis Istiqomah. Meskipun tak ada hubungannya sama sekali dengan nama gadis yang saya cetikan di atas, namun apa yang dilakukan oleh gerakan NII telah banyak sekali memakan korban gadis-gadis muda yang baik naum polos, disamping para pemuda tentunya” katanya
“Konon mereka bisa melupakan orang tuanya begitu saja, bahkan menggap orang tua dan saudara-saudaranya yang tidak sepaham kafir semua. Saya jadi teringat di negeri ini ada puluhan, ratusan dan ribuan Neng Iis lain yang mungkin saja akan menjadi korban gerkan radikal di kemuadain hari” kilahnya,
Di mata Mukhtar Ali yang menghubungkan antara agama dengan negara, ia memberikan saran “Kita perlu mengembangkan hubungan antara agam dengan negara yang telah digagas oleh Mukti Ali dengan prinsif sepakat aats ketidaksepakatan” paparnya
Mencualnya gerakan radikalisme dan terorisme ini tidak bisa dilepaskan dari peranan media masa. Dede Jamaludin Malik mengingatkan kepada kita semua tentang fungsi media. “Fungsinya memberikan pernyataan tegas media untuk mensosialisaikan norma yang telah diterima di masyarakat”
“Ini adanya NII/DII sebab membahayakan masyarakat karena kebenaran itu hanya sesuai dengan konteks dan komunitasnya. Bisa jadi kehadiran NII itu protes terhadap sisitem masyarakat” ujarnya
Perlu dibedakan antara NII dulu dan sekarang, ia diungkapkan oleh Afif Muhammad “DII dulu itu ideologis sekali. Malahan sekarang menjadi pencucian otak dan pengumpulan dana. Sebut saja kesaksian mereka tidak bisa dilepaskan dari akar sejarahnya” katanya
Ihwal sumber dan doktrin yang meruju terhadap al-Quran, “Ada yang keras, lembut. kalau ayat-ayat ini hanya dipahami secara parsial, maka dapat dipastikan kemunculan gerakan radikan ini terus terjadi” tegasnya
“Untuk itu, bagi perguan tinggi diperlukan pengembangkan islam secara komperhensip supaya tidak terjadi pemahaman parsial di masyarakat,” harapanya’
Solusinya
Banyaknya korban atas gerakan NII, Acep memberikan empat solusi; “Pertama, Pemerintah harus serius dalam menegakan hukum serta sungguh-sungguh dalam memberantas korupsi yang menjadi penyakit akut negeri ini. Kedua, Belajar pada metodologi pesantren mungkin ada baiknya dijadikan pertimbangan, khususnya pada pesantren-pesantren tradisional. Ketiga, Ada baiknya juga diajarkan bahwa beragama itu jangan tegang, tetapi harus selalu bergembira. Keempat, Pacaran jangan dilarang karena itu sesuatu yang manusiawi” pungkasnya
Bagi Idris dalam Simposium Nasional bertajuk “Memutus Mata rantai Radikalisme dan Terorisme” yang dilaksanakan pada 27-28 Juni 2010 terdapat 10 Rekomendasi penanganan radikalisme dan terorisme; Pertama, Mendukung BNPT sebagai pusat penanganan yang integratif masalah deradikalisai dan kontraradikalisasi. Kedua, Amandemen UU Tindak Pidana Terorisme No 15/2003 terutama tentang kriminalitas atau perluasan objek hukum dan perbaikan mekanisme hukum acara. Ketiga, Optimalisai metode konseling dengan memanfaatkan teroris yang sudah bertobat dalam upaya deradikalisasi para calon teroris BNPT dan instansi terkait. Keempat, Mengingkatkan koordinasi yang solid antara penegah hukum guna mencegah vonis yang minimal terkait dengan narapidan terorisme. Kelima, Mendukung Kemendiknas menjauhkan lembaga pendidikan dasar, menengah dan tinggi sebagai tempat perseaian radikalisme. Keenam, TNI dan Polri perlu waspada terhadap modus baru teror meski tetap tidak lengah modus konvensional. Ketujuh, Mendukung Polri mengedepankan pendekatan hukum dalam memberantas terorisme. Kedelapan, Meminta peran serta instansi-instansi seperti Kemenag serta Kemenhuham, sehingga mengurangi beban Polri. Kesembilan, Mendorong studi radikalisme dan terorisme interdisiplin yang akademis guna medukung pembuatan kebijakan dan langkah operasional BNPT dan instasi terkait lain. Kesepuluh, Pemerintah, media masa dan tokoh masyarakat menghindari tindakan yang bernada memaklumi dan memanfaatkan radikalisme dan terorisme.
Kemenag mengupaya penanggulangan melalui langkah preventif pada pranata insitusi pendidikan dan lembaga keagamaan serta masyarakat diperlukan; “Pertama, Pemetaan Radikalisme di seluruh Perguruan Tinggi. Kedua, Penguatan organsasi ekstra kampus. Ketiga, Pemasyarakatan ideologi pancasila. Keempat, Menjadikan terorisme dan radikalisme agama sebagai meteri dalam mata kuliah dasar umum, serta memntau dan membimbing aktivitas kampus dan upaya lainya. Kelima, Melakukan upaya penanggulangan di madrasah, pesantren, sekolah umum dan institusi pendidikan lain. Keenam, Preventif di lembaga keagamaan dan masyarakat terutama di tempat ibadah dengan melakukan pemberdayaan rumah ibadah secara multifunfsi, mengembangkan dialog antar tokoh agama, kampanye budaya damai dan hidup rukun, melakukan pengembangan budaya toleransi”*** [dudi, ibn ghifarie]