(UINSGD.AC.ID)-Diantara pertanyaan penting yang mengemuka terkait penerapan berbagai macam perintah syara’ dalam Islam adalah bagaimana pelaksanaannya ketika dikepung dalam situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan dilaksanakan secara utuh. Sebagai contoh, konon katanya dalam suasana pandemi, ada beberapa wajib haji seperti: mabit di Muzdalifah, di Mina dan melempar jumroh, tidak akan dilaksanakan pada musim haji tahun ini.
Sebelum menjawab pertanyaan ini, tulisan pertama ini, akan mengawali dengan memahami terlebih dahulu apa yang disebut dengan syariat atau hukum Islam. Syariat pada dasarnya merupakan ketetapan dan hukum-hukum dalam Islam, dimana pelaksanaannya diatur dan dijelaskan secara rinci dalam Fiqh. Karena itu dalam konteks diskursif keagamaan di Indonesia, istilah syariat dan Fiqh lebih banyak disandingkan dengan istilah hukum Islam. Hukum Islam dalam pengertian ini, seperti dijelaskan Daud Ali (2005: 49) adalah konvergensi antara syariat dan Fiqh dalam satu bingkai yang harus berjalan beriringan, tidak bisa terpisah antara satu dan lainnya.
Dalam pemahaman ini, hukum Islam merupakan produk yang menggabungkan pemahaman manusia atas syariat yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Hukum Islam tidak lahir dan melepaskan dirinya dari konteks kehidupan manusia itu sendiri. Produk hukum adalah produk sejarah, yang lahir dari rahim kehidupan manusia berdasarkan petunjuk agama yang terdapat dalam nash (ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadits Nabi). Karena itu, beberapa ketetapan dan aturan dalam hukum Islam, bisa saja mengalami perubahan dalam satu konteks dengan konteks lainnya, bahkan perbedaan pendapat antara satu mujtahid dengan mujtahid lainnya.
Perbedaan pendapat para ulama dalam memahami aspek-aspek tertentu dari syariat atau hukum Islam inilah yang melahirkan perbedaan mazhab dalam Fiqh Islam. Istilah Mazhab sendiri merujuk pada pokok-pokok pemikiran ulama mujtahid dalam memecahkan masalah berdasarkan kaidah-kaidah tertentu yang dipahaminya untuk menghasilkan istinbath (kesimpulan) hukum. (Abdullah, 1995: 197)
Proses ijtihad dalam memahami hukum Islam tentu tidak bisa dijalankan oleh setiap orang. Hanya kalangan ulama tertentu yang memiliki otoritas saja yang bisa melakukannya, seperti ulama mujtahid. Sebab bila semua orang melakukan istinbath hukum, maka khawatir terjadi kekacauan dan kerancuan hukum yang melenceng dari syariat itu sendiri.
Kembali ke awal, hukum Islam atau konvergensi syariat dan Fiqh ini bukanlah produk yang lahir secara instan dan utuh. Wahyu Allah Swt. yang berisi ketetapan-ketetapan tertentu diturunkan secara bertahap kepada Nabi Muhammad Saw. sesuai dengan konteks peristiwa yang melatarinya.
Dalam logika ini, sejarah hukum Islam, seperti dijelaskan Hudhori Bik dalam Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islamy (1980:4), memiliki enam periodisasi pembinaan yang berbeda-beda. Yakni; (1) Periode Nabi, (2) periode sahabat besar (khulafa al-rasyidin), (3) periode sahabat kecil dan tabi’in (hingga akhir abad ke-1 Hijriyah), (4) periode ketika Fiqh menjadi cabang ilmu pengetahuan yang ditandai munculnya Imam mazhab (hingga akhir abad ke-3 Hijriyah), (5) periode berakhirnya kekuasaan Daulah Abbasiyah; dan (6) periode pembinaan hukum pada masa taqlid.
Pada masing-masing periode tersebut, terdapat upaya pemahaman atas syariat yang melahirkan produk hukum yang berbeda-beda namun sesuai dengan kebutuhan zamannya. Fakta ini menunjukkan, bahwa hukum Islam sangat dinamis, berkembang sesuai dengan konteks kehidupan. Karena itu, manasik haji yang dilaksanakan dalam kondisi pandemi tentu saja akan berbeda dengan praktik manasik haji pada masa-masa normal seperti sebelumnya. Insya Allah berlanjut.
Aang Ridwan, Pembimbing Haji Plus dan Umroh Khalifah Tour dan Dosen FDK UIN Bandung
Sumber, Pikiran Rakyat 25 Mei 2021