Peran perempuan dalam kehidupan sosial sangatlah penting. Sebab tidak jarang pada seting sosial tertentu, perempuan hanya dipandang sekedar objek pasif.
Fenomena tersebut melahirkan kekerasan multi dimensi, mulai dari kekerasan fisik, psikis, seksual, ekonomi dan sosial.
Hal tersebut terungkap dalam Webinar Internasional tentang Perempuan dengan tema “International Discourse of Feminist Counseling” yang digelar oleh Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam (BKI), UIN Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung, melalui telekonferensi aplikasi zoom dan disiarkan secara langsung pada kanal Youtube PRTV Official, Kamis 16 Juli 2020.
Ketua Panitia Webinar Internasional, Dede Lukman, S.Sos.M.Ag, mengatakan bahwa webinar yang digelar jurusan BKI tersebut diikuti oleh sekitar 200 orang, dari berbagai perguruan tinggi di beberapa negara.
“Peserta Webinar Internasional ini terdiri dari berbagai perguruan tinggi dan instansi dari beberapa negara, diantaranya Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Brunei Darusalam,” kata Dede.
Sementara menurut Wakil Dekan I Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD, Dr.H. Enjang AS, M.Si, M.Ag, mewakili Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD, Dr.H. Ahmad Sarbini, M.Ag, mengatakan bahwa konseling dalam perspektif feminis merupakan cara pandang dalam memberikan bantuan kepada perempuan sesuai dengan kodratnya.
“Bantuan kepada perempuan dalam perspektif feminis ini merupakan cara pandang agar perempuan mampu mengoptimalkan potensi terbaiknya tanpa harus kehilangan hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki,” papar Enjang dalam sambutan pembukaan acara Webinar Internasional tentang Perempuan tersebut.
Dalam acara ini menghadirkan empat pemateri yaitu; Atalia Praratya Kamil isteri Gubernur Jawa Barat sekaligus Ketua tim penggerak Sekoper Cinta, Prof. Etin Anwar MA.,Ph.D dari Hobart and Smith College, USA, dr. Susi Oktowaty, Sp.DLP.,MKM dari Perhimpunan Dokter Keluarga Jawa Barat dan Dr. Neng Hannah, M.Ag dari Fatayat NU.
Selain pemateri, dalam webinar ini juga menghadirkan para penanggap dari kalangan akademisi dan aktivis perempuan, diantaranya; Dr. Dudy Imanudin E. M.Ag Ketua Jurusan BKI UIN Bandung, Dr.H. Aep Kusnawan.M.Ag Ketua DPP PABKI, Dr.H. Didin Solahudin, MA, Wakil Dekan II Fakultas Dakwah dan Komunikasi, dan Dr.Hj. Yeni Huriyani, M.Hum perwakilan aktivis perempuan.
Dalam pemaparannya Etin Anwar mengatakan, Islamic Feminism itu berusaha mengeliminasi karakter-karakter yang oppressive dari individual-individual maupun dari sistem.
“Mengapa dari individual? Karena sebagai mana kita ketahui, ketika terjadi pemukulan dan kekerasan dalam keluarga, kekerasan dalam ruang publik itu berasal dari orang. Hal itu juga karena ada permissiveness baik itu dari agama, maupun dari sistem budaya kita,” kata Etin.
Menurut Etin, kalau misalkan ada sesuatu yang tidak diinginkan dalam keluarga, sering kali yang disalahkan itu pihak perempuannya.
“Padahal laki-laki juga bisa disalahkan tapi norma dalam masyarakat seringkali yg disalahkan itu perempuannya,” ucapnya.
Etin pun menjelaskan, bahwa Islamic Feminisme itu sebagai sebuah frame work.
“Sehingga dalam diskusi kita ini tidak memperdebatkan antara Islam dan feminisme tetapi Islam dan feminisme itu sudah melalui proses dimana kedua-duanya kompatibel,” paparnya.
Sementara itu menurut Ketua TP PKK Jabar yang juga isteri Gubernur Jabar sekaligus Ketua Sekolah Perempuan Capai Impian dan Cita-cita (Sekoper Cinta) Atalia Praratya Kamil memaparkan, bahwa penyebab kesenjangan gender di dunia kerja itu ada dua.
“Yaitu pertama dilihat dari segi institusional yakni karena tingkat pendidikan, pengalaman kerja, diskriminasi atau eksklusivitas di bidang kerja tertentu, dan stigma bahwa perempuan lebih tidak produktif,” ujarnya.
Sementara, lanjut Atalia, yang ke dua dari segi kultur atau sosial adalah karena budaya patriarki, tuntutan mengasuh anak dan mengurus keluarga, pola asuh terhadap anak perempuan, dan ekspektasi sosial untuk masuk atau tidak masuk ke dunia kerja.
“Hingga saat ini, kesenjangan gender masih terasa di dunia kerja,” ucap dia.
Saat ini, ungkap Atalia, perempuan seringkali menerima upah lebih rendah dibandingkan dengan pekerja laki-laki meskipun waktu dan beban kerjanya sama.
Selain itu, menurut Atalia, banyak perempuan mengalami diskriminasi, termasuk dalam urusan pemilihan profesi.
Dari pengertian etimologis, feminisme adalah paham tentang wanita. Akan tetapi, feminisme juga mengandung unsur gerakan.
“Tujuan feminisme dimaksudkan agar pengalaman, identitas, cara berfikir dan bertindaknya perempuan bisa dilihat sama seperti laki-laki,” ucapnya.
Sementara Dede Lukman menambahkan, garis besar dalam paparan para pemateri menegaskan tentang pentingnya peran perempuan dalam kehidupan sosial, sebab tidak jarang pada seting sosial tertentu, perempuan hanya dipandang sekedar objek pasif.
“Fenomena tersebut melahirkan kekerasan multi dimensi, mulai dari kekerasan fisik, psikis, seksual, ekonomi dan sosial,” katanya.
Selain itu, papar Dede, para penanggap memberikan paparan tentang pentingnya reinterpretasi konsep perempuan, sebab konsep perempuan yang selama ini berkembang, dipahami sebagai entitas yang tersubordinasi oleh laki-laki.
“Padahal dalam Islam kemaslahatan sebuah bangsa berbanding lurus dengan kualitas hidup perempuan,” pungkasnya.
Sumber, Pikiran Rakyat 18 Juli 2020 Juli 2020, 03:39 WIB