[www.uinsgd.ac.id] Sekitar 400 peserta mengikuti Kuliah Umum Program Pascasarjana UIN SGD Bandung bersama Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang bertajuk “Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia; Realitas dan Prospek” dan Launching e-khazanah International Journal (www.e-khazanah.org) yang dipandu oleh Dr. M. Anton Athoillah, MM dan dibuka secara resmi oleh Prof. Dr. Dadang Kahmad, M.Si, Direktur Pascasarjana di Aula Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) Jawa Barat, Kamis (20/12)
Dalam sambutanya, Prof Dadang menjelaskan, bahwa keberadaan pemikir Islam Indonesia masih belum diakui pada tingkat dunia. “Dalam pertemuan di Surabaya yang waktu itu Prof. Dr. Azyumardi Azra bertindak sebagai SC dan Greg Barton sebagai pembicara pernah bertanya; kenapa tidak ada pemikir Islam Indonesia sekaliber Internasional seperti Naquib al Attas yang diakui keilmuannya di mata dunia dan Barat,” keluhnya
Dadang berharap dengan adanya Kuliah Umum ini “Bisa memberikan wawasan kepada kita untuk belajar mempelajari Islam Indonesia, sehingga terlahir pemikir sekaliber Internasional,” paparnya.
Bagi Azra menuturkan ketiadaan pemikir yang diakui dunia dikarenakan; Pertama, Jarang pemikir Islam Indonesia yang suka menulis karya, buku dalam bahasa Arab atau Inggris. “Kalaupun ada hanya sedikit dan itu pun bentuknya berupa makalah-makalah.” Kedua, Keberadaan Islam Indonesia masih dianggap sebelah mata di mata Barat. Mereka hanya ingin melakukan penelitian di Arab atau Timur Tengah. “Islam masih berada di Arab. Segala yang berasal dari Arab harus diikuti karena Islam, di luar itu dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, termasuk Islam di Indonesia yang sangat beragam dan menghargai lokal. Meskipun ada hasil penelitian Edwar Said yang mempertanyakan tentang orintalis dan keberadaan Timur mulai pudar. Namun tetap saja di Eropa masih ada dua doktrin atau jaran Islam itu; yang “pusat” berada di Arab atau Timur Tengah dan yang “pinggiran” berada di Indonesia atau sekitarnya. Ketiga, Kita jarang melakukan pembelajaran dan giat menyebarluaskan Islam Indonesia. “Buktinya masih sedikit yang mau belajar naskah-naskah klasik Islam Indonesia dan masih sedikit naskah-naskah kajian Islam yang memuat pemikiran tokoh. “ Keempat, Kita masih menjadi kunsumen, bukan produsen keilmuan. “Segala sesuatu yang datang dari Barat itu bagus, termasuk wacana keislaman. Padahal kita memiliki keislam yang unik, kaya dan beragam.”
Jika kita membagi tiga pembabakan Islam Indonesia mulai dari; Pertama, abad 18-19. Kedua, abad 20 dan Ketiga Pasca kemerdekaan. “Sesungguhnya kita akan menemukan tokoh-tokoh seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Muhammad Arsyad Al-Banjari, Nawawi al-Bantani, Yusuf Al-Makassari, Haji Hasan Mustofa di Jabar yang memuat dinamika pemkiran Islam Indonesia yang inten. Seorang ulama atau intelek yang suka menulis,” tegasnya.
Melihat islam dalam Tafsir keislaman Indonesia itu, “Islam Indonesia itu sangat cair. Kalau ada seorang tokoh atau ulama yang mempunyai pemikiran keislaman, karya, dengan cara menulis buku dapat dengan mudah tersebar luas keseluruh penjuru nusantara, bahkan sampai ke Buton, malahan ada yang ke Birma,” jelasnya.
“Inilah kekhasan Islam Indonesia yang telah terjadi partikulasi dan berkontekstualisasi atau pribumisasi Islam dalam bahasa Gus Dur. Ini tidak terjadi penyimpangan. Justru bagian integral dari keislaman Indonesia. Inilah yang dinamakan disting Islam Indonesia yang sangat kaya, ragam, tafsir, pemahaman tidak seperti yang terjadi di dunia Arab atau Timur Tengah. Sungguh kekayaan ini berbunga-bungan indahnya,” tambahnya.
Salah satu bukti kekayaan Islam Indonesia jika dibandingkan dengan Arab, Turki, dan Indonesia tentang kedermawanan hasilnya “90% orang Islam Indonesia itu senang berbagi dan memberi atas dasar motivasi Islam dan 58% jika dibandingkan dengan Arab, Turki, Indonesia masih sangat senang berbagi dan memberi, seperti pada acara sholawatan, muludan, syukuran kenaikan sekolah, lulus dan puncaknya pada saat bulan puasa dengan cara berbuka puasa, memberikan makanan sahur dengan nasi kotak,” paparnya
Terjadinya kedermawanan ini disebabkan “Jumlah keislaman kelas menengah meningkat terus maka membuat mereka sering berbagi dan memberi.”
Meskipun pada kenyataanya islam Indonesia belum terlalu kondusif untuk dikenal. “Karena salah satu faktornya segala pemikiran, karya Islam Indonesia masih menggunakan tulisan dan bahasa lokal bukan Internasional yang diakui dunia.”
Untuk itu, dalam konteks civitas akademik pada saat belajar dan menulis buku, karya, jurnal harus menggunakan bahasa Arab, Inggris. “”Pada advance studies di perkuliahan S3. Saya sering menggunakan pengantar perkuliahan menggunakan bahasa Inggris. Inilah peraturan yang ditetapkan di Sekolah Pasca UIN Jakarta. Mudah-mudahan di Bandung juga melakukukan yang sama yang sesuai dengan pengajar yang menguasai bahasa Arab atau Inggris dalam memberikan pengajaran,” sarannya.
Soal menulis buku, karya dan jurnal tentang keislaman Indonesia, “Juga harus tetap menggunakan bahasa Internasional,” tambahnya
Melihat kondisi seperti ini yang mulai dilakukan oleh para pemikir, Islam Indonesia lebih toleran, mandiri, relatif stabil politiknya dan kaya dengan berbagai alirannya. “Bagi saya keadaan ini membuat lebih optimis dengan keislam Indonesia yang sangat bergam, kaya dengan berbagai khasan dan lokalitas. Meskipun masih ada yang mempermasalahkan sektarian transnasional yang berusaha untuk menggugat tradisi keislaman Indonesia ini, seperti Muludan, tahlilan karena tidak ada contohnya dari Rasul dan termasuk kategori bid’ah. Bagi mereka barangsiapa yang melakukan perbuatan bid’ah masuk neraka. Padahal tidak seperti itu karena segala tradisi ini merupakan bentuk keislaman Indonesia yang disesuaikan dengan kontek Indonesia,” tegasnya.
Upaya membuat islam Indonesia yang toleran, santun itu, “diperlukan kesadaran berislam mulai dari cara menjaga kebersihan, keindahan dan untuk konteks kampus harus giat belajar, jujur dalam mencantumkan referensi dan sumber, juga selalu menulis dengan menggunakan bahasa Arab atau Inggris,” saranya.
Usaha menciptakan Islam Indonesia yang memiliki khasan sendiri kata Dindin Jamaluddin, Asisten Direktur III “Caranya dengan ikut berkontribusi dalam Jurnal Internasional e-khazanah yang sudah jelas menggunakan 2 bahasa, yakni Arab dan Inggris dalam proses penulisannya.”
“Tentunya, semua tulisan yang akan dimuat pada jurnal ini berhasarkan pada hasil penelitian terbaru. Mari kita belajar menulis dengan bahasa Internasional untuk ikut menyebarkan khazanah keislam Indonesia,” pungkasnya. [Ibn Ghifarie]