Non Fungible Token, Seniman, dan Karya Digital

Seniman adalah salah satu kelompok yang berkurang pendapatannya karena pandemi COVID-19. Pembatasan mobilitas masyarakat telah membuat berkurangnya pameran atau pementasan seni.

Non-fungible token (NFT), bukti kepemilikan yang berbasiskan teknologi blockchain, bisa menjadi harapan bagi seniman untuk mendapatkan penghasilan dengan menjual karya mereka secara daring.

Beberapa karya seni NFT telah terjual dengan harga yang tinggi, seperti contohnya lukisan berjudul Everydays karya seniman Beeple yang laku terjual hampir Rp 1 triliun di balai lelang Christie’s.

Di Indonesia, lukisan karya seni NFT pertama “A Portrait of Denny JA: 40 Years in the World of Ideas” telah terjual seharga Rp 1 miliar.

Apa itu NFT?
Secara sederhana, NFT merupakan sertifikat kepemilikan daring yang bisa diperjualbelikan, berbasiskan unit data yang disimpan pada buku besar digital (ledger) yang tergolong ke dalam teknologi blockchain.

NFT diciptakan sebagai representasi aset digital atau non-digital. Contohnya, karya-karya seni digital (gambar/foto/lukisan, animasi, koleksi unik, musik, video/animasi), pengganti dokumen-dokumen fisik (buku manual, tiket, invoices, dokumen penting, dan tanda tangan digital), dan karya kreatif lainnya.

Karya seni yang orisinal (dalam hal ini masih dalam bentuk fisik) bisa diolah menjadi digital terlebih dahulu (dengan perangkat yang tidak mengurangi kualitas tentunya), kemudian dipasarkan dalam bentuk digital. Tidak tertutup kemungkinan para kolektor akan memburu karya aslinya (dalam bentuk fisik).

Teknologi blockchain yang mendasari NFT membuatnya memiliki kemampuan untuk mengesahkan aset digital menjadi kode unik yang tidak dapat digandakan, sehingga menjaga hak kepemilikan menjadi tetap aman.

Akses ke salinan file hasil NTF tidak terbatas pada pembeli NFT saja. Dengan kata lain siapapun, tidak terbatas pada pembeli, bisa mengaksesnya. Jika pembeli sudah merasa yakin dengan “bidikannya” maka proses selanjutnya akan melalui mekanisme transaksi NFT.

NFT dapat dilacak di blockchain untuk memberikan bukti kepemilikan yang terpisah dari hak cipta kepada pemiliknya. Setelah dijual, seniman juga masih bisa mengklaim hasil karyanya sebagai hak cipta serta dapat menjual salinan karyanya sebagai bagian dari royalti. Jadi seniman bisa menjual banyak salinan dari karyanya tersebut. Setiap salinan akan memiliki kode unik tersendiri.

NFT dapat didesain sesuai kebutuhan tertentu, terutama yang memerlukan kode unik dan jika jenis yang ditawarkan beragam. Misal tiket konser (VVIP, VIP, Festival). Setiap tiket akan memiliki kode unik dan hanya dimiliki oleh satu orang.

Bagaimana NFT bisa dijual dan digunakan
NFT dapat diaplikasikan ke dalam data apapun selama memiliki keunikan dan memerlukan kepemilikan secara khusus.

Seniman bisa mengunggah karya seni mereka secara daring dan membuat NFTnya di situs-situs penjualan atau marketplace seperti contohnya OpenSea dan Binance.

Setelah menjual hasil karyanya sebagai NFT, seniman masih bisa mengklaim hasil karyanya sebagai hak cipta serta dapat menjual karyanya sebagai bagian dari royalti.

Pemilik NFT tinggal mengatur persentase royalti yang diharapkan di “smart contract”. Beberapa platform, seperti Metagrail dan Decentraland sudah memanfaatkan fitur ini sehingga pembagiannya sangat akurat dan up to date.

Nilai pendapatan dari royalti tentu akan lebih rendah, namun sistem ini menarik karena bersifat jangka panjang dan berkelanjutan.

Hasil karya digital dalam bentuk NFT dapat dijadikan jaminan untuk mengajukan pinjaman/kredit pada jasa keuangan yang menyediakan pinjaman/kredit, selama karya tersebut sudah dipasarkan di marketplace.

Anggota komunitas yang telah memanfaatkan NFT dapat bergabung di POAP (Proof of Attendance Protocol) yang disediakan untuk “meet up” atau kopi darat para pemilik/kontributor NFT untuk turut serta dalam sebuah event yang akan diselenggarakan. Fitur ini juga disediakan agar para kolektor lebih cepat menemukan koleksi yang mereka buru.

Pasar NFT mengatur transaksi jual-beli secara otomatis (autonomous). Sesudah melakukan transaksi, pemilik tinggal memeriksa “saldo” NFT dalam bentuk token, pada dompet digital masing-masing.

Saldo yang berbentuk token (NFT) berbasis Ethereum ini kemudian bisa dijual atau ditukar dengan uang. Saat ini satu token Ethereum atau sering disebut Ether memiliki harga hampir Rp 50 juta per kepingnya.

Didukung oleh blockchain Ethereum
NFT didukung penuh oleh teknologi blockchain Ethereum, salah satu platform open-source pengembang mata uang Ether atau ETH.

Ada beberapa alasan Ethereum membuat NFT menjadi sesuatu yang cukup menjanjikan.

Yang pertama, riwayat transaksi dan metadata token dapat diverifikasi secara publik. Setelah transaksi dikonfirmasi, hampir tidak mungkin data dimanipulasi untuk “mencuri” kepemilikan.

Perdagangan NFT dapat dilakukan secara P2P (Peer-to-Peer) tanpa memerlukan “pihak ketiga” yang dapat mengambil “komisi” sebagai kompensasi keterlibatan dalam proses transaksi.

Semua produk Etherum memiliki back-end atau jaringan yang sama, sehingga dapat dengan mudah mengidentifikasi seluruh produk NFT.

Setiap pembuat konten dapat mencantumkan NFT-nya di setiap produk yang ditawarkan secara paralel. Setiap produk akan memperbaharui kepemilikannya secara aktual.

Selain itu, NFT juga memiliki properti spesial, misalnya setiap token yang dicetak memiliki identifikasi unik yang terhubung langsung dengan satu alamat di Ethereum. NFT juga tidak dapat dipertukarkan secara langsung dengan token lain dengan rasio 1:1, artinya ada nilai lebih yang harus di tambahkan.

Setiap token memiliki pemilik dan informasi yang mudah di verifikasi, informasi token terdapat di dalam Ethereum dan dapat diperjualbelikan di pasar NFT manapun.

Penjualan NFT semakin meningkat dan pada triwulan ketiga tahun ini penjualannya telah mencapai Rp 151 triliun di seluruh dunia. Ke depan NFT akan semakin berkembang dan para seniman atau pembuat konten bisa segera memanfaatkan momen ini.


Wisnu Uriawan, dosen Fakultas Sains dan Teknologi (FST) UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Blackburn researcher, INSA Lyon – Université de Lyon


Sumber, The Conversation, 13 Oktober 2021

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *