Pembangunan Yang Mencemaskan

Mengapa kota besar seperti Jakarta, Bekasi dan kota lainnya di beberapa provinsi kini menjadi langganan bencana? Banjir  belum juga surut dan mengepungnya dimana-mana. Padahal di kota besar itu lah, pembangunan terpusatkan. Pembangunan yang idealnya meningkatkan harkat martabat manusia dan menyejahterakan, kini mencemaskan.

Menggunakan pendekatan berdampak, pembangunan dibagi menjadi tiga model. Pertama, model ’ bagi-bagi kue’. Jenis pembangunan seperti  ini yang kini mendominasi. Ada anggaran yang disiapkan, kongkalingkong dengan pengusaha dan ada jatah yang dibagikan. Umumnya terjadi karena balas jasa atas investasi pengusaha kepada calon penguasa ketika membutuhkan biaya kampanye.

Pelaksanaannya digerakkan oleh anggaran pembangunan negara dan daerah. Ibarat kue, uang rakyat itu dianggap milik sendiri untuk dibagi. Di kalangan panitia pengadaan dinas, kementerian atau instansi pemerintah, ada istilah ’bintang’. Istilah ’bintang’ menunjukkan siapa yang memegang mata anggaran dan program tersebut di lingkungan birokrasi. Konon, pemegangnya setingkat anggota DPRD atau DPR, Kepala Dinas, Bupati, Walikota dan Gubernur, direktur, dirjen, bahkan menteri. Tentu itu bertingkat sesuai dengan jumlah anggaran dan programnya. Itu lah salah satu cara oknum birokrasi mengumpulkan pundi-pundi kekayaan dan oknum pengusaha mendulang laba. Korupsi dan kolusi sudah dilakukan semenjak proses perencanaan di panitia anggaran. KPK telah memantau hal ini. Dibuktikan dengan tertangkapnya beberapa anggota DPR dan DPRD terkait dengan kasus korupsi.  

Kedua, pembangunan berbasis proyek. Rencana pembangunan sifatnya top down, dari pemerintah baik pusat maupun daerah. Bau busuk korupsi dan kolusi dengan pengusaha dalam merealisasikannya masih tercium. Program yang dilakukan umumnya merupakan kegiatan menghabiskan anggaran di akhir tahun anggaran.

Ketiga, pembangunan berbasis pemberdayaan dan keswadayaan. Ini lah idealnya pembangunan. Rencana pembangunan, sekecil apapun itu, harus mendorong pemberdayaan dan keswadayaan rakyat. Pembangunan model ini juga banyak digerakkan oleh investasi sektor swasta.

 

Keswadayaan

Keswadayaan merupakan esensi dari pembangunan. Sebagai rantai lanjutan dari proses pembangunan demokrasi, rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan harus sepenuhnya dilibatkan. Bentuk timbalbalik hamba pelaksana amanah kepada tuannya. Begitulah logika sederhana yang seyogyanya disadari semua elit. Rakyat dengan sukarela memberikan suaranya, mengapa tidak dengan tulus melayani? Peran itu lah yang seharusnya disadari oleh aparat birokrasi. Jangan biarkan rakyat apatis dengan rencana pembangunan.  

Ada beberapa ciri pembangunan berbasis pemberdayaan dan keswadayaan. Pertama, programnya dirumuskan bersama dengan masyarakat. Apa yang dibutuhkan, itu lah yang diprogramkan dan dilaksanakan.  Untuk merumuskan bersama, dapat dilakukan dengan survey, menyerap aspirasi (DPR dan DPRD) atau musyawarah langsung. Memang ada dana aspirasi, tapi tetap saja hak istimewa anggota legislatif itu dipergunakan demi kepentingan pribadinya. Program PNPM yang telah dilakukan selama ini adalah contoh yang baik dan dapat diperluas.

