Cara bagaimana kita mengatasi pandemi Covid-19 sangat berkaitan dengan bagaimana kita mendefinisikan dan memosisikan pandemi tersebut. Usaha mendefinisikan dan memosisikannya itu adalah bagian dari praktik ideologi. Suatu sistem representasi tentang sesuatu objek dengan menghadirkan sesuatu objek di luar sesuatu objek itu melalui bahasa, baik verbal maupun nonverbal, yang melahirkan makna-makna.
Indonesia yang sejak medio Juni 2020 mulai menjalankan kebijakan New Normal atau adaptasi kebiasaan baru (AKB) secara parsial dan bertahap adalah hasil dari usaha mendefinisikan dan memosisikan pandemi Covid-19. Ia didefinisikan sebagai jenis penyakit dan faktor risiko yang menimbulkan kedaruratan masyarakat yang sukar untuk ditaklukkan karena belum ditemukan vaksin dan potensial menimbulkan kedaruratan sosial serta ekonomi negara.
Oleh karena itu, pemerintah mengambil posisi untuk ‘bernegosiasi’ dengan Covid-19 melalui penerapan kebijakan New Normal. Belakangan diketahui, gagasan itu mengikuti anjuran yang dicetuskan oleh WHO, organisasi kesehatan dunia di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan mengadopsi kebijakan sejumlah negara di Eropa dan negara Amerika Serikat.
New Normal sedianya direncanakan dan diharapkan bisa menyelamatkan tiga sektor kehidupan sekaligus, yaitu sektor kesehatan, sosial-politik, dan ekonomi. Namun sayangnya, sejauh ini belum menunjukkan tanda-tanda sebagaimana diidealkan dalam perencanaan. Dalam sektor kesehatan misalnya, alih-alih menunjukkan grafik melandai ataupun menurun, kasus Covid-19 malah terus menunjukkan grafik semakin tinggi. Diketahui per hari Minggu, (2/8/2020), kasus Covid-19 telah menembus angka 111.455 kasus, dengan total pasien sembuh sejumlah 68.975 orang (kompas.com, (3/8/2020), 07.12 WIB).
Demikian juga di sektor sosial-politik belum menunjukkan tanda-tanda iklim stabilitas politik. Publik malah harus disibukan dengan perbincangan atau persoalan kepilkadaan yang didominasi isu-isu gurita politik dinasti, oligarki dan isu-isu menurunnya kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara. Keadaan serupa juga menerpa pada sektor kehidupan ekonomi yang masih banyak dirasakan terseok-seok, baik di level mikro maupun makro, serta berada dalam bayang-bayang ancaman resesi ekonomi.
Dari perspektif sains politik, perencanaan dan pengharapan yang cenderung berujung pada ketidaksesuaian di lapangan adalah berkaitan dengan ideologi kebijakan yang menjadi landasan sekaligus tunggangan. Oleh karena itu, sebagai salah satu upaya penyesuaiannya adalah melalui reaktualisasi ideologi.
Di negara demokrasi, mengkaji atau memperbincangkan ideologi kebijakan seperti perihal pandemi sejatinya bukanlah hal yang aneh karena hakikat ideologi secara fungsional adalah seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama (Bonum Commune). Dan, demokrasi membayangkan kehidupan bersama di atas keberagaman dalam wadah kebaikan atau kepentingan umum. Sedangkan secara struktural, ideologi adalah sistem pembenaran terhadap gagasan tertentu dengan kelengkapan perangkat pengejawantahannya.
Kebaikan bersama itu bila merujuk pada pemikiran filsuf Yunani Kuno (Socrates, Plato, dan Aristoteles) adalah keadilan, keyakinan (pengetahuan), dan kebahagiaan. Ketiga nilai tersebut merupakan serangkaian syarat-syarat dari hidup bersama yang memungkinkan masing-masing warga negara dapat terpenuhi hak-haknya dan sekaligus terlaksana kewajiban-kewajibannya dengan baik.
Berpijak pada itu, pengambilan kebijakan apapun oleh pemerintah harus berorientasi sekaligus memiliki implikasi bagi terciptanya kebaikan bersama. Dalam hal ini terputusnya mata rantai penularan Covid-19 dan sekaligus terselamatkannya setiap nyawa warga. Demikian juga, secara bersamaan terjaminnya pengamanan bangunan politik dan ekonomi negara.
Di balik orientasi dan implikasi yang dituju pada setiap kebijakan tentu menimbulkan sejumlah konsekuensi. Karena itu, kemampuan negara dalam menanggulanginya adalah menjadi salah satu pertimbangan utama. Seperti kemampuan sumber daya finansial, ketersediaan sumber daya alam dan kemampuan sumber daya manusia. Penetapan kebijakan PSBB lalu kebijakan AKB tentu sejatinya juga tidak lepas dari pertimbangan tersebut.
Di samping itu, suatu kebijakan dipilih atau tidak dipilih juga berdasarkan pertimbangan kemauan atau political will. Dan, kemaun itu acapkali dasarnya adalah kepentingan, seperti kepentingan kekuasaan instan seperti citra pribadi, popularitas, dan keagungan dinasti.
Di atas semua itu, ideologi pandemi berhubungan dengan gagasan besar yang terkandung dalam kebijakan penanganan wabah pandemi. Gagasan tersebut harus tersampaikan secara tersirat maupun tersurat sehingga memperoleh internalisasi dan perhatian luas dari segenap lapisan masyarakat.
Ideologi pandemi juga bersangkutan dengan kemampuan negara untuk mengatur dan menggerakkan masyarakatnya dalam percepatan penanggulangan corona. Dalam konteks itu, ideologi itu sendiri menurut Adnan Buyung Nasution (1992) bukan sekadar view to the world dan living spirit, melainkan sebuah gagasan atau ajaran yang menggerakan suatu masyarakat atau bangsa.
Selain itu, ideologi pandemi berkaitan dengan kepercayaan (trust). New Normal sekarang ini memang masih banyak melahirkan ketidakpastian karena compang-campingnya kepercayaan di antara masyarakat di satu pihak, dan di antara para aktor negara di pihak lain. Karena itu, pemerintah sebagai salah satu aktor utama negara harus segera menunjukkan kepastian-kepastian dengan langkah-langkah tegas, cepat, dan tepat dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakannya.
Dengan gagasan besar serta memiliki kemampuan mengatur dan menggerakkan tersebut akan menciptakan kebijakan penanganan pandemi yang dipercaya publik. Dan pada gilirannya akan berujung efektif karena kebijakan itu dirasakan telah bekerja secara persuasif tidak represif sehingga seluruh lapisan masyarakat merasa terpanggil, tersatukan dan tersadarkan, bukan malah merasa terabaikan, tebelah dan terpaksa.
Dengan demikian, ikhtiar mengatasi pandemi Covid-19 melalui jalur New Normal seperti sekarang ini akan menjadi tanggung jawab bersama. Suatu tanggung jawab segenap komponen bangsa, termasuk pemerintah, masyarakat dan pihak-pihak terkait. Bukankah pribahasa mengatakan bahwa berat sama dipikul ringan sama dijingjing. Pribahasa yang mengandung pesan ideologis bahwa siapa pun tidak harus merasa berat sendirian dalam menghadapi pandemi Covid-19. Semua lapisan masyarakat sejatinya telah terposisikan mampu mengatasi atau melampaui pandemi karena modal kesadaran, kepercayaan, keterpanggilan, dan kesabilulungan. Wallahu’alam bishawab.
Asep Sahid Gatara, Ketua Jurusan Ilmu Politik FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung; Wakil Ketua APSIPOL; Wakil Ketua ICMI Jawa Barat.
Sumber, Ayo Bandung Senin, 3 Agustus 2020 13:34 WIB