Paradoks Demokrasi Cyber

Dalam beberapa dekade terakhir ini, bersamaan dengan dahsatnya perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), kehidupan demokrasi telah termediasi sedemikian rupa. Tidak lagi hanya termediasi oleh media massa konvensional, seperti media massa cetak dan elektronik, namun demokrasi telah termediasi oleh new media, terutama media Internet. Misalnya event Pemilukada-Wakada Propinsi Jawa Barat yang akan digelar beberapa waktu ke depan, proses demokrasi seperti kontestasi suara warga, konstruksi opini para tim sukses, dan konstruksi citra para kandidat mulai tidak saja berlangsung secara face to face dan off line, namun juga telah berlangsung virtual dan online.

Dalam media studies, deskripsi di atas merupakan bagian dari gejala Computer Mediated Communication (CMC). Hal itu berkelindan dengan era mediasi (the age of mediation), di mana segala aspek kehidupan tidak bisa luput dari liputan media massa. Oleh sebab itu, aspek kehidupan apa pun, termasuk kehidupan demokrasi, senantiasa termediasikan komputer atau internet. Pertanyannya, demokrasi seperti apakah yang termediasi internet tersebut? Sejauh ini masyarakat awam, dalam kajian ilmu politik konvensional, mungkin hanya mengenal demokrasi ideal dan demokrasi aktual seperti yang pernah dipopulerkan oleh Robert Dahl, atau terminilogi demokrasi subtansial dan demokrasi prosedural yang dikenalkan oleh Samuel P. Huntington.

Dalam buku Communication, Cultural, & Media Studies, yang ditulis John Hartley (2010), proses demokrasi yang berlangsung dalam dunia maya dijuluki Cyberdemocray, yakni komunitas virtual yang memiliki aturan sendiri. Di sini demokrasi hidup di dunia maya dengan mediasi internet.   

Seperti halnya demokrasi di ruang nyata, demokrasi cyber hanya bisa bertahan ketika adanya ruang publik, khususnya ruang publik dalam internet (ruang publik virtual). Dan memang ruang publik virtual merupakan pra-syarat bagi keberlangsungan demokrasi cyber. Di ruang itu terdapat nilai dan praktik konektivitas, intraktivitas dan anonimitas, sehingga memproduksi asas langsung, komunikatif, bebas dan rahasia. Dalam demokrasi politik di ruang nyata, sejatinya asas-asas tersebut juga telah lebih awal menjadi keharusan.  

Demokrasi cyber yang mensyaratkan ruang publik virtual, di satu sisi akan menjadi nilai surplus bagi demokrasi, dan di sisi lain, akan menjadi nilai defisit. Nilai surplus misalnya berupa makin meluasnya kedaulatan dan kebebasan warga internet (Netizens) dalam berkoneksi, berekspresi, berkelompok, berkontestasi suara, dan bertukar informasi. Ini tentunya menjadi peluang bagi penguatan kehidupan demokrasi yang sesungguhnya.

Nilai surplus itu dimungkinkan tegak terkait dengan karakteristik ruang maya yang salah satunya memperkenankan asas anonimitas bagi user. Di sini warga akan merasa terjamin keamanannya dari berbagai ancaman intimidasi dan dominasi, baik dari lingkungan masyarakat maya itu sendiri, maupun dari lingkungan masyarakat ruang nyata, seperti kekuasaan negara. Memang ruang publik, baik virtual maupun aktual, senantiasa akan tetap hidup dan bertahan manakala terbebas dari ancaman kekuasaan apapun, termasuk kekuasaan pemilik institusi media massa.

Sementara itu, nilai defisit bagi operasi demokrasi cyber ditemukan ketika warga di luar media internet mengalami digital divide atau disparitas akses terhadap internet. Sehingga di masyarakat ditemukan realitas sosial, di mana di satu sisi, ada kelompok dan individu yang memiliki kemampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat jaringan dan, di sisi lain, ada masyarakat yang termarjinalkan dari jaringan tersebut. Di sini terlahir stratifikasi sosial baru  berupa kesenjangan antara orang kaya informasi dan miskin informasi. Hal demikian dimungkinkan terjadi oleh karena faktor disparitas kemampuan ekonomi warga.  

Bila disparitas itu tidak diselesaikan, maka hal itu berpotensi menjadi kendala bagi keterlibatan warga (the barriers to civic engagement) dalam ruang publik virtual secara merata. Padahal kemertaan dalam kesempatan mengakses merupakan salah satu pra-syarat utama bagi penciptaan ruang publik dan praktik berdemokrasi, baik di ruang maya maupun di ruang nyata. Dengan demikian, keberadaan demokrasi cyber cenderung tidak akan berbeda jauh nasibnya dengan pengamalan serta pengalaman demokrasi politik di ruang nyata. Padahal kita berharap bahwa demokrasi cyber dapat menjadi jalan alternatif bagi segala lapisan warga dalam mengarungi sekaligus mengurai kemacetan demokrasi di ruang nyata.***

Penulis adalah Dosen FISIP UIN SGD Bandung; Kandidat Doktor Sekolah Pascasarjana UGM.

Sumber, Tribun Jabar 4 Oktober 2012.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter