(UINSGD.AC.ID)-Mengawali Ramadhan 1443 H, langit republik tengah terik oleh ragam kegaduhan. Dimulai harga minyak goreng yang melambung tinggi setelah langka cukup lama. Kemudian harga BBM-pun ikut naik, padahal kesulitan tengah mencekik. Dalam kondisi demikian, alih-alih mencari solusi, para politisi malah asyik masuk melakukan akrobat politik yang sumir tentang wacana presiden tiga periode. Karena itu, munculah gelombang demonstrasi mahasiswa di seluruh pelosok negeri. Mereka mengusung mosi tidak percaya kepada negara.
Republik bertambah gaduh, Ketika seorang pegiat media sosial yang khas dengan ‘kekerasan narasinya’ dipersekusi di tengah aksi demonstrasi. Atas hal itu, psikologi masa terbelah menjadi dua. Ada yang pro dan ada yang kontra. Bagi mereka yang pro, persekusi itu dianggap sebagai konsekuensi logis yang dibenarkan logika. Namun bagi yang kontra, hal itu bagian dari kriminal yang bertentangan dengan akal sehat. Kedua kubu ini semakin menambah gaduh republik dengan tawuran narasi yang terus diproduksi, direproduksi dan didistribusikan secara masif, baik melalui media sosial maupun media mainstream.
Bagi umumnya muslim Indonesia, pada ramadahan tahun ini, republik terasa sangat terik. Berbagai kenyataan di atas, diakui atau tidak, telah memantik munculnya stressor pshyco social. Belum sembuh luka bathin karena sayatan sembilu gelombang pandemi. Di tengah beratnya menjalankan ibadah puasa, merekapun harus berhadapan dengan konflik horizontal dan antagonisme sosial yang tidak hanya bisa merusak kemuliaan ramadhan tetapi juga potensial bagi lahirnya disintegrasi bangsa.
Dalam kondisi demikian, sangat penting untuk melakukan refleksi terhadap momentum mulia yang terjadi di bulan suci ramadhan, yakni Nuzulul Qur’an. Kehadiran al-qur’an ke muka bumi membawa misi mulia untuk mensolusi ragam problematika yang terjadi di sepanjang peradaban manusia, tanpa kecuali bagi teriknya republik saat ini.
Dari sudut pandang historis, Al-quran hadir membawa misi sebagai kritik terhadap diesequiblirium, yakni ketidak seimbangan masyarakat shibhul jazirah dalam berbagai dimensi kehidupannya. Kritik yang dilontarkan al-Qur’an, bukanlah narasi kebencian yang merendahkan nilai dan martabat kemanusiaan. Melainkan kritik yang disertai solusi sekaligus contoh kongkrit yang dipraktikan Kangjeng Nabi beserta para sahabatnya. Perilaku mereka menjadi role model atau uswah sekaligus qudwah yang menjadi sumber inspirasi bagi perubahan kearah equiblirium, yakni keseimbangan kehidupan dan bangkitnya peradaban.
Dalam kasus teriknya republik, belajar dari latar historis turunnya Al-Qur’an, setiap elemen bangsa tanpa kecuali umat Islam, tidak boleh tinggal diam. Semuanya harus melakukan kritik atas ragam ketidak seimbangan yang tengah melanda bangsa ini. Belajar dari Al-Qur’an pula, kritik tidak identik dengan menjelek-jelekan, menghina atau nyinyir terhadap keadaan. Tapi kritik sangat identik dengan positive thinking, optimisme, usaha arif dan bijaksana untuk menempatkan sesuatu pada forsi dan posisi sejatinya.
Dalam hal kritik, siapapun harus menjaga positive thinking dan optimisme. Mengutip pendapat psikolog David D. Burn, bahwa stressor pshyco social atau depresi kejiwaan merupakan produk dari negative thinking yang dikawinkan dengan pesimisme. Ketika suatu bangsa dibelenggu oleh pesimisme, maka vitalitas hidup akan dilumpukan oleh apa yang disebut Burn dengan 4D, yakni; defeated (rasa dipecundangi), defective (rasa cacat diri), deserted (rasa ditinggal pergi) dan deprived (rasa tercerabut).
Berikutnya, bila dilihat dari analisa terhadap substansi ajaran yang dikandungnya, Al-Quran hadir ke muka bumi membawa misi untuk membangun khairul bariyah, yakni kesalehan individual dan kahirul ummah atau kesalehan sosial. Dengan turun secara berangsur-angsur, perlahan tapi pasti, al-qur’an hadir membenahi dimensi theological (ketuhanan), ritual, spiritual, moral, dan dimensi intelektual masyarakat shibhul jazirah pada kutub individual. Secara individual, para pengikut Baginda Nabi dibimbing Al-Quran untuk memiliki kualifikasi privat morality, kesalehan individual.
Berbekal pada kesalehan individual, para pengikut Baginda Nabi bergerak harmoni membuat konfigurasi dalam gradasai warna yang berbeda-beda untuk membangun kesalehan sosial. Mereka yang kaya menyantuni yang miskin, yang pintar mengajari yang bodoh, yang kuat mengayomi yang lemah. Dengan bimbingan Al-Qur’an dan visi kesalehan sosial, umat Islam melingkar potensi integrasi dan mengurai potensi konflik. Ibarat pelangi, perbedaan gradasi mejiku hibiniu-nya menjadi pemandangan menawan yang tidak hanya indah di pandang mata namun juga indah di dalam jiwa.
Dalam spirit analisa terhadap isi kandungan Al-Qur’an itu, terik republik yang tengah menyengat seluruh psikologi anak bangsa hari ini, bisa diurai dari tingkat individu. Ramdahan yang dalam narasi para ulama disebut sebagai ajmalul madrasati, sekolah terindah, harus dilalui dengan seksama agar bulan suci itu bisa memberi inspirasi, solusi sekaligus inner energy untuk membangun kesalehan individual.
Selanjutnya semua anak bangsa jangan puas pada kesalehan individual, yang lebih penting bagaimana kesalehan individual itu bisa memantik munculnya kesalehan sosial dan kesalehan negara. Pada kutub ini, mereka yang menyebut diri sebagai elit politik sekaligus representasi dari kuasa negara, sejatinya hadir sebagai role model. Mereka harus memberi uswah dan qudwah bukan malah menjadi sumber masalah.
Dalam kesadaran ini Aristoteles pernah berkata, “Manusia yang baik belum tentu menjadi warga negara yang baik. Manusia yang baik hanya bisa menjadi warga negara yang baik bila negaranya juga baik. Sebab di dalam negara yang buruk, manusia yang baik sekalipun bisa menjadi warga negara yang sangat buruk”.
Dr. H. Aang Ridwan, M.Ag, Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Sumber, Galamedia 19 April 2022