Kedua, programnya difokuskan berdasarkan kebutuhan yang mendukung keberdayaan. Misalkan infrastruktur jalan dan jembatan, penyediaan energi listrik dan air bersih. Keberdayaan juga dimaknai sebagai perubahan kemampuan anggota masyarakat dalam meningkatkan kapasitas dirinya. Berbagai keterampilan yang dikembangkan bukan sekedar mampu namun juga menjadi nilai tambah.

Ketiga, dana pembangunan yang digelontorkan tidak membuat manja rakyat, namun sebagai stimulus. Di sinilah perlunya konsep keswadayaan dan keberdayaan sosial masyarakat. Jika warga sudah memahami bahwa dana stimulus itu bukan pemberian cuma-cuma, pasti akan dimanfaatkan maksimal untuk mengembangkan usahanya, tidak akan sebaliknya. Semangat kewirausahaan harus ditanamkan.

Keempat, pembangunan bukan hanya secara fisik material, tapi juga secara mental spiritual. Penguatan bidang ilmu pengetahuan dan semangat keswadayaan rakyat menjadi kekuatan utama dalam pembangunan. Model bottom-up dikembangkan. Rakyat harus didorong untuk bersedia terlibat penuh dalam setiap pembangunan. Ketidakterlibatan dan hilangnya keswadayaan membuat rakyat bertindak lain. Kadang, bentuk aksinya dilakukan dengan melakukan perlawanan dan protes. Keterlibatan artinya ada pembagian kerja, dialog dengan warga  dan keterbukaan informasi. Karena warga bukanlah objek penderita, melainkan pihak yang akan merasakan dampak positif dan negatif pembangunan. Apa yang dilakukan Jokowi ketika akan melakukan suatu program dengan mengundang makan siang, mengajak bicara dan ke lapangan langsung adalah bentuk riil program keswadayaan.

Kelima, dilakukan survey dampak pembangunan secara periodik untuk dilakukan perbaikan. Tentu saja, dampak pembangunan tidak bisa dirasakan langsung. Karena itu, harus dilakukan survey pasca pembangunan secara periodik. Setelah enam bulan, satu tahun, lima tahun dan seterusnya. Tujuannya untuk menemukan berbagai akar masalah dan mencari solusi. Sehingga hasil pembangunan dirasakan benar manfaatnya oleh seluruh warga. Survey tersebut dapat dilakukan oleh perguruan tinggi atau lembaga penelitian yang kredibel. Dari survey pula, aspirasi akan ditangkap.  

Keenam, program pembangunan hendaknya untuk jangka panjang. Bupati, Walikota, Gubernur, Presiden, Menteri, anggota DPR, DPRD dan DPD boleh berganti setiap lima tahun, namun program pembangunan harus berkelanjutan. Jangan karena terjadi pergantian, berubah pula kebijakan yang sudah baik dan harus dilanjutkan.

Tentu saja, untuk mengukur keberhasilannya sangat sederhana. Sembako dengan mudah diperoleh dengan harga murah. Sekolah dan berobat gratis, lingkungan aman dan tentram, hukum dengan adil ditegakkan, infrastruktur tersedia dengan baik, pekerjaan tersedia mudah, rumah dapat diperoleh dengan murah, fasilitas publik dan transfortasi cukup, tempat rekreasi tersedia lengkap dan berbagai fasilitas yang memanusiakan.    

Seperti yang disampaikan Syamsiah Badruddin (2009), ada tiga komponen yang dianggap paling menentukan dan bukti kesuksesan pembangunan, yaitu umur panjang dan sehat, perolehan dan pengembangan pengetahuan, serta peningkatan terhadap akses untuk kehidupan yang lebih baik. Dengan demikian, bukan hanya aspek ekonomi yang terus berkembang, modal sosial (social capital) tetap terjaga dan bertumbuh, serta mentalitas masyarakat untuk percaya dengan kemampuan sendiri. Wallâhu’alam. []

Iu Rusliana, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Bandung, bergiat di Mien R Uno Foundation Jakarta.

Sumber, Pikiran Rakyat 22 Januari 2014

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter