Otonomi Daerah Pasca Amandemen Undang-undang Dasar 1945 Antara Idealita dan Realita

Undang-undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Negara Republik Indonesia telah mengalami perubahan-perubahan mendasar sejak dari Perubahan Pertama pada tahun 1999 sampai ke Perubahan Keempat pada tahun 2002. Sejak diberlakukannya UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara Republik Indonesia hingga diadakannya amandemen sekarang, Konstitusi ini memberikan pesan bahwa Negara Republik Indonesia dibangun dalam sebuah kerangka negara yang berbentuk kesatuan (unitary), bukan berbentuk federasi (serikat).

The founding fathers Negara Republik Indonesia sudah sejak awal menyadari bahwa Negara Indonesia yang wilayahnya terdiri dari ribuan pulau serta penduduknya terdiri dari ratusan suku bangsa, tidak mungkin diselenggarakan secara sentralistik. Dengan demikian, konsep otonomi daerah dalam kesatuan masyarakat hukum yang sudah ada sebelum negara Indonesia terbentuk merupakan suatu keharusan “conditio sine qua non”.

Kata Kunci : Konstitusi, Amandemen, Negara Kesatuan, Otonomi Daerah

A. Pengantar

Reformasi Hukum merupakan salah satu amanat penting dalam rangka pelaksanaan agenda reformasi nasional. Di dalamnya tercakup agenda penataan kembali berbagai institusi hukum dan politik mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat pemerintahan desa, pembaruan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan mulai dari UUD sampai ke tingkat Peraturan Desa, dan pembaruan dalam sikap, cara berpikir dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum kita ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.

Dengan perkataan lain, dalam agenda reformasi hukum itu tercakup pengertian reformasi kelembagaan (institutional reform), reformasi perundang-undangan (instrumental reform), dan reformasi budaya hukum (cultural reform). Untuk mendukung berbagai upaya yang dilakukan ke arah itu, perencanaan dan pembangunan hukum pada masa sekarang dan mendatang perlu dititikberatkan pada langkah-langkah strategis dalam meningkatkan akselerasi reformasi hukum yang mencakup materi atau substansi hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis (legal substance), struktur atau kelembagaan hukum yang juga mencakup aparatur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture). Tiga aspek ini dianggap sebagai bagian-bagian yang satu sama lain saling terkait dan menjadi sub-sub sistem dari sistem hukum nasional yang akan kita bangun.

B. Perkembangan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945

Secara yuridis, perubahan Konstitusi dapat dilakukan apabila dalam konstitusi itu telah ditetapkan tentang syarat dan prosedur perubahan konstitusi. Perubahan konstitusi yang ditetapkan dalam konstitusi disebut dengan perubahan secara formal (formal amandement). Disamping itu, perubahan konstitusi dapat dilakukan melalui cara tidak formal, yaitu oleh kekuatan-kekuatan yang bersifat primer (some primary force), penafsiran oleh pengadilan (judical interpretation), dan oleh kebiasaan dalam bidang ketatanegaraan (usages and conventions).

C.F. Strong dalam bukunya Modern Political Constitution mengemukakan bahwa perubahan konstitusi dapat dilakukan:

1. Oleh pemegang kekuasaan legislatif dengan persyaratan khusus. Persyaratan khusus yang dimaksudkan ialah penentuan kuorum dalam sidang-sidang yang mengagendakan perubahan dan dalam pengambilan putusan.

2. Oleh rakyat melalui suatu referendum. Apabila ada kehendak untuk mengubah konstitusi, lembaga negara yang diberi wewenang untuk itu mengajukan usul perubahan kepada rakyat dalam suatu referendum atau plebisit. Dalam referendum atau plebisit itu rakyat menyampaikan pendapatnya dengan jalan menerima atau menolak usul perubahan konstitusi.

3. Diusulkan oleh lembaga perwakilan rakyat dan yang harus disetujui oleh sejumlah negara-negara bagian.

4. Suatu lembaga khusus yang tugas dan wewenangnya hanya mengubah konstitusiUndang-undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Negara Republik Indonesia telah mengalami perubahan-perubahan mendasar sejak dari Perubahan Pertama pada tahun 1999 sampai ke Perubahan Keempat pada tahun 2002.

Perubahan-perubahan itu juga meliputi materi yang sangat banyak, sehingga mencakup lebih dari 3 kali lipat jumlah materi muatan asli UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan, kini jumlah materi muatan UUD 1945 seluruhnya mencakup 199 butir ketentuan.

Perubahan UUD 1945 dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda sidang tahunan MPR dari tahun 1999 hingga perubahan keempat pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya Komisi Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.

Perubahan Pertama dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999 yang meliputi Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal 22 UUD 1945. berdasarkan ketentuan Pasal-pasal yang diubah, arah Perubahan Pertama UUD 1945 adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai Lembaga Legislatif.

Perubahan Kedua dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2000 yang meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, BAB XII, Pasal 30, BAB XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C UUD 1945. Perubahan Kedua ini meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempurnakan Perubahan Pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan yang terperinci tentang HAM.

Perubahan Ketiga yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001 mengubah dan atau menambah ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 3 ayat (1), (3), dan (4), Pasal 6 ayat (1) dan (2), Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5), Pasal 7A, Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7), Pasal 7C, Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 11 ayat (2) dan (3), Pasal 17 ayat (4), Bab VIIA, Pasal 22C ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab VIIB, Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23F ayat (1), dan (2), Pasal 23G ayat (1) dan (2), Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 24 B ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) UUD 1945. Materi Perubahan Ketiga UUD 1945 meliputi ketentuan tentang Asas-asas landasan bernegara, kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, dan ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum.

Perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Perubahan dan atau penambahan dalam Perubahan Keempat tersebut meliputi Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3); Pasal 11 ayat (1); Pasal 16, Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 32 ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab IV, Pasal 33 ayat (4) dan (5); Pasal 34 ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II UUD 1945. Materi perubahan pada Perubahan Keempat adalah ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan.

C. Penyelanggaraan Otonomi Daerah Pasca Amandemen UUD 1945

The founding fathers Negara Republik Indonesia sudah sejak awal menyadari bahwa Negara Indonesia yang wilayahnya terdiri dari ribuan pulau serta penduduknya terdiri dari ratusan suku bangsa, tidak mungkin diselenggarakan secara sentralistik. Dengan demikian, konsep otonomi daerah dalam kesatuan masyarakat hukum yang sudah ada sebelum negara Indonesia terbentuk merupakan suatu keharusan “conditio sine qua non”.

Dengan alasan ini, maka para pendiri negara, sejak diberlakukannya konstitusi Indonesia (UUD 1945) mencantumkan konsep Negara berupa Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”.

Sejak diberlakukannya UUD 1945 hingga diadakannya amandemen sekarang, pasal ini tidak termasuk pada pasal yang diamandemen. Ketentuan Konstitusi ini memberikan pesan bahwa Negara Republik Indonesia dibangun dalam sebuah kerangka negara yang berbentuk kesatuan (unitary), bukan berbentuk federasi (serikat).

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 . Pasal 18 ini termasuk pasal yang diamandemen, yang terjadi saat Perubahan (amandemen) II UUD 1945 9. Sebelum Amandemen UUD 1945, pasal ini hanya memuat satu ayat dengan Judul Bab Pemerintahan Daerah yang berbunyi : “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Sementara Pasal 18 hasil Perubahan II UUD 1945 terdiri dari 3 (tiga) Pasal, yaitu Pasal 18 (ayat 1,2,3,4,5,6,7), Pasal 18A (ayat 1,2) dan Pasal 18B (ayat 1,2) dengan Judul Bab Pemerintah Daerah.10Pasal 18 hasil amandemen II UUD 1945 10 mengandung prinsip-prinsip dan ketentuan sebagai berikut :

1. Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan 11 (Pasal 18 ayat (2)). Prinsip ini menegaskan bahwa pemerintahan daerah adalah suatu pemerintahan otonom dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 18 sebelum amandemen tidak menegaskan Pemerintahan Daerah sebagai satuan pemerintahan yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan tertentu sebagai urusan rumah tangganya. Hanya dalam Penjelasan disebutkan bahwa “daerah-daerah itu bersifat otonom (streek and locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka”. Sebagai implementasinya, diadakan satuan pemerintahan dekonsentrasi di daerah (Pemerintahan Wilayah) dan fungsi-fungsi dekonsentrasi dalam pemerintahan daerah (Kepala Daerah sekaligus sebagai Kepala Wilayah).

Praktek semacam inilah yang menimbulkan dualisme kepemimpinan, yang cenderung pada sentralistik.Prinsip dalam Pasal 18 amandemen, lebih sesuai dengan gagasan daerah membentuk pemerintahan daerah sebagai satuan pemerintahan mandiri di daerah yang demokratis, karena pasal ini menegaskan bahwa pemerintahan daerah diselenggarakan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Gubernur, Bupati, Walikota semata-mata hanya sebagai penyelenggara otonomi di daerah, walaupun ini tidak berarti pembentukan satuan pemerintahan dekonsentrasi di daerah menjadi terlarang. Sepanjang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, satuan pemerintahan pusat dapat membentuk satuan pemerintahannya di daerah, dalama rangka penyelenggaraan pemerintahan.

2. Prinsip Menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat (5)). Keinginan untuk melaksanakan otonomi seluas-luasnya ini telah muncul pada saat BPUPKI menyusun rancangan UUD. Hal ini nampak diantaranya dari pidato Ratulangi, yaitu “Supaya daerah pemerintahan di beberapa pulau-pulau besar diberi hak seluas-luasnya untuk mengurus keperluannya sendiri, tentu dengan memakai pikiran persetujuan, bahwa daerah-daerah itu adalah daerah daripada Indonesia”. Keingianan ini kemudian dituangkan dalam UUDS 1950, Pasal 131 ayat (2). Meskipun secara histories Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah menghendaki pelaksanaan otonomi seluas-luasnya, akan tetapi hal ini tidak dimuat dalam UUD 1945, sehingga sistem pemerintahan yang sentralistik muncul.

Pada akhirnya, saat amandemen UUD 1945 sangatlah tepat Pasal 18 diamandemen, dan prinsip otonomi seluas-luasnya ditegaskan dalam pasal ini. Pemerintahan Daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya, campur tangan pemerintah pusat hanyalah yang benar-benar bertalian dengan upaya menjaga keseimbangan antara prinsip kesatuan (unity) dan perbedaan (diversity).

3. Prinsip Kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18 A, ayat (1)). Prinsip ini mengandung pengertian bahwa bentuk dan isi otonomi daerah tidak harus seragam (uniformitas). Bentuk dan isi otonomi daerah ditentukan oleh berbagai keadaan khusus dan keragaman setiap daerah. Otonomi untuk daerah-daerah pertanian dapat berbeda dengan daerah-daerah industri, atau antara daerah pantai dan pedalaman, dan sebagainya.

4. Prinsip Mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya (Pasal 18 B, ayat (2)). Yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat adalah masyarakat hukum (rechtsgemeenschap) yang berdasarkan hukum adat atau adat istiadat seperti desa, marga, nagari, gampong, dan lain-lain. Masyarakat hukum adalah kesatuan masyarakat yang memiliki kekayaan sendiri, memiliki warga yang dapat dibedakan dengan warga masyarakat hukum lain dan dapat bertindak ke dalam atau ke luar sebagai satu kesatuan hukum (subjek hukum) yang mandiri dan memerintah diri mereka sendiri.Dalam Pasal 18B amandemen ini, mengandung pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat sesuai dengan perannya sebagai subsistem Negara Kesatuan Republik Indonesia yang maju dan modern. Selain itu, hak-hak tradisional yang meliputi hak ulayat, hak-hak memperoleh manfaat atau kenikmatan dari tanah air, diakui dan dijunjung tinggi.

5. Prinsip mengakui dan menghormati Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus dan istimewa (Pasal 18 B ayat (1)). Yang dimaksud dengan “bersifat istimewa” adalah pemerintahan asli atau pemerintahan bumiputera. Dalam Pasal 18 B, perkataan “khusus” memiliki cakupan yang lebih luas, antara lain karena dimungkinkan membentuk pemerintahan daerah dengan otonomi khusus (Aceh, Irian Jaya). Untuk Aceh, otonomi khusus berkaitan dengan pelaksanaan Syariat Islam, sehingga tidak berbeda dengan status Aceh sebagai daerah istimewa. Setiap daerah dapat menuntut suatu kekhususan, semata-mata berdasarkan faktor-faktor tertentu tanpa suatu criteria umum yang telah ditentukan dalam Undang-Undang.

6. Prinsip badan Perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum (Pasal 18 ayat (3)). Dengan prinsip ini, maka tidak akan ada lagi pengangkatan anggota DPRD, akan tetapi tentunya DPRD harus dipilih secara langsung oleh rakyat. Demikian juga halnya dengan Gubernur, Bupati, Walikota, yang mengharuskan pemilihan secara langsung oleh rakyat (bukan oleh DPRD lagi).

7. Prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil (Pasal 18 A ayat (2)). Pengaturan hubungan antara Pusat dan Daerah yang adil dan selaras, dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang mandiri dan kesejahteraan rakyat daerah yang bersangkutan. Dengan adanya prinsip tersebut, pengaturan semua hal-hal yang ada pada Pemerintahan Daerah (termasuk masalah kekayaan) akan dibagi sesuai dengan kebutuhan daerah.

D. Asas-Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

1. Asas Otonomi Daerah

Sebagai suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat, negara Indonesia memiliki suatu Konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang menjamin setiap warganya untuk hidup sesuai dengan hak-haknya dan berupaya untuk mewujudkan tujuan-tujuannya, serta mengatur semua permasalahan yang menyangkut tentang pemerintahan. Tujuan diproklamirkannya negara ini tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV, yang berbunyi: “Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdakaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Melihat Pembukaan UUD 1945 di atas, Negara Indonesia berupaya untuk menjunjung tinggi hak-hak dari pada rakyat dan senantiasa mewujudkan aspirasi rakyatnya tersebut, sebab kedaulatan negara ini pada hakikatnya berada pada rakyat. Untuk mewujudkan hal tersebut, tidak mungkin pelayanan terhadap rakyatnya terpusat pada satu pemerintahan (Pemerintah Pusat), maka untuk melayani dan mewujudkan tujuannya ini, dibentuklah Daerah-daerah. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 ayat (1-2) yang berbunyi: (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Propinsi, Kabupaten, dan Kota itu mempunyai Pemerintahan Daerah, yang diatur dengan Undang-Undang. (2) Pemerintahan Daerah Propinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.Dibentukanya Pemerintahan Daerah ini bertujuan untuk mencapai efektivitas dan efesiensi dalam pelayanan kepada masyarakat.

Bung Hatta menjelaskan bahwa wujud kedaulatan rakyat sebagai pernyataan daripada pemerintahan rakyat ialah bahwa rakyat dalam keadaan seluruhnya atau dalam bagian-bagiannya memerintah dirinya sendiri. Hanya saja kedaulatan yang dilakukan oleh rakyat daerah bukanlah kedaulatan yang keluar dari pokoknya sendiri, melainkan kedaulatan yang datang dari kedaulatan rakyat yang lebih atas. Dengan demikian kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat daerah ini tidak boleh bertentangan dengan garis-garis besar yang telah ditetapkan sebagi garis-garis haluan negara.

Otonomi yang diselenggarakan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, paling tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mendasarinya, yaitu : a. Keanekaragaman bangsa Indonesia dengan sifat-sifat istimewa pada berbagai golongan, tidak memungkinkan pemerintahan diselenggarakan secara seragam. b. Wilayah Indonesia yang berpulau-pulau dan luas dengan segala pembawaan masing-masing, memerlukan cara-cara penyelenggaraan yang sesuai dengan keadaan dan sifat-sifat dari berbagai pulau tersebut. c. Desa dan berbagai persekutuan hukum merupakan salah satu sendi yang ingin dipertahankan dalam susunan pemerintahan negara. d. Pancasila dan UUD 1945 menghendaki suatu susunan pemerintahan yang demokratis. Desentralisasi adalah salah satu cara mewujudkan tatanan demokratis tersebut. e. Efisiensi dan efektivitas merupakan salah satu ukuran keberhasilan organisasi. Republik Indonesia yang luas dan penduduk yang banyak dan beragam memerlukan suatu cara penyelenggaraan pemerintahan negara yang menjamin efisiensi dan efektivitas. Dengan membagi-bagi penyelenggaraan pemerintahan dalam satuan-satuan yang lebih kecil (desentralisasi) akan memungkinkan dicapainya efisiensi dan efektivitas tersebut.

Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan. Dengan demikian otonomi adalah pemerintahan yang mampu menyelenggarakan pemerintahan, yang dituangkan dalam peraturan sendiri, sesuai dengan aspirasi masyarakatnya. Oleh karena itu menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Daerah Otonom, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Otonomi Daerah sendiri dapat diartikan sebagai hak wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara prinsipil terdapat dua hal yang tercakup dalam otonomi, yaitu hak wewenang untuk memanajemeni daerah, dan tanggung jawab terhadap kegagalan dalam memanajemeni daerahnya tersebut. Sementara Daerah dalam arti Local State Government adalah pemerintah di daerah yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat.

2. Asas Desentralisasi

Sistem penyelenggaraan Pemerintahan dalam negara kesatuan dapat dibedakan menjadi 2 bentuk, yaitu :

1. Negara Kesatuan dengan sistem sentralisasi, dimana segala sesuatu dalam negara itu langsung dan diurus oleh Pemerintah Pusat, daerah-daerah tinggal melaksanakannya saja.

2. Negara Kesatuan dengan sistem Desentralisasi, dimana kepada daerah diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) yang dinamakan daerah otonom (swatantra).

Negara Republik Indonesia yang merupakan Negara Kesatuan, menerapkan sistem penyelenggaraan pemerintahannya dengan sistem desentralisasi. Penerapan sistem ini didasarkan pada berbagai pertimbangan, antara lain karena begitu luasnya wilayah negara dan sedemikian banyaknya kepentingan-kepentingan yang harus diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan bertambah majunya masyarakat, sehingga pemerintah tidak dapat mengurus semua kepentingan-kepentingan itu dengan baik tanpa berpegang pada asas kedaerahan dalam melakukan pemerintahan.

Jika kita perhatikan posisi geografis dan demografis wilayah indonesia, maka akan terlihat suatu kesulitan yang besar manakala sistem penyelenggaraan Pemerintahan Negara Indonesia dilaksanakan secara sentralistik. Tidak mungkin sistem ini diterapkan pada wilayah yang sangat luas, lengkap dengan aneka ragam budaya dan adat istiadat yang hidup. Untuk mencapai tujuan negara dengan tidak mengurangi keutuhan Negara Kesatuan, maka digunakanlah sistem desentralisasi ini.

Tujuan utama dari adanya Desentralisasi ini diantaranya adalah : a. Tujuan Politik, yang ditujukan untuk menyalurkan partisipasi politik di tingkat daerah untuk terwujudnya stabilitas politik nasional. b. Tujuan Ekonomis, yang dimaksudkan untuk menjamin bahwa pembangunan akan dilaksanakan secara efektif dan efesien di daerah-daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial.

Desentralisasi adalah suatu istilah yang luas dan selalu menyangkut persoalan kekuatan (power), biasanya dihubungkan dengan pendelegasian atau penyerahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada pejabatnya di daerah atau kepada lembaga-lembaga pemerintah di daerah untuk menjalankan urusan-urusan pemerintahan di daerah.

Dalam Encyclopedia of the Social Sciences, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, baik yang menyangkut bidang legislatif, judikatif atau administratif.Menurut UU No. 32 tahun 2004 Pasal 1 ayat (7), Desentralisasi adalah penyerahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, wewenang pemerintahan tersebut adalah wewenang yang diserahkan oleh Pemerintah saja, sedang Pemerintahan Daerah tinggal melaksanakan wewenang yang diberikannya tersebut sesuai dengan aspirasi masyarakat daerahnya, walaupun sebenarnya daerah sendiri diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri secara luas, nyata, dan tanggung jawab.

Kewenangan daerah ini mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan yang dikecualikan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (3), yaitu kewenangan dalam bidang Politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama.

3. Asas Dekonsentrasi

Negara Indonesia yang merupakan Negara Kesatuan, tentunya antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah mempunyai hubungan yang sangat erat. Dalam hubungannya dengan tugas Pemerintahan, maka Pemerintah Pusat dapat menyerahkan urusan-urusan pemerintahannya kepada daerah secara dekonsentrasi, dimana urusan-urusan pemerintahan yang diserahkannya ini tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.

Latar belakang diadakannya sistem dekonsentrasi ialah bahwa tidak semua urusan Pemerintah Pusat dapat diserahkan kepada semua urusan Pemerintah Daerah menurut asas desentralisasi. Pertimbangan dan tujuan diselenggarakan asas dekonsentrasi ini diantaranya adalah : a. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan dan pelayanan terhadap kepentingan umum. b. Terpeliharanya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya dalam sistem administrasi negara. c. Terpeliharanya keserasian pelaksanaan pembangunan nasional. d. Terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintahan atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di Daerah.

a. Pelimpahan wewenang dari aparatur pemerintah yang lebih tinggi tingkatnya ke aparatur lain dalam satu tingkatan pemerintahan disebut dekonsentrasi horizontal.

b. Pelimpahan wewenang dari pemerintah atau dari suatu aparatur pemerintah yang lebih tinggi tingkatannya ke aparatur lain dalam tingkatan pemerintahan yang lebih rendah, disebut dekonsentrasi vertikal.

c. Dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi, wilayah negara kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam wilayah-wilayah propinsi dan ibukota negara. Wilayah propinsi dibagi ke dalam wilayah-wilayah kabupaten dan kota. Kemudian wilayah-wilayah kabupten dan kota dibagi dalam wilayah kecamatan. Penerapan asas dekonsentrasi semacam ini disebut dekonsentrasi teritorial.

Suatu hal yang esensial dalam pelaksanaan dekonsentrasi ini adalah bahwa urusan atau wewenang yang dilimpahkan itu sepenuhnya menjadi urusan kewenangan pemerintah pusat, hanya saja aparat yang dilimpahi itu semata-mata sebagai pelaksana saja, yang lain sama sekali dengan pengertian asas desentralisasi.Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (8) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dekonsentrasi adalah :“Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai Wakil Pemeintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu”

4. Asas Tugas Pembantuan

Tugas pembantuan adalah tugas-tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah atau pemerintah daerah tingkat atasnya, dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Urusan yang ditugaskan itu sepenuhnya masih menjadi wewenang pemerintah atau Propinsi.

Pemerintah atau propinsi yang menugaskan ini menyusun rencana kegiatan, atau kebijaksanaan dan menyediakan anggarannya, sedang daerah yang ditugasi hanya sekedar melaksanakannya, tetapi dengan suatu kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas itu kepada yang memberikan tugas.Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (9) menjelaskan, Tugas Pembantuan adalah Penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan/atau Desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Berdasarkan hal tersebut, hakikat daripada tugas pembantuan itu adalah : a. Tugas Pembantuan adalah tugas membantu menjalankan urusan pemerintahan dalam tahap implementasi kebijakan yang bersifat operasional. b. Urusan pemerintah yang dapat ditugaspembantukan adalah yang menjadi kewenangan dari institusi yang menugaskannya. c. Kewenangan yang dapat ditugaspembantukan adalah kewenangan yang bersifat atributif, sedangkan kewenangan yang bersifat delegatif tidak ditugaspembantukan pada institusi lain. Kewenangan atributif adalah kewenangan yang melekat pada satuan pemerintahan atas dasar peraturan perundang-undagan yang membentukanya. Kewenangan delegatif adalah kewenangan yang didelegasikan dari satuan pemerintah yang lebih besar kepada satuan pemerintah yang lebih kecil. Kewenangan delagatif tidak dapat didelegasikan kepada pemerintah lainnya, karena bukan kewenangan yang melekat pada satuan pemerintah yang bersangkutan. d. Urusan pemerintah yang ditugaspembantukan tetap menjadi kewenangan dari institusi yang menugaskannya. e. Kebijakan, strategi, pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia disediakan oleh institusi yang menugaskannya. f. Kegiatan operasional diserahkan sepenuhnya pada institusi yang diberi penugasan, sesuai dengan situasi, kondisi, serta kemampuannya. g. Institusi yang menerima penugasan diwajibkan melaporkan dan mempertanggungjawabkan mengenai urusan pemerintahan yang dikerjakannya kepada institusi yang menugaskan.

E. Penutup

Setelah terjadinya reformasi terutama reformasi dalam bidang peraturan perundang-undangan (Instrumental Reform), kesakralan UUD 1945 benar-benar sudah tertanggalkan. Terjadinya empat kali perubahan ini walupun sudah sedikit memberikan angin segar bagi perjalanan reformasi pemerintahan, baik dalam hal penyelenggaraan Pemerintahan Daerah maupun yang lainnya. Akan tetapi walaupun demikian sepertinya masih dirasakan kurang cukup.

Pada dasarnya tuntutan amandemen adalah sesuatu hal yang wajar karena UUD 1945 hasil amandemen memang masih jauh untuk dikatakan sempurna. Ada beberapa hal yang tidak jelas dan terkesan tidak konsisten. Setidaknya, prosesnya bisa dimulai sejak saat ini sehingga dapat diidentifikasi peta politik kubu mana yang mendukung dan mana yang tidak mendukung.

DAFTAR BACAAN

Abdul Ghani Abdullah, Kebijakan Pembangunan Hukum Nasional, dalam makalah yang disampaikan pada acara Seminar Nasional Fak. Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Banung, 17 Desember 2005.

Amrah Muslimin, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1986Bagir Manan, Menyongsong Pajar Otonomi Daerah, FH-UII Press, Yogyakarta, 2002.

Dadang Solihin dan Putut Mahyadi, Panduan Lengkap otonomi Daerah, ISMEE, Jakarta, 2002Deddy Ismatullah dan A. Sahid Gatara, Ilmu Negara Mutakhir, Pustaka attadbir, Bandung, 2005.

__________ , Gagasan Pemerintahan Modern Dalam Konstitusi Madinah, Katta dan Sahifa, Bandung, 2006.

__________ , Ide Negara Kesejahteraan Menurut Al-Ghazali, Katta dan Sahifa, Bandung, 2007.

HAW. Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, PT. Raja Garfindo Persada, Jakarta, 2002.

Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan  Indonesia  Setelah Perubahan  Keempat UUD Tahun 1945, hlm. 1, Makalah dalam symposium Nasional yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003.

Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.

Jimly asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Konstitusi Press, Jakarta,2005.

Komisi Konstitusi, Buku I Naskah Akademik Kajian Komprehensif Komisi Konstitusi Tentang Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, 2004.

Krishna D. Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah Perkembangan Pemikiran dan Pelaksanaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Laporan Penelitian Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Penyusunan Konsep Model Titik Berat Otonomi Pada Daerah Tingkat II di Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, 1986.

Riant Nugroho Dwidjowijoto, Otonomi Daerah: Desentralisasi Tanpa Revolusi, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2000.

Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1990.

Sadu Wasistono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Fokusmedia,  Bandung. 2003.

Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah, Pusataka Sinar harapan, Jakarta, 2000.

Sujamto, Cakrawala Otonomi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 1993.

Tjahya Supriatna, Sistem Administrasi Pemerintahan di Daerah, Bumi Aksara, Jakarta, 1996.

Abdul Ghani Abdullah, Kebijakan Pembangunan Hukum Nasional, dalam makalah yang disampaikan pada acara Seminar Nasional Fak. Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Banung, 17 Desember 2005, hlm. 2.2.

Komisi Konstitusi, Buku I Naskah Akademik Kajian Komprehensif Komisi Konstitusi Tentang Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, 2004.

Perubahan Pertama UUD 1945 tanggal 19 Oktober 1999, Perubahan Kedua UUD 1945 tanggal 18 Agustus 2000, Perubahan Ketiga UUD 1945 tanggal 10 November 2001, Perubahan Keempat UUD 1945 tanggal 10 Agustus 2002.

Sidang Tahunan MPR baru dikenal pada masa Reformasi berdasarkan Pasal 49 dan Pasal 50 Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

Penyelenggaraan Pemerintahan dalam Negara Kesatuan dibagi pada dua macam sistem, yaitu Sentralisasi dan Desentralisasi. Sentralisasi maksudnya adalah penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah berdasarkan kebijakan “keinginan” dari Pemerintah Pusat (Top down), sementara Desentralisasi maksudnya adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Bottom up)

Sadu Wasistono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Fokusmedia, Bandung, 2003, hlm. 527.

Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 Perubahan Keempat menyatakan bahwa Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.

Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik menjelaskan bahwa Daerah yang ada dalam negara kesatuan dijadikan sebagai Pemerintahan Daerah, sementara dalam Negera Federasi, daerah-daerah dijadikan sebagai Negara Bagian.

Krishna D. Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah Perkembangan Pemikiran dan Pelaksanaan, PT. Citra Aditya Bakti, 2000, Bandung.

Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dijelaskan ada perbedaan maksud dari istilah Pemerintahan Daerah dengan Pemerintah Daerah. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Adapun Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. Yang dimaksud dengan asas otonomi berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah adalah Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Adapun yang dimaksud dengan Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari Pemerintah Provinsi kepada Kabupaten/Kota dan atau/desa serta dari pemerintah Kabupaten/Kota kepada Desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Bagir Manan, Menyongsong Pajar Otonomi Daerah, FH-UII Press, Yogyakarta, 2002, hlm. 8613.

HAW. Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, PT. Raja Garfindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 2214.

Sujamto, Cakrawala Otonomi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 1993, hlm. 2815. Laporan Penelitian Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Penyusunan Konsep Model Titik Berat Otonomi Pada Daerah Tingkat II di Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, 1986, hlm. 2916.

Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah, Pusataka Sinar harapan, Jakarta, 2000, hlm. 3317.

UU No. 32 Tahun 2004, Pasal 1 ayat (5-6)18.

Riant Nugroho Dwidjowijoto, Otonomi Daerah: Desentralisasi Tanpa Revolusi, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2000, hlm. 4619.

Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hlm.320.

Amrah Muslimin, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1986, hlm.421.

Tjahya Supriatna, Sistem Administrasi Pemerintahan di Daerah, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 2122. Ibid, hal 1923.

Dadang Solihin dan Putut Mahyadi, Panduan Lengkap otonomi Daerah, ISMEE, Jakarta, 2002, hlm. 6624. Tjahya Supriatna, Op. cit, hlm. 7725. Ibid, hlm. 7826.

Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Fokusmedia,  Bandung, 2003, hlm. 72.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter